Matan Hadits:
عَن مُعَاذ بن جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: قُلتُ يَا رَسُولَ الله أَخبِرنِي بِعَمَلٍ يُدخِلُني الجَنَّةَ وَيُبَاعدني منٍ النار قَالَ: (لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَتُشْرِكُ بِهِ شَيْئَا، وَتُقِيْمُ الصَّلاة، وَتُؤتِي الزَّكَاة، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ البَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الخَيْرِ: الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ، وَصَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ تَلا : (تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ) حَتَّى بَلَغَ: (يَعْملَونْ) [السجدة:16-17] ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُولَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلامُ وَعَمُودُهُ الصَّلاةُ وَذروَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخبِرُكَ بِملاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ:بَلَى يَارَسُولَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ يَانَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَامُعَاذُ. وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَو قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلسِنَتِهِمْ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu dia berkata : Saya berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka.” Beliau bersabda: “Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah Ta’ala: Hendaknya beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji. Kemudian beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) bersabda: “Maukah engkau saya beritahukan tentang pintu-pintu kebaikan?” yaitu Puasa adalah benteng, sedekah akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian beliau membacakan ayat : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….” Sampai .. “Ya’malun –yang mereka lakukan.” (QS. As Sajadah : 16-17). Kemudian beliau bersabda: “Maukah engkau saya beritahukan pokok dari segala perkara, tiang-tiangnya dan puncaknya ?, Saya menjawab: “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad.” Kemudian beliau bersabda: “Maukah engkau saya beritahukan bagaimana cara dapat memiliki semua itu?” Saya berkata : “Mau ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda: “Jagalah ini.” Saya berkata: “Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ?” Beliau bersabda: “Wah kamu ini Mu’adz, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya di neraka –atau beliau bersabda: diatas hidungnya- selain karena buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. (HR. At Tirmidzi dan dia berkata: Hadits hasan shahih)
Takhrij Hadits:
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2616
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 3973
- Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra 11394
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 22016
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 3548
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 116, 137, 200, 266, 291, 292, 304, dan Al Awsath No. 7503
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2806, 3958
- Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 2643
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 11
- Dll
Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Lihat As Sunan No. 2616), Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari dan Muslim). (Al Mustadrak No. 3548), Syaikh ‘Alwi bin Abdul Qadir As Saqqaf mengatakan: shahih lighairih. (Takhrij Ahadits wa Aatsar Kitab Fi Zhilalil Quran, No. 959), Syaikh Al Albani juga menshahihkan. (Shahihul Jami’ No. 5136)
Kandungan dan Faidah Global Hadits
Hadits ini memiliki banyak pelajaran, di antaranya:
Pertama, hadits ini menunjukkan kedekatan Sahabat dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, khususnya sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu. Kedekatan itu membuatnya begitu besar keingintahuannya terhadap berbagai pelajaran dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini bukan hanya dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal, tapi juga sahabat nabi yang lain – Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in – dikesempatan yang berbeda-beda.
Pada waktu yang berbeda, Rrasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memberikan nasihat kepada Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu.
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu.” Lalu dia bersabda: “Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, jangan sampai kau tinggalkan pada setiap selesai shalat, ucapkanlah: “Allahumma A’inni ‘ala Dzikrika wa Syukrika wa Husni ‘Ibadatika.” (Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingatMu, bersyukur kepadaMu, dan kebaikan ibadah kepadaMu). (HR. Abu Daud, No. 1522. Imam Ahmad, No. 21103. Imam Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 16532. Ibnu Hibban, No. 2054. Imam Ibnu Khuzaimah, Juz. 3, Hal. 223, No. 728. Imam Al Hakim, Al Mustdarak, No. 960. Katanya: Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih, No. 949)
Kedua, hadits ini menunjukkan bahwa masyru’-nya seseorang beramal karena menginginkan surga dan menghindar dari api neraka. Beramal karena menginginkan surga dan menghindar dari api neraka bukan hal yang tercela sebagaimana disangka oleh sebagian sufi yang melampaui batas.
Justru hal itu dibenarkan oleh Al Quran dan As Sunnah yang mulia, keduanya memberikan stimulus (rangsangan) dan sugesti agar surga dan ridhaNya menjadi obsesi kita, dan neraka menjadi tempat yang kita hindari. Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuji keinginantahuan Mu’adz bin Jabal terhadap amalan yang bisa mengantarkan ke surga dan terhindar dari api neraka dengan mengatakan: “Laqad sa’alta ‘an ‘azhiimin – engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan diserukan kepada mereka: “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al A’raf (7): 43)
Ayat lainnya:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh Para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. An Nahl (16): 32)
Ayat lainnya:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr: 27-30)
Ayat lainnya:
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
Barang siapa yang dihindarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka dia telah beruntung. (QS. Ali ‘Imran: 185)
Tertulis dalam Musnad Imam Syafi’i:
أَنَّهُ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ تَلْبِيَتِهِ ، سَأَلَ اللَّهَ رِضْوَانَهُ وَالْجَنَّةَ ، وَاسْتَعْفَاهُ بِرَحْمَتِهِ مِنَ النَّارِ
Bahwasanya jika Rasulullah selesai dari talbiyahnya, Beliau meminta kepada Allah ridhaNya dan surgaNya, dan memohon penjagaanNya dengan rahmatNya dari api neraka. (HR. Syafi’i dalam Musnadnya No. 574, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan No. 2925, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1866)
Ketiga, hadits ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui dan menjalankan amalan-amalan yang mengantarkan ke surga dan terhindar dari api neraka adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Tidak sedikit manusia mempelajari ilmu agama, keluar masuk pesantren, bermulazamah dengan seorang ustadz atau syaikh, sering hadir dalam majelis ilmu dan orang-orang shalih, tetapi dia begitu sulit menyerap pelajaran yang didapatkannya, apalagi meng-internalisasi-kannya dalam jiwa dan perbuatannya. Sebab bisa jadi Allah Ta’ala belum memberikan kemudahan baginya untuk mencapai tujuannya. Oleh karenanya hendaknya kita meminta kepada Allah Ta’ala agar diberikan kemudahan terhadap urusan ini. Sebagaimana doa Nabi Musa ‘Alaihissalam: “Wa yassir liy amriy – dan mudahkanlah untukku urusanku.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka akan dipahamkan baginya ilmu agama.” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037, At Tirmidzi No. 2783, Ibnu Majah No. 220, Ibnu Hibban No. 89, 310, 3401, Malik No. 1599, Ad Darimi No. 224, 2706, Abu Ya’la No. 7381, Musnad Ishaq No.439, dan lainnya)
Keempat, pada hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan pelajaran pertama kepada Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu agar tidak melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Sebab inilah penghalang terbesar bagi manusia terhadap surgaNya. Ini sekaligus menegaskan betapa pentingnya kemurnian tauhid bagi seseorang untuk menyelamatkan kehidupan dunia dan akhiratnya.
Di dalam Al Quran, Allah Ta’ala telah membeberkan bahaya-bahaya syirik bagi pelakunya. Di antaranya adalah:
- Tidak Diampuni dan Dosa Paling Besar
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa (4): 48)
- Kezaliman yang besar
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman (31): 13)
- Sejauh-jauhnya sesat
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An Nisa (4): 116)
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (QS. Al An’am (6): 88)
- Terhalang dari Surga dan dimasukkan ke Neraka
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya adalah di neraka, dan bagi orang-orang zalim tidaklah memiliki penolong. (QS. Al Maidah (5): 72)
Kelima, selain itu, hadits ini juga menyebutkan empat rukun Islam sebagai penyebab seseorang masuk ke surga, yakni shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Hal ini juga dijelaskan dalam hadits lainnya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, sesungguhnya ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Tunjukan kepadaku amal yang jika aku kerjakan mengantarkan ke surga.” Rasulullah menjawab: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, menegakkan shalat yang wajib, menunaikan wajibnya zakat, dan puasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak akan menambahnya.” Ketika orang itu berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki yang termasuk ahli surga, maka lihatlah orang itu.” (HR. Bukhari, Al Lu’lu’ wal Marjan, Kitab Al Iman, Bab Bayan Al Iman alladzi yadkhulu bihi Al Jannah, No. 8)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan sebagian orang untuk cukup melakukan ibadah-ibadah wajib yang pokok saja, bahkan orang itu bersumpah tidak akan melebihi dan tidak pula mengurangi ibadah-ibadah tersebut. Meski demikian Nabi bersabda, “Aflaha in shadaqa (Dia beruntung jika jujur).” (HR. Bukhari, Al Lu’ lu’ wal Marjan, Kitab Al Iman, Bab Bayan ash Shalawat allati ahad arkan Al Islam, No. 6)
Keenam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menyebutkan berbagai amalan dan fadhilahnya, yang ke semuanya merupakan gudangnya pintu-pintu kebaikan (abwaabal khair), yaitu puasa adalah junah (tameng), sedekah bisa menghapuskan kesalahan, dan shalat malam.
Semua perbuatan ini juga dijelaskan dalam berbagai riwayat lainnya:
Tentang puasa, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barang siapa yang di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah, dan siapa yang belum mampu, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu adalah tameng baginya. (HR. Bukhari No. 5065)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu juga dengan teks yang lebih pajang:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barang siapa yang di antara kalian mampu untuk menikah maka menikahlah, karena nikah itu lebih dapat menjaga pandangan, dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa yang belum mampu, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu adalah tameng baginya. (HR. Bukhari No. 5066)
Tentang sedekah, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ
Barang siapa yang termasuk ahli sedekah, maka dia akan dipanggil (ke surga) dari pintu sedekah. (HR. Bukhari No. 1897)
Tentang qiyamullail, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu secara marfu’:
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ
Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di tengah malam. (HR. Muslim No. 1163)
Ketujuh, hadits ini juga menunjukkan kedudukan beberapa amal shalih; shalat adalah tiangnya dan jihad adalah puncaknya.
Untuk kedudukan shalat –dan rukun Islam yang lima- sudah kita bahas dalam syarah hadits kedua dan ketiga, silahkan merujuk. Sedangkan jihad, walau dia disebut sebagai puncaknya Islam, tetaplah bukan bagian dari rukun Islam.
Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi Rahimahullah memberikan penjelasan sebagai berikut:
يعني أن هذه الخمس أساس دين الإسلام وقواعده التي عليها بني وبها يقوم وإنما خص هذه بالذكر ولم يذكر معها الجهاد مع أنه يظهر الدين ويقمع عناد الكافرين لأن هذه الخمس فرض دائم والجهاد من فروض الكفايات وقد يسقط في بعض الأوقات.
“Yakni, sesungguhnya lima hal ini merupakan asas agama Islam, dan kaidah-kaidahnya dibangun di atasnya, dan dengannya pula ia ditegakkan. Sesungguhnya dikhususkannya penyebutan ini dan tanpa menyebutkan jihad -padahal jihadlah yang membuat agama menjadi menang dan sebagai penumpas pembangkangan orang kafir- lantaran lima hal ini merupakan kewajiban yang konstan (terus menerus), sedangkan jihad termasuk kewajiban kifayah yang bisa gugur kewajibannya pada waktu-waktu yang lain.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 35)
Kedelapan, dalam hadits ini juga menekankan pentingnya menjaga lisan, bahkan hal tersebut merupakan kunci untuk mendapatkan semua kebaikan. Sebagaimana lisan juga merupakan sebab terbanyak manusia di masukkan ke dalam neraka.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab: “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Oleh karena itu ada pepatah “mulutmu harimaumu”, juga pepatah Arab:
سلامة الإنسان فى حفظ اللسان
Selamatnya manusia tergantung penjagaannya terhadap lisannya.
Makna Kata dan Kalimat:
عَن مُعَاذ بن جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ : dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Tentang biografi Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu sudah di bahas di syarah hadits ke 18. Silahkan merujuk!
قُلتُ : Aku berkata
Yakni Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
يَا رَسُولَ الله أَخبِرنِي : Wahai Rasulullah beritahukanlah kepadaku
Yakni ajarkan, beritakan, dan kabarkanlah kepadaku.
بِعَمَلٍ يُدخِلُني الجَنَّةَ وَيُبَاعدني منٍ النار: tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka
Dalam perkataan ini ada empat pelajaran penting:
Pertama, perhatian para sahabat yang begitu besar terhadap amal-amal kebaikan yang dapat membuat manusia masuk ke surga dan terhindar dari api nereka.
Kedua, menunjukkan salah satu metode thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu) yaitu dengan mengajukan pertanyaan.
Ketiga, menunjukkan bahwa surga dan neraka itu ada.
Keempat, para wali Allah dan shalihin hanya perhatian dengan amal-amal kebaikan.
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
يدلُّ على حرص الصحابة على الخير ومعرفة الأعمال التي بها حصول الجنَّة والسلامة من النار، ويدلُّ على وجود الجنَّة والنار، وأنَّ أولياء الله يعملون الصالحات ليظفروا بالجنَّة ويسلموا من النار، وهذا بخلاف ما يقوله بعضُ الصوفية أنَّهم لا يعبدون الله رغبة في جنَّته ولا خوفاً من ناره، وهو باطل؛ لحرص الصحابة على معرفة الأعمال الموصلة إلى الجنَّة والمباعدة من النار
Ini menunjukkan semangat para sahabat terhadap kebaikan dan mengetahui amal-amal yang dengannya bisa mengantarkannya ke surga dan menyelamatkannya dari neraka, dan juga menunjukkan adanya surga dan neraka. Sesungguhnya para kekasih Allah mengerjakan amal-amal shalih yang bisa mencapaikan mereka ke surga dan menyelamatkan mereka dari neraka. Ini berbeda dengan perkataan sebagian sufi bahwa mereka tidak menyembah Allah karena berharap surgaNya dan bukan pula karena takut nerakaNya, ini adalah perkataan batil, karena para sahabat begitu bersemangat mempelajari amal-amal yang dapat mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka. (Fathul Qawwi Al Matin, 1/88)
قَالَ : Beliau bersabda
Yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerikan jawaban yang ditanyakan oleh Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu.
لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ : Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar
Engkau Mu’adz telah menanyakan kepadaku perkara yang begitu penting dan besar, ini bukan masalah yang biasa-biasa saja.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan:
لقد سألت عن عظيم : عن عمل عظيم ، لأن دخول الجنة والنجاة من النار أمر عظيم جدا ، لأجله أنزل الله الكتب ، وأرسل الرسل
Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, yaitu tentang amal perbuatan yang besar, karena masuk ke surga dan selamat dari neraka merupakan perkara yang sangat besar, yang karenanyalah Allah Ta’ala menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 29)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah menambahkan:
فيه بيان عظيم منزلة هذا السؤال وأهميَّته والتشجيع على مثله
Pada perkataan ini terdapat penjelasan yang begitu agung tentang kedudukan pertanyaan ini, urgensinya, dan keberanian bertanya yang semisalnya. (Fathul Qawwi Al Matin, 1/89)
Selanjutnya:
وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ : dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah Ta’ala
Yaitu masalah besar ini akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala atas siap saja yang dikehendakiNya, karena Dialah yang menguasai segala sesuatu.
Perkataan ini menunjukkan bahwa manusia tidak berkuasa atas dirinya sendiri untuk menentukan surga dan neraka bagi dirinya, bahkan amal-amal mereka pun tidak pula menjadi penentu utama, melainkan karena rahmat Allah Ta’ala kepada mereka. Oleh karenanya, hendaknya kita memohon kepadaNya agar senantiasa di bawah naungan rahmatNya, yakni dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk istiqamah dalam amal ketaatan dan menjauhi maksiat, di sisi lain kita pun memohon agar dikuatkan olehNya untuk menghadapi segala macam godaan hidup dunia.
Bagi seorang muslim wajib meyakini bahwa Allah Ta’ala akan memberikan kemudahan itu, -karena Dia tidak akan memberikan beban di luar kesanggupan hamba-hambaNya- selama kita meminta kepadaNya dan melakukan upaya yang sungguh-sungguh.
Allah Ta’ala berfirman dalam kitabNya yang mulia:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al Baqarah (2): 185)
Ayat lainnya:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya. (QS. Al Baqarah (2): 286)
Ayat lainnya:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (QS. Al Lail (2): 5-10)
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim mengatakan:
لأن الإسلام طريق الرحمة واليسر، ولا توجد مسألة في الدنيا إلا وأتى لها بأسهل وأوفق الحلول، ولم يسد الطريق على أحد أبداً، ففي الصلاة من لم يستطع الصلاة قائماً صلى جالساً أو مضطجعاً، ومن لم يستطع الصوم لمرض فعدة من أيامٍ أخر، والزكاة لا تجب إلا على غني عنده نصاب وحال عليه الحول، والحج إنما يجب على من استطاع إليه سبيلاً، والجهاد ليس على الأعمى حرج ولا على الأعرج حرج، كل ذلك من باب التيسير.
Karena Islam adalah jalan rahmat dan kemudahan, tidak ditemukan masalah apa apun di dunia melainkan Islam memiliki solusi yang paling mudah dan tepat, Islam tidak mempernah mempersulit jalan hidup seorang pun selamanya, dalam shalat jika ada yang tidak mampu berdiri maka dia shalat dengan duduk atau berbaring, siapa yang tidak mampu berpuasa karena sakit maka diganti pada hari lain, zakat tidaklah wajib kecuali atas orang kaya yang memiliki harta mencapai nishab dan sudah mencapai haul, haji merupakan kewajiban bagi yang mampu menjalankannya, dan jihad tidaklah wajib bagi orang buta, pincang, dan semua ini merupakan bab At Taisir (kemudahan). (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, 63/8)
Selanjutnya:
تَعْبُدُ اللهَ لاَتُشْرِكُ بِهِ شَيْئَا : Hendaknya Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun
Inilah jawaban pertama dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni kemurnian tauhid, jauh dan bersih dari syirik baik yang kecil maupun besar. Inilah yang mengantarkan seseorang ke surga sebagaimana di terangkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Ibnu Numair Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ وَقُلْتُ أَنَا وَمَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barang siapa yang mati dalam keadaan syirik kepada Allah, dia masuk ke neraka, dan barang siapa mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, dia masuk ke surga. (HR. Muslim No. (92) (150), Ahmad No. 4231, Ibnu Mandah No. 67, 68)
Syirik bermacam-macam, ada syirik kecil (syirkun ashghar) yang merupakan dosa besar namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam, selama dia tidak menghalalkan perbuatan syiriknya itu. Lalu syirik besar (syirkun akbar) yang merupakan dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam (baca: murtad).
- Contoh syirik kecil:
- Riya’, yaitu beramal agar dilihat orang lain dan supaya dipuji manusia.
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhuma: aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ يَسِيرَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ
Sesungguhnya berjalan dengan riya adalah syirik. (HR. Ibnu Majah No. 3989, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 7112, dan Al Mu’jam Ash Shaghir No. 892, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 4, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6812)[1]
- Bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak, demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atau berbuat syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam An Nawawi mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:”كَفر أَوْ أشركَ”علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:”الرِّيَاءُ شِرْكٌ”.
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
- Ruqyah, penangkal, dan pelet (guna-guna)
Ini sesuai hadits:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah (pelet), adalah syirik.” (HR. Abu Daud No. 3383, Ibnu Majah No.3530, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3530)
Tapi tidak semua ruqyah dilarang, dari ‘Auf bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
كنا نرقي في الجاهلية، فقلنا: يارسول اللّه، كيف ترى في ذلك؟ فقال: “اعرضوا عليَّ رقاكم، لابأس بالرقى ما لم تكن شركاً
“Kami meruqyah pada masa jahiliyah, kami berkata: ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang itu?” Beliau bersabda: “Perlihatkan ruqyahmu padaku, tidak apa-apa selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Abu Daud No.3886, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1066)[2]
Tentang tamimah (penangkal), berikut ini Fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia:
لأنه مشرك إذا كان يعتقد أن التمائم تنفع وتضر، أما إن كان يعتقدها من الأسباب والله هو النافع الضار فتعليقها من الشرك الأصغر
“Karena hal itu menjadikannya musyrik, jika dia meyakini bahwa jimat-jimat itu membawa manfaat dan mudharat, ada pun jika dia meyakininya sebagai sebab saja dan Allah yang memberikan manfaat atau mudharat, maka menggantungkan jimat adalah syirik kecil.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’No. 181)
Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah mengatakan:
ومثل تعليق التمائم خوفاَ من العين وغيرها ، إذا اعتقد أن هذه أسباب لرفع البلاء أو دفعه ، فهذا شرك أصغر . لأن الله لم يجعل هذه أسبابا . أما إن اعتقد أنها تدفع أو ترفع البلاء بنفسها فهذا شرك أكبر ، لأنه تعلق بغير اللّه .
“Misalnya menggantungkan jimat lantaran khawatir atas kejahatan mata atau lainnya, jika dia meyakini jimat adalah sebab untuk menghilangkan atau menolak bala, maka ini syirik kecil, karena Allah Ta’ala tidak pernah menjadikan jimat sebagai sebab. Ada pun jika dia meyakini bahwa jimat itu sendiri yang mencegah dan menghilangkan bala, maka ini syirik besar, karena dia telah bergantung kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Hal. 12. Mawqi’ Al Islam)
Namun sebagian salaf ada yang ‘sekedar’ memakruhkan. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكره عقد التمائم.
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan menggantungkan penangkal-penangkal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/427)
Ibrahim An Nakha’i Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
كانوا يكرهون التمائم كلها ، من القرآن وغير القرآن.
“Mereka (para sahabat) memakruhkan jimat semuanya, baik yang dari Al Quran dan selain Al Quran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/428)
Jadi sebenarnya hukum memakai jimat ada tiga macam.
Pertama. Jika jimat itu diyakini sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun akbar (syirik akbar), dan pelakunya murtad, dan tidak sah shalatnya, baik dia jadi imam atau menjadi makmum. Maka bermakmum dengannya pun tidak boleh.
Kedua. Jika jimat itu diyakini sebagai sebab saja, ada pun masih meyakini Allah sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun ashghar (syirik kecil). Pelakunya belum bisa dikatakan murtad, namun termasuk pelaku dosa besar. Sebagaimana dosa besar lainnya. Maka shalat dibelakangnya sah tetapi makruh.
Ketiga. Jika jimat itu berasal dari ayat-ayat Al Quran atau dzikir-dzikir yang ma’tsur, maka para ulama berbeda pendapat antara membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Namun para sahabat Nabi tetap membencinya. Sebab itu merupakan jalan dan pintu menuju penggunaan jimat-jimat yang bukan dari Al Quran dan dzikir-dzikir. Sedangkan jika berasal dari kalimat-kalimat yang tidak bisa difahami, maka haram, tidak ada perselisihan pendapat tentang itu sebagaimana ditegaskan Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar, dan lainnya.
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengatakan:
وأما التعاليق التي فيها قرآن أو أحاديث نبوية أو أدعية طيبة محترمة فالأولى تركها لعدم ورودها عن الشارع ولكونها يتوسل بها إلى غيرها من المحرم ، ولأن الغالب على متعلقها أنه لا يحترمها ويدخل بها المواضع القذرة .
“Ada pun menggantungkan jimat yang terdapat Al Quran atau Hadits Nabi, atau doa-doa yang baik lagi terhormat, maka yang lebih utama adalah ditinggalkan, karena tidak adanya dalil dari pembuat syariat, bahkan hal itu merupakan sarana menuju jimat yang bukan dari Al Quran yang tentunya haram, dan juga lantaran biasanya hal itu digantungkan dengan cara tidak terhormat, dan masuk ke dalam tempat-tampat yang kotor.” (Qaulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Hal. 48. Mawqi’ Al Islam). Demikian.
- Mendatangi dan mempercayai paranormal
Dari Shafiyah, dari sebagian isteri Nabi, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barang siapa yang mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam. (HR. Muslim No. 2230, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16287, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 1402)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barang siapa yang mendatangi (berhubungan badan, pen) dengan wanita haid atau dari duburnya, atau mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya maka dia telah kafir terhadap apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR. Ibnu Majah No. 639, Ad Darimi No. 1136. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 551)
- Menyembelih hewan atau berkorban untuk selain Allah, seperti untuk tumbal, arwah, dewa-dewa, jin
Hal ini masih dilakukan pada sebagian masyarakat kita. Ketika mereka hendak membangun rumah, membuat jalan, dan lainnya, mereka memotor seekor atau beberapa ekor hewan untuk dipersembahkan kepada “penguasa” di daerah tersebut agar pembangunannya lancar dan aman. Mereka membumbuinya dengan berbagaimacam sesajian lainnya, plus dihiasi dengan doa-doa, seakan itu adalah perbuatan yang syar’i, padahal Ini juga syirik.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah (5): 90)
Dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. (HR. Muslim No. 1978)
- Tathayyur (merasa sial)
Tathayyur diambil dari kata thayr yang artinya burung. Orang zaman dulu meyakini adanya musibah dan keburukan yang akan menimpa mereka jika terdengar suara burung melintas. Oleh karenanya disebut tathayyur atau thiyarah. Hal ini berkembang dengan berbagai macam ragamnya, ada yang merasa sial kalau cicak jatuh, kendaraan sering rusak ada sialnya, jangan jual jarum kalau malam hari, hari baik buat nikah, dan semisalnya. Ini juga syirik kecil.
Hal tersebut sama juga meyakini adanya selain Allah Ta’ala yang mengatur hidup manusia, baik senang dan susahnya.
Keyakinan tathayyur ini bertentangan dengan ayat:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah (9): 51)
- Contoh syirik besar
- Berdoa kepada selain Allah Ta’ala
Ini adalah syirik besar, yaitu seseorang yang meminta kepada selain Allah Ta’ala dalam doanya. Seperti doa: “Wahai angin yang Maha Agung tolonglah kami ..”, atau “Ya Syaikh fulan berikanlah aku kesehatan ..”, dan semisalnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ
“Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa meskipun setipis kulit ari. Jika kamu meminta kepada mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.” (QS. Faathir: 13-14)
- Menjadikan selain Allah Ta’ala sebagai pembuat syariat
Hak tasyri’ hanyalah milik Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir. (QS. Al Maidah (5): 44)
Ayat lain:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Al Maidah (5): 50)
Namun, dalam perkara yang belum dibahas oleh sumber syariat, maka aturan yang dibuat oleh manusia selama tidak bertentangan dengan syariat, bukan termasuk larangan yang dimaksud.
Seperti peraturan lalu lintas; lampu merah, kewajiban memakai helm, atau peraturan sekolah; masuk wajib jam 7 pagi, jika terlambat akan mendapatkan hukuman, atau aturan orang tua kepada anaknya, dan semisalnya. Semua ini tidak masalah jika tidak bertentangan dengan syariat, ada pun jika bertentangan dengan syariat, seperti menyetujui legalitas minuman keras, membuat lokalisasi perjudian dan pelacuran, dan semisalnya, semua ini bertentangan dengan syariat dan telah menghalalkan apa-apa yang Allah Ta’ala haramkan.
- Syirik dalam ketaatan
Yaitu mentaati manusia dengan kadar yang sama bahkan melebihi taat kepada Allah Ta’ala. Mereka lebih memilih pendapat manusia walau pun bertentangan dengan ayat Al Quran dan As Sunnah. Mereka menghalalkan dan mengharamkan bukan menurut Allah Ta’ala, tetapi menurut guru-guru mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (QS. At Taubah (9): 31)
Mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
- Syirik dalam cinta (Mahabbah)
Yaitu rasa cinta yang dibarengi rasa tunduk dan patuh, rasa cinta ubudiyah (pengabdian), yang sama kedudukannya apalagi melebihi cinta kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan syirik besar, sebagaimana firmanNya:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (QS. Al Baqarah (2): 165).
- Meyakini selain Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma wash Shifat
Dalam Uluhiyah, meyakini adanya selain Allah Ta’ala sebagai sesembahan, yang menciptakan manfaat dan mudharat.
Dalam Rububiyah, meyakini adanya selain Allah Ta’ala yang mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan.
Dalam Asma wash Shifat, meyakini adanya selain Allah Ta’ala yang memiliki nama dan sifat yang sama dengan Allah Ta’ala.
Selanjutnya:
وَتُقِيْمُ الصَّلاة، وَتُؤتِي الزَّكَاة، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ البَيْتَ. : engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji.
Yaitu setelah memurnikan tauhid, bersyahadat dengan benar, maka hendaknya menjalankan rukun Islam lainnya sebagai konsekuensi benarnya tauhid. Dua kalimat syahadat adalah kunci surga, tetapi kunci pastilah memiliki gerigi, dan itu adalah dengan melakukan amalan-amalan pokok dalam Islam; shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji.
Imam Bukhari menuliskan dalam Jami’ Ash Shahih-nya sebagai berikut:
وَقِيلَ لِوَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَلَيْسَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
Ditanyakan kepada Wahb bin Munabbih: “Bukankah Laa Ilaha Illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab: “Tentu, tetapi tidaklah kunci melainkan dia memiliki gerigi, jika engkau datang dengan kunci yang bergerigi maka akan dibukakan untukmu, jika tidak bergerigi maka tidak akan dibukakan untukmu.” (Jami’ush Shahih, Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fil Janaa-iz wa Man Kaana Akhiru Kalamihi Laa Ilaha Illalah)
Untuk pembahasan shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji, sudah kita bahas pada hadits ke-2 dan ke-3, silahkan merujukkembali.
Selanjutnya:
ثُمَّ قَال :Kemudian beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) bersabda
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الخَيْرِ : Maukah engkau saya beritahukan tentang pintu-pintu kebaikan?
Maukah engkau diberitahu tentang pintu-pintu kebaikan yang dengannya engkau bisa mendapatkan apa yang engkau inginkan, yakni masuk surga dan terhindar dari api neraka? Yaitu amalan-amalan sunah.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
على أبواب الخير : من النوافل ، لأنه قد دله على واجبات الإسلام قبل
(pintu-pintu kebaikan) yaitu ibadah nawafil (sunah), karena sebelumnya sudah diberitahukan tentang kewajiban-kewajiban dalam Islam. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits. 29)
Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:
أي الطرق الموصلة به، والمراد بها النوافل
Yaitu jalan-jalan yang dengannya sampai kepada tujuan, maksudnya adalah amalan-amalan sunah. (Mir’ah Al Mafatih, 1/99, Tuhfah Al Ahwadzi, 7/304)
Al Abwaab (pintu-pintu) jamak dari Al Baab, dia bisa bermakna ma’nawiyah seperti Bab dalam Ilmu Fiqih; Baabul Wudhu’, Baabush Shalah, dan lainnya. Juga bermakna hissiyah (fisik) seperti Baabul Bait (pintu rumah), dan lainnya.
Apa perbedaan antara yang nabi katakan pertama, yakni rukun Islam, dan yang kedua tentang pintu-pintu kebaikan?
Pertama, rukun Islam adalah fardhu ‘ain dan tidak bisa ditambahkan dan dikurangi.
Kedua, pintu-pintu kebaikan bisa ada yang wajib dan sunah, dan bisa bertambah dan berkurang, sesuai kemampuan dan kemampuan orang yang melakukannya.
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan:
كل هذه معروفة عند الجميع وهم متساوون فيها، ولكن أبواب الخير تزيد وتتسع، وتضيق وتقل، فهي قابلة للزيادة، ولكن أركان الإسلام لا تقبل زيادة ولا نقصاً
Semua kewajiban ini (rukun Islam, pen) telah dikenal oleh semua manusia dan mereka pun juga mendapatkan posisi yang sama terhadap kewajiban ini, tetapi pintu-pintu kebaikan dia bisa bertambah dan semakin luas, bisa menyimpit dan semakin sedikit, dia menerima adanya tambahan, tetapi rukun Islam tidak menerima adanya penambahan dan pengurangan. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 64/6)
Selanjutnya:
الصَّوْمُ جُنَّةٌ : puasa itu perisai
Ini pintu kebaikan pertama yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu puasa yang perisai dari keinginan berbuat jahat, emosi, dan hawa nafsu yang jelek. Ini adalah perisai di dunia, ada pun di akhirat shaum adalah perisai dari panasnya api neraka.
Puasa yang mana? Yaitu puasa wajib dan sunah. Tetapi, dalam konteks hadits ini, ini adalah puasa sunah, sebab puasa wajibnya sudah disebut sebelumnya bersama rukun Islam lainnya. Menurut keterangan para ulama sebelumnya, bahwa pintu-pintu kebaikan ini adalah ibadah nawaafil (sunah), maka semakin jelas bahwa puasa yang dimaksud adalah puasa sunah.
Berkata Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh Hafizhahullah:
الصوم يريد به صوم النفل؛ لأنه قدم صيام رمضان
Shaum yang dimaksud adalah shaum sunah, karena puasa Ramadhan sudah disebutkan sebelumnya. (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Syarah hadits 29)
Junnah artinya wiqaayah (pelindung), Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
الصوم جنة أي يقي صاحبه ما يؤذيه من الشهوات . والجنة : الوقاية
Ash Shaum adalah junnah yaitu melindungi pelakunya dari syahwa-syahwat yang mengganggunya. Al Junnah artinya Al Wiqaayah (pelindung/tameng). (Imam Ibnul Atsir, An Nihayah fi Gharibil Aatsar, 1/828, Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 7/304)
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:
أي مانع من النار أو من المعاصي بكسرة الشهوة وضعف القوة
Yaitu mencegah dari api neraka atau dari berbagai maksiat dengan cara memecahkan syahwat dan melemahkan kekuatannya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/304)
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan:
جنة : بضم الجيم _ وقاية لصاحبه من المعاصي في الدنيا ، ومن النار في الآخرة
Junnah: dengan jim di-dhammahkan, artinya pelindung bagi pelakunya (orang berpuasa) dari maksiat di dunia, dan dari api neraka di akhirat. (Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 29)
Imam As Suyuthi Rahimahullah mengutip dari Imam Ibnul ‘Arabi Rahimahullah, katanya:
انما كان الصوم جنة من النار لأنه إمساك عن الشهوات والنار محفوفة الشهوات فإذا كان أحدكم صائما فلا يرفث
Sesungguhnya puasa itu adalah tameng dari api neraka, karena dia menahan diri dari syahwat, karena neraka dikelilingi oleh syahwat, maka jika kalian berpuasa janganlah dia berbuat rafats (melepaskan syahwat). (Tanwir Hawalik, 1/226)
Selanjutnya:
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ : sedekah akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api
Yaitu sedekah sunah, dan hadits ini menjadi dalil bahwa sedekah sunah dapat menghilangkan dosa. Ada pun tentang sedekah wajib –yaitu zakat- sudah disebutkan pula dalam kalimat sebelumnya. Keduanya –sedekah wajib dan sunah- sama-sama dapat menghilangkan dosa dan kesalahan pelakunya.
Allah Ta’ala berfirman tentang fungsi zakat yang dapat mensucikan pelakunya:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka (QS. At Taubah (9): 103)
Berkata Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh Hafizhahullah:
الصدقة بأنواعها تطفئ الخطايا؛ الصدقة بالقول وبالعمل، الواجبة والمستحبة، والصدقة بالمال، كل هذه تطفئ الخطايا؛ لأنها حسنات، والله جل وعلا قال: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ [هود:114]
Sedekah dengan segala jenisnya bisa menghapuskan kesalahan, baik sedekah dengan ucapan dan perbuatan, yang wajib dan yang sunah, dan sedekah dengan harta, semua ini bisa menghapuskan kesalahan, karena sedekah termasuk kebaikan, dan Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (QS. Huud: 114). (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Syarah hadits 29)
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
أي تذهبها وتمحو أثرها أي إذا كانت متعلقة بحق الله تعالى وإذا كانت من حقوق العباد فتدفع تلك الحسنة إلى خصمه عوضا عن مظلمته
Yaitu menghilangkannya dan menghapuskan bekasnya, yakni jika kesalahan ini terkait dengan hak Allah Ta’ala. Jika kesalahannya terkait dengan hak-hak hamba, maka tunaikan kebaikan itu kepada pihak yang menjadi korban kejahatannya sebagai tebusan dari kezalimannya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/304)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Rahimahullah mengatakan:
فيه بيان عظم شأن الصدقة النافلة، وأنَّ الله تعالى يحطُّ بها الخطايا ويُطفئها بها كما يُطفئ الماءُ النارَ، والخطايا هي الصغائر، وكذلك الكبائر مع التوبة منها، وتشبيه النَّبيِّ إطفاء الصدقة للخطايا بإطفاء الماء النار يدلُّ على زوال الخطايا كلّها؛ فإنَّ المشاهد في الماء إذا وقع على النار أنَّه يزيلها حتى لا يبقى لها وجود.
Pada kalimat ini terdapat penjelasan keagungan sedekah sunah, sesungguhnya Allah Ta’ala menghapuskan dengannya kesalahan dan memadamkannya sebagaimana air memadamkan api. Kesalahan ini adalah dosa kecil, demikian pula dosa besar mesti dibarengi dengan tobat dari perbuatan tersebut. Nabi menyerupakan penghapusan dosa oleh sedekah dengan pemadaman api oleh air itu menunjukkan hilangnya semua kesalahannya. Sesungguhnya benda terbakar yang berada dalam air, maka itu akan memadamkannya sampai tidak ada lagi sisanya. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 91)
Selanjutnya:
وَصَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ : dan shalatnya seseorang ditengah malam
Ini juga sunah yang menjadi pintu kebaikan yang dapat mengantarkan pelakunya ke surga, yakni shalat malam (qiyamul lail) ketika banyak manusia tertidur.
Sebenarnya, qiyamul lail banyak jenisnya; shalat sunah apa pun dilakukan setelah isya adalah qiyamul lail. Baik tahajud dan witir, begitu pula shalat hajat, istikharah, shalat taubat, yang dilakukan pada tengah malam, semua ini adalah shalat malam. Namun, yang paling dominan dan berkembang dalam pemahaman kebanyakan manusia shalat malam adalah tahajud. Sebagaimana ayat:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS. Al Isra (17): 79)
Dalam hadits ini disebut shalatur rajul (shalatnya laki-laki), apakah wanita tidak termasuk?
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah menjawab:
من المعلوم أن الرجال مقدمون على النساء، وإذا ذكر الرجال في القرآن فالنسوة تبع، إلا إذا جاء نص يدل على خروجهن
Telah diketahui bahwa kaum laki-laki didahulukan di atas kaum wanita, jika disebutkan kaum laki-laki dalam Al Quran maka kaum wanita ikut mencakup di dalamnya, kecuali jika ada nash yang menunjukkan keluarnya mereka dari cakupan itu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 66/6)
Mencakupnya kaum wanita diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada malam hari lalu dia shalat dan membangunkan istrinya, jika dia terlelap lalu dia mencipratkan air ke wajah istrinya. Semoga Allah merahmati kaum wanita yang bangun di malam hari lalu dia shalat dan membangunkan suaminya, jika dia tertidur maka dia mencipratkan air ke wajah suaminya. (HR. Abu Daud No. 1308, Ibnu Majah No. 1336, Ahmad No. 8410, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 828, Ibnu Khuzaimah No. 1148, Al Bazzar No. 8928)
Kata Imam An Nawawi isnadnya shahih. (Riyadhush Shalihin, Bab Qiyamul lail, 2/52. Mawqi’ Shaid Al Fawaaid), Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan isnadnya qawwi (kuat). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8410), Syaikh Al A’zhami mengatakan: shahih. (Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah, 2/183. Tahqiq: Dr. Muhammad Mushthafa Al A’zhami)
Dalam hadits lain:
مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
Barang siapa yang bangun di malam hari dan dia membangunkan istrinya, lalu mereka berdua shalat dua rakaat secara bersama-sama, maka dicatat bagi keduanya sebagai orang yang banyak mengingat Allah. (HR. Abu Daud No. 1409, Al Hakim No. 1189, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 2965, dll)
Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat syaikhan. (Al Mustadrak No. 1189), Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: shahih. (Nataij Al Afkar, 1/34), Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. (Shahihul Jami’ No. 333)
Selanjutnya:
ثُمَّ قَالَ : lalu Beliau bersabda
أَلا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ : Maukah engkau saya beritahukan pokok dari segala perkara, tiang-tiangnya dan puncaknya ?
Maukah diberitahukan tentang hal yang paling utama di antara yang utama?
Ra’sul Amri berarti kepalanya urusan, kepada (ra’sun) adalah yang paling pokok dan yang paling terlihat, maka di sebut ra’sul amri.
Imam Abul Hasan As Sindi Rahimahullah berkata tentang:
أَيْ هُوَ لِلدِّينِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْس لِلرَّجُلِ
Yaitu ini adalah makna bagi agama dengan kedudukannya yang sama dengan kepala seseorang. (Hasyiah ‘ala Ibni Majah, 7/343)
Ada pun ‘umuud adalah jamak dari ‘imaad (tiang), yang merupakan penyangga tegaknya agama.
Imam As Sindi juga berkata:
( وَعَمُوده ) أَيْ مَا يَعْتَمِد عَلَيْهِ الدِّين وَهُوَ لَهُ بِمَنْزِلَةِ الْعَمُود لِلْبَيْتِ
(dan tinag-tiangnya) yaitu apa-apa yang menjadi sandaran bagi agama, keduduakannya seprti tiang bagi rumah. (Ibid)
Ada pun Sanaam, adalah punuk unta, sedangkan dzirwah atau dzurwah adalah puncak dari ketinggian.
Beliau juga berkata:
السَّنَام بِالْفَتْحِ مَا اِرْتَفَعَ مِنْ ظَهْر الْجَمَل وَذُرْوَته بِالضَّمِّ وَالْكَسْر أَعْلَاهُ أَيْ بِمَا هُوَ لِلدِّينِ بِمَنْزِلَةِ ذُرْوَة السَّنَام لِلْجَمَلِ فِي الْعُلُوّ وَالِارْتِفَاع
As Sanaam dengan difathahkan adalah bagian punggung unta yang meninggi (punuk), dan dzurwah (dengan didhammahkan) dan dikasrahkan (dzirwah) adalah puncaknya yang tertinggi, yakni ini adalah sesuatu yang bagi agama posisinya merupakan puncak sebagaimana puncak punuk unta yang tinggi. (Ibid)
Nah, semua ini baik pokok, tiang, dan puncaknya dijelaskan oleh nabi dalam kalimat selanjutnya.
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ: Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad
Yaitu pokoknya adalah Islam yakni dengan menucapkan dua kalimat syahadat dengan jujur dan benar, tiang-tiangnya adalah shalat wajib, dan puncaknya adalah jihad fisabilillah baik dengan bermakna perang melawan kafir, pemberontak, ahli maksiat, hawa nafsu, dan melakukan da’wah serta amar ma’ruf nahi munkar.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. (Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, Hal. 360), Imam Al Bushiri juga mengisyaratkan kedhaifan hadits ini lantaran ada rawi bernama Ibnu Lahi’ah yang terkenal kedhaifannya. (Az Zawaid, 4/179), yakni karena buruk hafalannya. Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dha’iful Jami’ No. 2029)
Namun dalam sanad lain, yakni yang disebutkan Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya, hadits ini shahih. Dan Imam Adz Dzahabi berkata: “Shahih wa laa ‘illata lahu – Shahih dan tidak ada cacat baginya.” (Lihat Al Mustadrak No. 4)
Syaikh Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ad Duwaisy telah mengkritik pendhaifan Syaikh Al Albani terhadap hadits ini, menurutnya yang didhaifkan oleh Syaikh Al Albani adalah sanad yang ada pada Ibnu Majah, ada pun pada sanad Imam Al Hakim adalah shahih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi di atas. Menurutnya, mungkin Syaikh Al Albani belum menemukan sanad hadits ini, sehingga dia tetap mendhaifkannya.
Syaikh Abdullah Ad Duwaisy berkata:
أقول : هذا فيه نظر فقد ورد بإسناد صحيح كما قال الحاكم في المستدرك (1 : 4) حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا الربيع بن سليمان ثنا عبد الله بن وهب أخبرني الليث بن سعد عن عياش بن عباس القتباني عن زيد بن أسلم عن أبيه عن عمر خرج إلى المسجد يومًا فوجد معاذ بن جبل عند قبر رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يبكي فقال : ما يبكيك يا معاذ ؟ قال : يبكيني حديث سمعته من رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول : … فذكره . قال الحاكم : هذا حديث صحيح ووافقه الذهبي . قلت : وهو كما قالا ولعل المؤلف لم يقف على هذا الإسناد ولذلك لم يعز إليه ، وإنما عزاه إلى ابن ماجة وإسناد ابن ماجة ضعيف ، وأما هذا فقد احتج أهل الصحيح برواته .
Saya katakan: “Pendapat ini (yakni pendhaifan Syaikh Al Albani) perlu ditinjau lagi. Sebab terdapat riwayat dengan isnad yang shahih sebagaimana perkataan Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak (1:4) ……….. (lalu disebutkan sanad dan hadits di atas). Lalu Berkata Imam Al Hakim: “Hadits ini shahih”, dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Saya (Syaikh Abdullah Ad Duwaisy) berkata: “Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh mereka berdua (maksudnya shahih), barangkali penulis (Syaikh Al Albani) belum menemukan isnad ini, oleh karenanya dia tidak menguatkannya, Beliau menguatkan hadits Ibnu Majah dan isnad Ibnu Majah adalah dhaif. Ada pun hadits ini, pengarang kitab Shahih telah berhujjah dengan para perawinya. (Syaikh Abdullah Ad Duwaisy, Tanbih Al Qari ‘ala Taqwiyati Maa Dha’afahu Al Albani, Hal. 95)
[2] Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
بَلْ الْمَدْح فِي تَرْك الرُّقَى الْمُرَاد بِهَا الرُّقَى الَّتِي هِيَ مِنْ كَلَام الْكُفَّار ، وَالرُّقَى الْمَجْهُولَة ، وَالَّتِي بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّة ، وَمَا لَا يُعْرَف مَعْنَاهَا ، فَهَذِهِ مَذْمُومَة لِاحْتِمَالِ أَنَّ مَعْنَاهَا كُفْر ، أَوْ قَرِيب مِنْهُ ، أَوْ مَكْرُوه
Bahkan, adalah hal yang terpuji meninggalkan ruqyah, yakni ruqyah yang terbuat dari kata-kata orang kafir, majhul (tidak dikenal), bukan bahasa Arab, dan apa-apa yang tidak diketahui maknanya. Ini semua adalah tercela karena maknanya mengandung kekufuran, atau mendekatinya, atau makna yang dibenci.” (Syarh Shahih Muslim, 7/325. Mawqi’ Islam)
Berkata Imam Al Maziri Rahimahullah:
وَمَنْهِيّ عَنْهَا إِذَا كَانَتْ بِاللُّغَةِ الْعَجَمِيَّة ، أَوْ بِمَا لَا يُدْرَى مَعْنَاهُ ، لِجَوَازِ أَنْ يَكُون فِيهِ كُفْر .
“Ruqyah yang dilarang adalah jika menggunakan bahasa selain Arab, atau yang tidak diketahui maknanya, yang boleh jadi mengandung kekufuran.” (Ibid)