(334–363 H/945-973 M)
Al-Muthi’ Lillah, Abul Qasim al-Fadhl bin al-Muqtadir bin al-Mu’tadhid. Ibunya mantan budak bernama Syu’lah. Dia lahir pada 301 H, dan dilantik sebagai khalifah saat Al-Mustakfi dicopot dari kursi kekhalifahan pada Jumadil Akhir 334 H / Januari 946 M.
Ia merupakan khalifah Daulah Abbasiyah ke-23 dengan panggilan Al-Muthi’ Lillah. Ia diangkat menjadi khalifah pada usia 34 tahun dan sempat menduduki jabatannya selama 29 tahun 5 bulan.
Posisi Khalifah Al-Muthi’
Ibn Katsir mengatakan: “Posisi al-Muthi’ sebagai Khalifah ini sangat lemah hingga tidak tersisa satu pun kekuasaan baginya.” Sedangkan dalam ungkapan Ibnu Khaldun disebutkan: “…mereka hanyalah duduk di singgasana, memberikan pengesahan dan tanda-tangan, menyampaikan pidato…”
Alasan Bani Buwaihi Tidak Merampas Kekhalifahan
Rakyat masih percaya dengan hadits “al-aimmah min quraisy”. Bahwa pemimpin itu harus dari suku Quraisy. Khulafa ar-Rasyidin, Umayyah, dan Abbasiyah semua nasabnya berasal dari suku Quraisy. Sedangkan Bani Buwaihi tidak demikian.
Nasib Penduduk Baghdad
Terjadi kelaparan yang sangat parah sampai terjadi penduduk memakan bangkai ternak. Sering pula didapati mayat penduduk tergeletak di jalan raya akibat kelaparan, sehingga anjing pun memakan mayat tersebut.
Untuk membeli dua potong roti, misalnya, penduduk harus menukarnya dengan perabotan rumah tangga mereka. Anak-anak kecil dibakar untuk disantap oleh orang miskin.
Namun, Amirul Umara, Muizud Daulah alias Ahmad bin Buwaih justru memanfaatkan kondisi semacam ini untuk memperkaya dirinya. Penduduk yang mau membeli tepung gandum harus membayar kepadanya 20 ribu dirham.
Kembalinya Hajar Aswad
Pada masa Khalifah Al-Muthi’ inilah Hajar Aswad dikembalikan oleh kaum Qaramithah setelah sekitar 22 tahun mereka mencuri dan menyembunyikannya. Kondisi Hajar Aswad dikabarkan sudah tidak lagi utuh. Yang semula terdiri dari satu batu besar, akhirnya hanya terpecah menjadi 7 potong. Kemudian diikat dengan perak
Syiah Unjuk Gigi
Pada tahun 351 H/963 M, orang-orang syiah menuliskan kutukan terhadap Muawiyah di pintu-pintu masjid. Mereka pun mengutuk Abu Bakar yang dianggap merampas hak Fatimah az-Zahra (putri Nabi) atas tanah Fadak. Juga mengutuk Utsman bin Affan yang mengasingkan Abu Dzar dari Madinah. Mereka mengutuk Marwan bin Hakam yang melarang Sayidina Hasan dikuburkan bersama kakeknya (Rasulullah SAW).
Perayaan Asyura dan Ghadir Kum
Pada 352 H / 964 M, Ahmad bin Buwaihi, Muizud Daulah, mengeluarkan kebijakan untuk memperkokoh ajaran syiah:
- Pada Hari Asyura dia mewajibkan setiap penduduk menutup semua toko dan tidak memasak makanan. Dia perintahkan pula kaum perempuan keluar rumah dengan rambut kusut sebagai tanda berduka atas wafatnya Husein di Karbala. Inilah pertama kalinya Hari Asyura, peringatan wafatnya Husein, diratapi di Baghdad.
- Pada 18 Dzulhijjah ditetapkan sebagai peringatan Ghadir Kum yang dilakukan dengan menabuh gendang. Menurut syiah, peristiwa Ghadir Kum adalah kejadian dimana Nabi Muhammad telah mengangkat Sayidina Ali sebagai pemimpin umat Islam dengan ungkapan “Man Kuntu Mawlahu fa ‘Aliyyun Mawlahu”
Qaramithah Kembali Berulah
Pada 356 H/967 M, Ahmad bin Buwaihi, Muiz Daulah meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Bakhtiar, Izzud Daulah.
Tahun berikutnya, Qaramithah menguasai Damaskus. Sehingga tidak ada seorang pun yang bisa melaksanakan perjalanan naik haji pada tahun 357 Hijriah, baik dari jalur Syiria maupun Mesir. Bahkan dikabarkan mereka akan segera menguasai kota Kairo.
Dinasti Fathimiyah di Mesir
Penduduk Mesir meminta bantuan al-Mu’iz penguasa Dinasti Fatimiyyah di Ifriqiyah (Afrika Utara) yang kemudian memerintahkan pasukannya menjaga Mesir di bawah pimpinan Jauhar.
Mereka mampu menguasai Mesir dan membangun kota Kairo. Setelah itu, istana dibangun, dan dicabutlah doa-doa untuk Bani Abbasiyah dari mimbar Jum’at, serta jamaah dilarang menggunakan pakaian hitam. Pakaian hitam adalah ciri Dinasti Abbasiyah.
Lafaz azan di masjid Mesir pun ditambah dengan kalimat “hayya ’ala khayril ‘amal” (mari menuju kepada amal yang paling utama). Pembangunan Masjid Jami’ al-Azhar juga dimulai pada masa Dinasti Fatimiyyah. Kelak masjid ini menjadi cikal bakal berdirinya Universitas al-Azhar.
Bakhtiar Menyita Harta Khalifah
Utusan Irak Utara datang ke Baghdad dan meminta bantuan dan melaporkan keganasan pasukan Byzantium. Izz Ad-Daulah segera menemui Al-Muthi’ untuk menyita hartanya. Khalifah Al-Muthi’ menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa kecuali khutbah. Kalau kau ingin, aku akan mengundurkan diri.“
Izz Ad-Daulah mengancam dan mengingatkan nasib para khalifah sebelumnya. Khalifah Al-Muthi’ terpaksa menjual perhiasan yang ia miliki untuk memenuhi tuntutan itu. Namun ternyata, harta itu tidak digunakan untuk bantuan ke Irak, tapi dipakai untuk pelesiran dan foya-foya. Ini terjadi pada 362 H/972 M.
Pengunduran Diri Khalifah
Pada 363 H/973 M, Al-Muthi’ diserang penyakit lumpuh sehingga ia tak mampu bicara. Maka pengawal Izz Ad-Daulah meminta Al-Muthi’ untuk mengundurkan diri dari kekhalifahan dan segera menyerahkannya kepada anaknya yang bernama Ath-Tha’i Lillah.
Al-Muthi’ menuruti saran tersebut. Pengunduran resminya dia nyatakan pada Rabu 13 Dzulqa’dah. Pengunduran dirinya dikokohkan oleh Qadhi Ibni Syaiban. Setelah pengunduran dirinya, Al-Muthi’ diberi gelar sebagai Syekh Al-Fadhl (sesepuh yang mulia).
Khalifah Al-Muthi’ Wafat
Pada Muharram 364 H/974 M, Al-Muthi’ melakukan perjalanan bersama anaknya ke Wasith. Dia meninggal pada tahun tersebut pada usia 63 tahun.