Nama dan nasabnya
Imam Bukhari memiliki nama asli Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah. Kuniyahnya adalah Abu Abdillah. Ia berasal dari Bukhara, sekarang masuk wilayah Uzbekistan, sehingga terkenal dengan sebutan Al-Bukhari.
Ayahanda Imam Bukhari
Ismail, ayah Imam Bukhari, adalah seorang ulama hadits di daerah Bukhara. Ia murid dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid dan Abdullah bin Mubarak. Ia dikenal sebagai ahli hadis. Ibnu Hibban mencantumkan biografinya dalam kitab At-Tsiqat. Ibnu Hibban juga mengatakan bahwa Ismail bin Ibrahim masuk dalam thabaqat keempat.
Ismail juga seorang pebisnis. Ia termasuk orang kaya, namun sangat berhati-hati dalam menjaga hartanya agar tidak tercampur dengan yang syubhat, apalagi haram.
Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Muhammad bin Ismail lahir di Bukhara pada hari Jumat, tepatnya setelah Sholat Jumat, pada tanggal 13 Syawal tahun 194 Hijriyah/21 Juli 810 M, di masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (w 218 H / 833 M).
Bukhara, waktu itu merupakan wilayah Khurasan, dimana Islam masuk ke sana pada masa Daulah Bani Umayyah.
Ketika Imam Bukhari masih kecil, sang ayah wafat. Jadilah Imam Bukhari menjadi anak yatim. Kendati demikian, di bawah pengasuhan sang ibu yang ahli ibadah, ia tumbuh menjadi anak shalih yang cinta ilmu.
Dikisahkan sewaktu kecil Imam Bukhari sempat mengalami kebutaan. Awalnya penghilatannya berkurang, makin lama makin tidak jelas hingga tak bisa melihat. Sang ibu yang taat beribadah terus mendoakannya. Terutama di sepertiga malam terakhir, usai sholat tahajud.
Suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi. Nabi Ibrahim menemuinya dalam mimpi itu lantas mengatakan, “Wahai ibu, sungguh Allah telah mengembalikan kedua mata putramu karena engkau sering berdoa kepada-Nya.”
Pagi harinya, kejaiban terjadi. Muhammad bin Ismail sembuh dari buta. Matanya kembali bisa melihat seperti sedia kala.
Imam Bukhari telah hafal Al Qur’an pada usia 10 tahun. Ia juga mulai hafal banyak hadits tanpa mencatat. Ia bisa menghafal apa saja yang dibacanya.
Imam Bukhari berkata:
أُلْهِمْتُ حِفْظَ الْحَدِيثِ وَأَنَا فِي الْكُتَّابِ . فَقُلْتُ : كَمْ كَانَ سَنُّكَ؟ فَقَالَ : عَشْرَ سِنِينَ ، أَوْ أَقَلَّ
“Saya mendapatkan ilham untuk mudah menghafal hadis, saat itu masih di Kuttab (tempat belajar baca tulis), saat usia 10 tahun atau kurang.”
Ia berbeda dengan anak-anak lainnya. Saat teman-temannya pulang untuk bermain, ia masih meneruskan membaca dan belajar.
Mampu Mengkoreksi
Pada usia 11 tahun, Imam Bukhari sudah menghafal banyak hadits beserta sanadnya. Ia bisa mengoreksi ketika ada kesalahan hadits yang ia dengar.
Suatu hari ada yang membacakan hadits, “Sufyan dari Abu Az Zubair dari Ibrahim..” Imam Bukhari lalu mengingatkannya, “Wahai Abu Fulan, sesungguhnya Abu Az Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.” Nama periwayat yang benar dalam hadits yang dikoreksi adalah Az Zubair bin Addi, bukan Abu Az Zubair.
Pada usia 16 tahun, Imam Bukhari telah hafal Musnad Abdullan bin Mubarak serta kitab karya Waqi’. Ia juga sudah memahami fiqih asḫabur ra’yi (madzhab Hanafi).
Pada usia 16 tahun pula, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Makkah. Disana ia berguru kepada banyak ulama termasuk Al Humaidi.
Pada usia 17 tahun, ia telah hafal Al Jami’ Sufyan Ats Tsauri, juga banyak membetulkan catatan para ulama.
Rihlah ke Madinah
Memasuki usia 18 tahun, Imam Bukhari rihlah ke Madinah, setelah keilmuannya mendapat sanjungan dari Al Humaidi. Bahkan menjadi rujukan saat terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits.
Di Madinah, Imam Bukhari berguru kepada banyak ulama. Terutama ulama tabiut tabi’in yang masih hidup. Di antaranya Ibrahim bin Al Mundzir, Mathraf bin Abdillah, Ibrahim bin Hamzah dan Abu Tsabit Muhammad bin Ubaidillah. Juga menuliskan karya pertama, At Tarikh, yang ia selesaikan di makam Rasulullah (Ar Raudhah).
Rihlah ke Bashrah
Pada usia 19 tahun, Imam Bukhari rihlah ke Bashrah. Ia berguru kepada banyak ulama di sana. Di antaranya Abu Ashim bin An-Nabil, Shafwan bin Isa, Badil bin Tsabit, dan lainnya. Lalu rihlah ke Kufah dan berguru kepada Abdullah bin Musa, Abu Nu’aim bin Ya’kub, Hasan bin Rabi’ dan para ulama lainnya.
Rihlah ke Baghdad, Syam, dan Mesir
Pada usia 20 tahun, Imam Bukhari rihlah ke Baghdad. Maka ia pun berguru kepada banyak ulama termasuk Imam Ahmad bin Hambal. Namun karena kondisi keamanan yang mulai tidak stabil karena adanya mihnah, Imam Ahmad menyarankan Imam Bukhari untuk segera keluar dari Baghdad.
Ia rihlah ke Syam. Di sana ia berguru kepada Yusuf Al-Farabi, Abu Ishaq bin Ibrahim dan para ulama lainnya. Ia juga rihlah ke Mesir. Berguru kepada Utsman bin Ash Shaigh, Said bin Abi Maryam dan sejumlah ulama lainnya.
Memburu Hadits
Mujahadah-nya demi mendapatkan hadits sangat luar biasa. Ia pernah menempuh perjalanan hingga sebulan demi mendapatkan sebuah hadits shahih. Namun ia juga bisa mendapatkan hadits yang sangat banyak dari seorang ulama.
Imam Bukhari hafal 200.000 hadits. 100.000 di antaranya adalah hadits shahih. Bahkan ada yang menyebut ia hafal hingga 600.000 ribu hadits.
Diuji oleh Para Ulama
Saat Imam Bukhari akan datang ke Baghdad. Para ulama ahli hadits berkumpul, mereka hendak menguji keilmuan Imam Bukhari dengan mengacak sanad 100 hadits. Hadits yang sudah diacak sanadnya itu lalu dipercayakan kepada 10 ulama. Masing-masing ulama akan membawakan 10 hadits. Seluruh ulama lalu menanyakan hadits yang telah diacak itu kepada Imam Bukhari, dan ia selalu menjawab, “Tidak tahu.”
Namun, sesaat kemudian Imam Bukhari membacakan seluruh hadits itu dengan membetulkan susunan sanadnya sehingga semuanya menjadi hadits yang benar. Yang lebih menakjubkan, Imam Bukhari bisa mengingat 100 hadits itu tanpa mencatatnya.
Murid Imam Bukhari
Murid Imam Bukhari berjumlah 90.000 orang. Di antaranya adalah Imam Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i, Ad Darimi, Ibnu Khuzaimah serta banyak ulama besar lainnya. Disebutkan bahwa jumlah orang yang mendengar di majelisnya bisa mencapai 20.000 orang.
Ibadah, Zuhud, dan Wara’ nya
Imam Bukhari perbah shalat jamaah Dzuhur di perkebunan. Lalu ia shalat ba’diyah cukup panjang. Usai shalat, ia minta temannya melihat ada apa di balik bajunya karena ia merasa ada yang menggigitnya. Rupanya ada 17 bekas gigitan lalat kerbau.
“Mengapa engkau tidak membatalkan shalatmu, kan cuma shalat sunnah?” tanya temannya itu.
“Aku sedang membaca surat Al-Qur’an dan aku tidak suka memutusnya hingga akhir surat,” Jawab Imam Bukhari.
Ia terbiasa shalat malam 13 rakaat. Sholat tahajud dan sholat witir sebagaimana hadits shahih yang ia riwayatkan. Pada bulan Ramadhan, setiap malam Al Bukhari khatam Al Qur’an dalam shalatnya. Di pagi hari ia tilawah 10 juz, siang 10 juz dan sebelum buka puasa 10 juz. Sehingga dalam bulan Ramadhan ia khatam 60 kali.
Karya-karyanya
- Al Jami’ Ash Shahih (Shahih Bukhari)
- Adab Al Mufrad
- At Tarikh Al Kabir
- At Tarikh Al Ausath
- At Tarikh As Shaghir
- Khalqu Af’al Al Ibad
- Adh Dhu’afa Ash Shaghir
- Juz’u Al Yadain
- Juz’u Al Qira’ah Khalfa Al Iman
- Kitab Al Kuna
- Al Masbuth
- Birrul Walidain
- Al Asyribah
- Al Wihdan
- Qadhaya Ash Shahabah wa At Tabi’in
- At Tafsir Al Kabir
- Al Hibah
Kitab Shahih Al-Bukhari
Dari 100.000 hadits shahih yang dihafalnya, Imam Bukhari menyaringnya dengan sangat ketat. Akhirnya terbitlah karya monumental Jami’ Ash Shahih yang memuat 7.275 hadits shahih.
Latar belakang penulisan kitab Shahih Al-Bukhari adalah:
- Belum adanya kitab hadits yang khusus memuat hadits-hadits shahih dan mencakup berbagai bidang dan permasalahan.
- Motivasi dari guru beliau yakni Ishak bin Rahuyah rahimahullah. Ia berkata kepada Imam Bukhari, “Andaikata engkau menulis satu buku hadits yang berisikan hadits-hadits shahîh (maka hal itu sangat baik)”. Kemudian Imam Bukhari berkata, “Perkataan tersebut membekas dalam hatiku, kemudian aku mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam kitab tersebut”
- Imam Bukhari pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku berdiri dihadapannya dan mengipasinya, kemudian aku menanyakan mimpi tersebut kepada orang yang ahli menta’bir mimpi, ia menjawab, ‘Kamu menolak kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah.’ Hal itulah yang menyebabkan aku menulis al-Jami’ al-Shahîh.”
Judul Asli Kitab Shahih Al-Bukhari
Pada abad ke-4, Imam Al-Hafidz Abu Nashr Muhammad Al-Kalabadzi (w. 398 H) yang menulis buku Al-Hidayah wa Al-Irsyad fi Ma’rifah Ahli Al-Tsiqah wa Al-Sadad yang dikenal dengan Rijal Shahih Al-Bukhari kemudian menuliskan judul asli dari Shahih Al-Bukhari: “Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah ﷺ wa Sunanihi wa Ayyamihi”.
Makna nama tersebut sebagai berikut: Al-Jami artinya kumpulan pembahasan; Al-Musnad artinya disandarkan dan tersambung sanadnya; As-Shahih artinya hadits shahih, dan hadits-hadits dalam kitab ini telah dipilih dan disusun dalam jangka waktu 16 tahun; sedangkan Al-Mukhtashar artinya ringkasan, karena kitab ini adalah ringkasan dari Al-Mabsuth.
Syarat Keshahihan Hadits Menurut Imam Bukhari
- Muttashil : tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis telah menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, mulai dari periwayat tingkat pertama sampai periwayat terakhir. Al-Bukhari mensyaratkan terjadinya pertemuan antara para periwayat terdekat itu, walaupun pertemuan itu hanya satu kali saja.
- ‘Adil: periwayat harus beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
- Dhabith: periwayat harus kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu terhindar dari syadz dan illat.
Ujian dalam hidupnya
Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, semua menyambut dengan gembira. Awalmya ia sangat disukai oleh rakyat jelata, ulama juga penguasa. Namun karena majelis ilmu Imam Bukhari lebih ramai dihadiri oleh para penuntut ilmu ketimbang majlis di bawah asuhan gurunya, Muhammad bin Yahya adz Dzuhli, maka terjadilah fitnah kepada Imam Bukhari. Ulama yang sangat dihormati beliau tersebut dengan menuduh Imam Bukhari sesat (Siyar A’lamun Nubala, 12/437).
Tuduhan tersebut adalah berkaitan dengan permasalahan kalam. Seseorang pernah bertanya kepada Imam Bukhari, apakah bacaan Al-Qur’an yang keluar dari mulutnya itu kalamullah ataukah makhluk?
Awalnya Imam Bukhari tidak mau menjawab. Namun setelah didesak, ia hanya mengatakan: “Al-Qur’an adalah kalamullah, dan perbuatan hamba adalah makhluk.” Jawaban ini dipahami oleh orang yang bertanya bahwa Imam Bukhari berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Si penanya lalu menyampaikan hal ini kepada Muhammad bin Yahya adz Dzuhli. Lalu, ia mentahdzir Imam Bukhari.
Hal ini menyebabkan tidak ada orang yang berani mengunjungi Imam Bukhari, kecuali segelintir orang. Di antara segelintir orang itu ada Imam Muslim dan Imam Ahmad An-Naisaburi yang setia menemani Imam Bukhari. Hal ini terjadi sampai akhirnya Imam Bukhari terusir dari Naisabur. (Mukhtashor Tarikh Damaski : 24/289).
Ujian lain terjadi di penghujung usianya. Amir Bukhara, Khalid bin Ahmad Adz Dzahuli, meminta Imam Bukhari datang ke istananya untuk mengajar anak-anaknya secara khusus. Namun Imam Bukhari menolaknya karena berprinsip ilmu itu mulia dan tidak boleh terhina meskipun di depan penguasa. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.
Adz Dzahuli murka, lalu memobilisasi ulama istana untuk menjelek-jelekkan dan memfitnah Imam Bukhari. Bahkan ia kemudian mengusir Imam Bukhari.
Hijrah dan Wafat di Samarqand
Imam Bukhari pun dengan sabar hijrah ke Samarqand. Sebulan setelah Imam Bukhari meninggalkan Bukhara, Adz Dzahuli lengser dan dijebloskan ke penjara. Anak-anaknya juga menghadapi musibah.
Sejak hijrah dan faktor usia juga, kondisi kesehatan Imam Bukhari semakin menurun. Akhirnya ia wafat pada 256 H dalam usia 62 tahun. Tepat di malam Idul Fitri.