Pemerintah mengambil langkah mengejutkan dengan rencana impor gula dengan volume sebesar. 0.5 juta ton gula kabarnya di setujui untuk masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun mengeluhkan langkah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dikabarkan telah memberi izin rekomendasi impor gula konsumsi sebanyak 500.000 ton.
Padahal menurut Sumitro, stok gula pada akhir 2021 atau awal tahun 2022 sebesar 1,1 juta ton. Dengan konsumsi gula nasional per tahun sebesar 3 juta ton, artinya masih ada surplus 1,6 juta ton gula.
“Kenapa di surat itu disebutkan prediksi sisa gula kita ini 880.000 ribu?” tanya Sumitro.
“PKS melihat kebijakan ini pukulan ke jantung petani tebu dan sekaligus industri gula nasional yang nyaris mati suri. Jika impor ini dilakukan maka bencana bagi petani tebu kita,” papar Ketua DPP PKS Bidang Tani Nelayan Riyono.
Impor memang menjadi cara mudah bagi para pemburu rente, cuan yang dihasilkan sangat besar dengan waktu yang singkat. Sekaligus menjadi model rawan terjadinya penyimpangan regulasi. Terbaru kasus impor garam yang menyisakan masalah karena adanya dugaan korupsi kewenangan untuk hasilkan rekomendasi volume impor.
Roadmap swasembada gula yang dicanangkan oleh Jokowi tahun 2020 jelas gagal dan akhirnya dengan UU Omnibus Law semakin menguatkan bahwa politik pangan Presiden ternyata adalah impor sebagai jalan keluarnya.
“Janji swasembada gula 2020 ternyata juga gagal, impor dan impor kembali yang dilakukan. Roadmap swasembada semakin jauh. Petani tebu semakin menderita,” tambah Riyono.
Saat ini, data lahan tebu yang ada sekitar 482.239 ha dengan rincian lahan tebu rakyat 291.000 ha atau 60% lahan nasional. Lahan tebu non rakyat 113.000 Ha atau 23%. Masih butuh lahan 500 ribuan ha. Ini syarat mutlak soal lahan jika ingin swasembada.
Menurut Riyono, krisis pangan yang di depan mata bisa jadi akan menjadi kenyataan bagi Indonesia. Sektor gula kita sudah tidak berdaya, kesungguhan membangun industri gula semakin melemah.