Ibnu Jarir At-Thabari dikenal dengan julukan Imam At-Thabari. Ia merupakan pengarang kitab Jamiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an yang dikenal dengan Tafsir At-Thabari (12 jilid). Tafsir itu dikenal sebagai tafsir Al-Qur’an bil ma’tsur.
Nama aslinya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari. Ia dilahirkan di Tabaristan, sebuah kota kecil di wilayah Persia pada tahun 224 H/839 M dan wafat di tahun 310 H/923 M, artinya ia hidup pada zaman Khalifah Al-Watsiq Billah (Dinasti Abbasiyah).
Ulama yang Melajang
Dalam kitab Al-Ulama al-Uzzab yang memuat biografi ulama-ulama yang tidak menikah, nama At-Thabari berada di deretan ke-17 setelah Imam Yahya bin Syarif An-Nawawi (Imam Nawawi).
Dalam kitab itu dijelaskan, beliau mempunyai kulit berwarna coklat, berpengawakan tegak tinggi. Rambut dan jenggotnya berwarna hitam pekat. Dan konon hingga ia wafat pun warnanya tetap seperti itu.
Ia suka mengkonsumsi buah anggur dan minum susu kambing segar. Ia tidak menyukai madu dan wijen, dan makanan yang kandungan lemaknya tinggi, karena ia mempunyai penyakit lambung.
Bimbingan Sang Ayah
Ath-Thabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan; terutama dibidang keagamaan. Ayah At-Thabari, Jarir Ibn Yazid adalah seorang ulama, dialah yang memperkenalkan dunia ilmiah kepada ath-Thabari dengan membawanya belajar pada guru-guru di daerahnya sendiri, mulai dari belajar al-Qur’an hingga ilmu-ilmu agama lainnya.
At-Thabari hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun. Pada usia 8 tahun, ia sering dipercaya masyarakat menjadi imam sholat. Pada umur 9 tahun ia mulai gemar menulis hadits Nabi.
Isyarat Mimpi
Suatu ketika sang ayah bermimpi melihat At-Thabari berada di hadapan Nabi Muhammad n, dengan membawa wadah yang berisi batu, lalu ath-Thabari melemparkan batu tersebut di hadapan Nabi n. Sang ayah kemudian menceritakan perihal mimpi tersebut kepada penafsir mimpi. Mimpi itu diartikan bahwa At-Thabari kelak akan menjaga syariat Islam dan menjadi penasehat agama Islam. Oleh karena itu, sang ayah sangat memperhatikan pendidikan At-Thabari.
Rihlah Ilmiyah
Sejak umur 12 tahun (236 H/851 M) At-Thabari sudah memulai perjalanannnya untuk menimba ilmu ke beberapa penjuru daerah. Ray menjadi tujuan pertamanya untuk menimba salah satu ilmu yang ingin ia perdalami yaitu hadist. Ia bertemu seorang guru yang bernama Muhammad bin Humaid ar-Razi, yang tidak hanya mengajarkan hadist saja tetapi Sirah Nabawi pun beliau ajarkan kepada ath-Thabari.
Pada tahun 241 H/856 M, dalam usia 18 tahun, At-Thabari melanjutkan perjalanannya ke Baghdad untuk mempelajari ilmu hadits kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sayang, ketika ath-Thabari masih dalam perjalanan menuju Baghdad, Imam Ahmad bin Hanbal terlebih dulu wafat sehingga akhirnya At-Thabari belum sempat belajar kepadanya.
Tahun 242 H/857 M, dalam usia 19 tahun, At-Thabari melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Bashrah. Di kota ini, beliau belajar hadist kepada Muhammad bin al-Ma’alli dan Muhammad bin Basyar. Kemudian beliau pergi ke Kufah dan berguru kepada Hanna’ bin al-Sary dan Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala al-Hamdani.
Tahun 245 H/860 M, di usia 22 tahun, ia pergi ke Syam. Disana ia mempelajari ilmu Qira’at kepada al-‘Abbas bin al-Walid al-Bairuni dengan qira’at Syamiyyin (Qira’at yang diriwayatkan oleh orang-orang Syam).
Terakhir ia pergi ke Mesir untuk mempelajari ilmu fikih kepada al-Muzani (sahabat Imam Syafi’i) dan ditambah belajar fikih Maliki kepada Muhammad bin ‘Abd Allah bin al-Hakam dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.
Menetap di Baghdad
Setelah melakukan perjalanan panjang, kemudian ia kembali ke Thabaristan untuk bermukim sejenak; hingga akhirnya pergi ke Baghdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya.
Imam At-Thabari mengalami keterbatasan ekonomi di awal keberadaannya di Baghdad, ia berusaha mengatasai persoalan ini dengan mengajar anak menteri Abu Hasan bin Khaqan, itupun dengan kesepakatan tidak menganggu waktu belajar Imam Thabari. Dari pekerjaan barunya, Imam Thabari menerima upah 10 dinar setiap bulan.
Menolak Jabatan dan Hadiah
Menteri al-Khaqani pernah pernah menawarkan jabatan Hakim Daulah Abbassiyah kepadanya, tapi ia tolak. Tidak hanya itu, at-Thabari juga menolak hadiah 1000 dinar dari menteri Al-Abbas bin Hasan atas buku yang ia buat, Al-Khafif.
Guru-guru Imam At-Thabari Menurut Catatan Adz-Dzahabi
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib, Ismail bin Musa As-Sanadi, Ishaq bin Abi Israel, Muhammad bin Abi Ma’syar, Muhammad bin Hamid Ar-Razi, Ahmad bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin Abd Al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin Al-Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin Ash-Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-Shaffar, Murid-murid At-Thabari, Abu Syuaib bin Al-Hasan Al-Harrani, Abul Qasim Ath-Thabarani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar Asy-Syafi’I, Abu Ahmad Ibnu Adi, Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi, Abu Muhammad Ibnu Zaid Al-Qadhi, Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah Al-Hudhaibi, Abu Al-Mufadhadhal Muhammad bin Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said.
Imam At-Thabari Menurut Al-Khatib
Al-Khathib berkata: “Imam Ath-Thabari memiliki keutamaan, ilmu, kecerdasan, dan hafalan yang diakui oleh setiap orang. Beliau menguasai berbagai macam ilmu dalam Islam dan tidak ada seorang pun dari umat ini yang dapat mengunggulinya”.
“Beliau dikenal sebagai Imam mujtahid mutlak, Syaikh Mufassirin (Guru Para Ahli Tafsir), muhaddits (ahli hadis), sejarawan, faqih (ahli hukum fiqh), ushuli (ahli teori fiqh), dan ahli bahasa. Namun, Imam Thabari tidak pernah mengklaim diri sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana empat imam mazhab. Imam Ath-Thabari sendiri mengaku sebagai pengikut Mazhab Syafi’i.”
Manajemen Waktu Imam At-Thabari
Sebelum dzuhur ia terbiasa qailulah (tidur sebelum dzuhur). Setelah dzuhur, waktunya ia lalui dengan menulis sampai waktu ashar tiba. Setelah ashar, ia keluar rumah menuju masjid untuk mengisi kajian ilmu sampai maghrib. Setelah magrib, ia lanjutkan mengisi kajian ilmu hingga waktu Isya tiba. Setelah isya ia pulang ke rumahnya dan melanjutkan tulisannya di kamar. Hal itu ia lakukan setiap harinya.
Penulis Produktif
Selain karyanya di bidang tafsir Al-Qur’an, ada juga karyanya di bidang sejarah yaitu Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang dikenal dengan Tarikh At-Thabari (4 jilid). Di bidang fiqih karyanya yang terkenal adalah Ikhtilaf al-Fuqaha.
Ia juga menulis dalam bidang-bidang lainnya dalam bidang Qira’at, Asbabun Nuzul, Perbandingan Madzhab, Rijalul Hadis, Hukum Syari’at/ Fiqh.
Semenjak dewasa sampai wafatnya ia tidak menikah. Pendampingnya hanya sebuah pena dan secawan tinta serta seutas kertas. Dalam berkarya, beliau termasuk ulama yang produktif. Bagaimana tidak, Setiap harinya, tidak kurang dari 40 lembar tulisan hasil karyanya.
Karya-karyanya
Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam), Kitab Adabul Manasik, Kitab Adab an-Nufuus, Kitab Syarai’al-Islam, Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam, Kitab Al BasithKitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk), Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in, Kitab at-Tabshir, Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar, Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at, Kitab Haditsul Yaman, Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim, Kitab az- Zakat, Kitab Al ‘Aqidah, Kitabul fadhail, Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib, Kitab Mukhtashar Al Faraidz, Kitab Al Washaya,
Sekilas tentang Tafsir At-Thabari
Imam Ath-Thabari mendiktekan tafsirnya kepada para muridnya hingga 7 tahun lamanya, tepatnya pada tahun 280 H/893 M hingga 290 H/902 M.
Dahulu kitab ini nyaris tidak bisa kita dapati hari ini, sebelum akhirnya ditemukan versi lengkapnya di era Amir Hamud ibn Amir Abdur Rasyid dan kemudian segera disalin dan dicetak.
Sebelum menulis kitab tersebut, diceritakan bahwa beliau melakukan shalat istikharah dahulu selama 3 tahun, beliau meminta pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam penulisannya.
As-Suyuthi berpendapat bahwa karya Ibn Jarir ini merupakan karya tafsir yang paling agung dan memuat berbagai penjelasan keilmuan yang begitu luas. Al-Nawawi berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyaingi karya Ibn Jarir ini.
Metode Penulisan:
- Memiliki kalimat pembuka sebelum masuk ke penafsiran. Kalimat pembuka tersebut berbunyi seperti ini, “al-qaul fi ta’wil qauluhu ta’ala”.
- Mengutip seluruh riwayat penafsiran yang ada dari Sahabat maupun Tabi’in.
- Tidak meringkas riwayat yang didapat dan melakukan tarjih atasnya.
- Menyajikan penjelasan I’rab namun tidak pada semua penafsiran.
- Memberikan hasil istinbat hukum dan pilihan yang dipilihnya.
Tahdzir kepada Imam At-Thabari
Ibnu al-Atsir mengatakan tentang sebab terjadinya silang pendapat antara Imam Thabari dengan Hanabilah, yaitu karena Imam Thabari menulis satu kitab tentang Ikhtilaf Fuqaha’ dan tidak menyebutkan fiqih Ahmad bin Hanbal, lalu ia ditanya kenapa? Lantas Imam Thabari menjawab: “Ia bukanlah Ahli fiqih, tetapi ahli Hadits.” (Dr. Muhammad Amhazun, Tahqiq Mawaqif as-Shahabah fi al-Fitnah, (Riyadh, Maktabah al-Kautsar, 1994), cet pertama, juz I, hal. 183)
Imam At-Thabari pernah berkata: “Imam Ahmad bin Hanbal tidak dianggap ketika pendapat beliau bertentangan dengan lainnya.” (Syihabuddin ar-Rumi al-Hamawi w. 626 H, Mu’jam al-Udaba’, hal. 6/ 2450)
Selanjutnya Imam At-Thabari pun dituduh sebagai syi’ah rafidhah bahkan seorang ilhad (atheis) gara-gara menulis buku yang menshahihkan hadits Ghadir Khum.
“Mereka menuduh Imam Ibn Jarir at-Thabari sebagai Syiah Rafidhah, bahkan ada yang sampai menuduh atheis. Tapi itu semua tidaklah benar.” (Ismail ibn Katsir w. 774 H, al-Bidayah wa an-Nihayah, hal. 11/ 166).
Para pengikut Hanabilah melarang orang-orang untuk berkumpul dangan Imam Ibn Jarir (Ismail ibn Katsir w. 774 H, al-Bidayah wa an-Nihayah, hal. 11/ 166).
Imam Ibn Jarir at-Thabari dikuburkan di dalam rumahnya. Hal itu karena kaum awam dan kaum rendahannya Hanabilah mencegah pengkuburan Imam Ibn Jarir di siang hari.
Wafat dan dimakamkan di rumahnya
Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir Ath-Thabari meninggal pada waktu sore, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 H (923 M). Beliau dimakamkan di rumahnya, di Mihrab Ya’qub, Baghdad.”