Turki mengkritik langkah Yunani yang menolak mengakui terpilihnya ulama-ulama Muslim (Mufti) dari minoritas Turki, mereka katakan hal ini “tidak dapat diterima”.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Turki mendesak Yunani untuk menghormati hukum internasional dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian jangka panjang Lausanne dan perjanjian terkait lainnya, serta mengakhiri kebijakan Yunani yang menekan dan mengintimidasi Minoritas Turki di Thrace Barat”.
Pernyataan itu muncul sebagai tanggapan atas undang-undang baru yang memperbolehkan otoritas Yunani melakukan pengangkatan mufti, suatu sistem yang tidak bisa diterima oleh minoritas Turki di Thrace Barat.
“Yunani sekali lagi melanggar hak dan kebebasan Minoritas Turki di Thrace Barat, yang dijamin oleh perjanjian internasional, khususnya Perjanjian Damai Lausanne, melalui tindakan yang baru-baru ini diberlakukan terkait Mufti di Thrace Barat,” dalam pernyataan tersebut.
Menambahkan, bahwa undang-undang tersebut dirancang tanpa melakukan konsultasi dengan minoritas Turki di Trakia Barat, Kementerian menekankan bahwa Yunani “lagi-lagi tidak menghormati Mufti yang terpilih dari minoritas Turki, hingga kehendak dan kebebasan beragama mereka”.
“Dalam hal ini, kami sepenuhnya mendukung pernyataan dari Dewan Konsultasi Minoritas Turki di Trakia Barat pada 3 Agustus 2022, yang mencerminkan reaksi yang sah dari kerabat kami,” katanya.
Kewajiban Kontraktual
Mengutip Pasal 40 Lausanne, Ankara menunjukkan bahwa perjanjian itu memberikan hak kepada minoritas Turki di Trakia Barat untuk mendirikan, mengelola, dan mengendalikan lembaga keagamaan, pendidikan, amal, dan sosialnya sendiri.
“Pelanggaran Yunani terhadap kewajiban kontraktualnya juga telah dicatat oleh putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa sebelumnya,” Kementerian menambahkan.
Ankara lebih lanjut meminta Athena untuk mendukung dan memfasilitasi minoritas Turki dalam pemilihan, pengelolaan dan penyusunan Muftiat.
Namun, kementerian tetap menekankan bahwa “upaya Yunani untuk membawa Muftiat di bawah kendali otoritas adalah bertentangan dengan kehendak Minoritas, tidak dapat diterima”.
Memberikan contoh bagaimana Turki tidak mengganggu fungsi lembaga keagamaan minoritas non-Muslim di negaranya atau pemilihan pemimpin mereka melalui undang-undang dan praktik yang represif, Kementerian menegaskan bahwa Turki “akan terus mengawasi dengan cermat hak-hak dan kebebasan saudara kita”.
Pelanggaran hak
Wilayah Trakia Barat – bagian timur laut Yunani, dekat perbatasan Turki – adalah tempat tinggal bagi minoritas Muslim Turki yang telah lama berdiri, berpenduduk sekitar 150.000 jiwa, yaitu sekitar sepertiga dari populasinya.
Hak-hak orang Turki di Trakia Barat dijamin di bawah Perjanjian Lausanne 1923, tetapi sejak itu situasinya terus memburuk.
Setelah junta Yunani berkuasa pada tahun 1967, orang-orang Turki di Trakia Barat mulai menghadapi penganiayaan yang lebih keras dan pelanggaran hak oleh negara Yunani, bahkan sering kali secara terang-terangan melanggar keputusan pengadilan Eropa.
Minoritas Turki di Yunani terus menghadapi masalah dalam menjalankan hak kolektif dan sipil serta hak pendidikannya, termasuk otoritas Yunani yang melarang kata “Turki” dalam nama asosiasi, menutup sekolah-sekolah Turki dan mencoba menghalangi komunitas Turki untuk memilih mufti mereka sendiri.
SUMBER: TRT WORLD