Matan Hadits:
عنْ أَبي سَعيدٍ سَعدِ بنِ مَالِك بنِ سِنَانٍ الخُدريِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهٍِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) حَدِيْث حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ، وَالدَّارَقطْنِيّ وَغَيْرُهُمَا مُسْنَدَاً، وَرَوَاَهُ مَالِكٌ في المُوَطَّأِ مُرْسَلاً عَنْ عَمْرو بنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَن النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْقَطَ أَبَا سَعِيْدٍ ،وَلَهُ طُرُقٌ يُقَوِّيْ بَعْضُهَا بَعْضَاً.
Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan merusak (mencelakakan) orang lain dan diri sendiri.”
Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad Daruquthni dan selainnya, secara musnad (bersambung sanandnya), dan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ secara mursal, dari Amru bin Yahya, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia tidak menyebutkan nama Abu Sa’id, dan hadits ini memiliki banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain)
Takhrij Hadits:
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2340, dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit, dan No. 2341, dari Ibnu Abbas
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra dari beberap jalan: dari Abu Sa’id Al Khudri, No. 11166, dari Amru bin Yahya, dari ayahnya, 11167, 11658, 20231, kata Imam Al Baihaqi: diriwayatkan secara mursal, tetapi kami meriwayatkan dalam Ash Shulhu secara maushuul (bersambung sanadnya). Dari ‘Ubadah in Ash Shaamit No. 11657, 20230. Lihat juga As Sunan Ash Shaghir No. 1630, dari Amru bin Yahya dari ayahnya secara mursal.
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 2865, dari Ibnu Abbas
- Imam Ath Thabarani meriwayatkannya dalam Al Mu’jam Al Kabir 1387, dari Tsa’labah bin Malik, juga No. 11576, 11806, dari Ibnu Abbas. Juga dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 268, 1033, dari ‘Aisyah, juga No. 3777, dari Ibnu Abbas, juga No. 5193, dari Jabir bin Abdullah
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 3/77, dari Abu Sa’id Al Khudri, juga 4/277, dari ‘Aisyah
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah 1300, dari Tsa’labah bin Malik
- Imam Malik dalam Al Muwaththa’ riwayat Yahya Al Laitsi No. 1429
- Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya yang disusun oleh As Sindi No. 575
Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad berkata:
رواه مالك مرسلا ورواه أحمد وابن ماجة وغيرهما بسند فيه جابر الجعفي وهو ضعيف وأخرجه ابن أبي شيبة والدارقطني بسند آخر وله طرق فهو حسن
Diriwayatkan oleh Malik secara mursal, Ibnu Majah, dan selainnya, dengan sanad yang di dalamnya terdapat Jabir Al Ju’fi dan dia seorang yang lemah. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ad Daruquthni dengan sanad yang lain dan memiliki banyak jalan, maka hadits ini hasan. (Asnal Mathalib, Hal. 324. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata:
حسن، جابر- وهو ابن يزيد الجعفي، وإن كان ضعيفاً- قد توبع، وباقي رجاله ثقات رجال الصحيح
Hasan, Jabir –dia adalah Ibnu Zaid Al Ju’fi- kalau pun dia lemah telah ada riwayat yang menguatkannya, dan para perawi lainnya semuanya adalah periwayat hadits shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 2865)
Sementara Syaikh Al Albani Rahimahullah menshahihkannya di berbagai kitabnya, seperti Irwa’ul Ghalil, As Silsilah Ash Shahihah, Ghayatul Maram,Takhrij Musykilat Al Faqr, dll.
Kandungan Hadits Secara Umum:
Hadits ini terkenal dikalangan fuqaha dan ushuliyin, dan mereka menjadikan hadits ini menjadi salah satu kaidah dalam dunia fiqih. Ada beberapa pelajaran dalam hadits ini:
Pertama, larangan semua bentuk aktifitas yang dapat melahirkan dharar, mencelakakan, membahayakan, dan merusak diri sendiri, baik kerusakan pada agama, jiwa, akal, badan, harta, keturunan, dan kehormatan.
Hadits ini sejalan dengan beberapa firman Allah Ta’ala:
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al Baqarah (2): 195)
Ayat lain:
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah kalian membunuh diri sendiri. (QS. An Nisa’ (4): 29)
Ayat lain:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (QS. Al Isra (17): 26)
Dalam ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al Isra’ (17): 27)
Tabdzir (pemborosan) adalah salah satu bentuk dharar yang sering dilakukan oleh manusia baik miskin dan kaya. Allah Ta’ala menyebut mereka sebagai saudara-saudara syaitan.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang ayat ini:
أن المبذر مماثل للشيطان، وكل مماثل للشيطان له حكم الشيطان، وكل شيطان كفور، فالمبذر كفور.
“… Bahwa orang yang berbuat mubadzir (pemboros) diumpamakan seperti syaitan, dan setiap yang diumpamakan dengan syaitan maka baginya dihukumi sebagai syaitan, dan setiap syaitan adalah ingkar (terhadap Allah, pen), maka orang yang mubadzir adalah orang yang ingkar.” (Fathul Qadir, 4/301. Mawqi’ At Tafasir)
Sebagian ulama –seperti Imam Asy Syaukany ini- ada yang mengatakan bahwa berlebihan dalam berinfak juga termasuk tabdzir (pemborosan)[1], maka apalagi berlebihan dalam aktifitas yang merusak diri seperti merokok dan menghamburkan harta untuk tujuan yang tidak jelas dan tidak benar.
Tujuh Dharar pribadi [2]
Berikut adalah berbagai aspek kerusakan yang mesti dihindari:
- Adh Dharar Ad Diini (Kerusakan pada agama), contohnya seperti seseorang yang enggan menuntut ilmu-ilmu agama hingga menjadi jauh dari agama, atau seseorang yang mengambil ilmu agama dari orang yang jelas penyimpangannya khususnya pada perkara ushuluddin (dasar-dasar agama) sehingga dia jauh dari manhaj dan aqidah yang benar, atau orang yang sengaja menistakan agama dengan menciptakan perkara-perkara baru, mengingkari aksiomatika Islam yang telah pasti, atau yang lebih parah adalah menyerang agamanya sendiri, baik kitab suci, sunah, para nabi, dan ulama.
- Adh Dharar An Nafsi (kerusakan bagi jiwa), misalnya aktifitas yang dapat mengancam jiwa dan kehidupan seperti mengkonsumsi narkotika, rokok, dan semisalnya. Dharar bagi jiwa juga bisa berupa kecanduan terhadap perbuatan buruk yang membuat hilangnya kestabilan jiwa, seperti –selain rokok dan narkotika- pornografi.
- Adh Dharar Al ‘Aqli (kerusakan bagi akal), seperti mengkonsumsi khamr yang membuat akal manusia tidak bekerja secara normal. Enggan menuntut ilmu juga termasuk di dalamnya.
- Adh Dharar Al Maali (kerusakan bagi harta), seperti budaya hidup boros, foya-foya, membeli barang yang sama sekali tidak dibutuhkan, dan tidak memperhatikan kehalalan hasil usaha atau mata pencaharian.
- Adh Dharar Al Badani (kerusakan bagi badan), seperti mengkonsumsi makanan dan minuman yang berbahaya bagi kesehatan, mencabik badan ketika sedih, balapan liar, dan semisalnya.
- Adh Dharar An Nasli (kerusakan bagi keturunan), seperti mengkebiri (vasektomi dan tubektomi) bukan karena darurat dan uzur syar’i, mengklaim nasab yang bukan haknya, mengingkari nasabnya sendiri, bahkan nikah antar agama bisa jadi termasuk ancaman bagi keberlangsungan nasab kaum muslimin.
- Adh Dharar Al ‘Irdhi (kerusakan bagi harga diri, kehormatan, dan nama baik), seperti sengaja mengumbar aib pribadi dan keluarga ke tengah masyarakat, menuduh (qadzaf) dan fitnah kepada muslim lainnya tanpa bukti yang kuat, melecehkan orang lain, dan semisalnya.
Kedua, larangan melakukan perbuatan yang membawa kerusakan, kecelakaan, dan bahaya bagi orang lain dan makhluk Allah Ta’ala lainnya.
Islam mencegah semua pintu kerusakan yang dialami makhluk Allah Ta’ala di muka bumi. Oleh karenanya, sikap Islam terhadap hewan pun begitu jelas; jangan menyakiti dan mencelakakan mereka.
Menciptakan Dharar bagi hewan
Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:
كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَمَرُّوا بِفِتْيَةٍ أَوْ بِنَفَرٍ نَصَبُوا دَجَاجَةً يَرْمُونَهَا فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا عَنْهَا وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ مَنْ فَعَلَ هَذَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ مَنْ فَعَلَ هَذَا
Saya sedang bersama Ibnu Umar, lalu lewatlah para pemuda atau sekelompok orang yang menyakiti seekor ayam betina, mereka melemparinya. Ketika hal itu dilihat Ibnu Umar mereka berhamburan. Dan Ibnu Umar berkata: “Siapa yang melakukan ini? Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang melakukan ini.” (HR. Bukhari No. 5515, Muslim No. 1958, Ahmad No. 5018, Ibnu Hibban No. 5617, dan ini menurut lafaz Bukhari)
Dalam riwayat yang sama, dari Ibnu Umar pula:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَثَّلَ بِالْحَيَوَانِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat orang yang mencincang/membuat cacat hewan. (HR. Bukhari No. 5515)
Yaitu mencincang dan membuat cacat hewan ketika masih hidup. Lalu, apa makna laknat dalam hadits ini? Yaitu diharamkan. Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar mengatakan:
واللعن من دلائل التحريم
Dan ‘laknat’ merupakan di antara petunjuk keharamannya.” (Fathul Bari, 9/644)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا
Janganlah kalian menjadikan sesuatu yang memiliki ruh sebagai sasaran. (HR. Muslim No. 1957, Ibnu Majah No. 3178, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4532, Ahmad No. 2532, 2586, 2705, 3155, 3215, 3216, Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 481, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 2738, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 7759, 7760, 7761)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ مَثَّلَ بِذِي رُوحٍ، ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مَثَّلَ اللهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barang siapa yang mencincang sesuatu yang punya ruh, lalu dia tidak bertobat, maka dengannya Allah akan mencincangnya pada hari kiamat. (HR. Ahmad No. 5661)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih, isnadnya dhaif karena kedhaifan Syarik, dan perawi lainnya adalah terpercaya dan merupakan perawi shahih.” (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 5661). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: rijaaluhu tsiqaat (para perawinya terpercaya). (Lihat Fathul Bari, 9/644). Imam Al Haitsami mengatakan: “diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thabarani dalam Al Awsath, dari jalan Ibnu Umar dan tanpa ragu, dan para perawi Ahmad adalah perawi yang terpercaya.” (Lihat Majma’ Az Zawaid, 6/249-250). Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini diberbagai kitabnya. (Seperti As Silsilah Adh Dhaifah No. 5089, Dhaif At Targhib wat Tarhib No.683 )
Bukan hanya menyiksa hewan, memelihara hewan namun tidak memberikannya makan dengan baik, hingga membuatnya kurus juga hal yang dilarang syariat.
Sahl bin Al Hanzhaliyah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعِيرٍ قَدْ لَحِقَ ظَهْرُهُ بِبَطْنِهِ فَقَالَ اتَّقُوا اللَّهَ فِي هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَارْكَبُوهَا صَالِحَةً وَكُلُوهَا صَالِحَةً
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati unta yang antara punggung dan perutnya telah bertemu (maksudnya kurus, pen), Beliau bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah terhadap hewan-hewan yang tidak bisa bicara ini, tunggangilah dengan baik, dan berikan makan dengan baik pula.” (HR. Abu Daud No. 2548, Ahmad No. 17662, Ibnu Khuzaimah No. 2545. Hadits ini shahih. Lihat Raudhatul Muhadditsin No. 3352)
Selain itu hendaknya tidak membebani hewan dengan hal yang menyulitkannya dan sangat berat.
Dari Abdullah bin Ja’far meriwayatkan (dalam redaksi hadits yang panjang), “… (Suatu saat) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki sebuah kebun milik salah satu seorang sahabat Anshar. Tiba-tiba beliau melihat seekor unta. (Ketika beliau mellihatnya, maka beliau mendatanginya dan mengelus bagian pusat sampai punuknya serta kedua tulang belakang telinganya. Kemudian unta itu tenang kembali). Beliau berkata: ‘Siapa pemilik unta ini? Milik siapa ini?’ Kemudian datanglah seorang pemuda dari golongan Anshar, lalu berkata ‘Wahai Rasul, unta ini milik saya’. Lalu beliau bersabda:
أَمَا تَتَّقِي اللهَ فِي هَذِهِ الْبَهِيمَةِ الَّتِي مَلَّكَكَهَا اللهُ، إِنَّهُ شَكَا إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيعُهُ وَتُدْئِبُهُ
‘Apakah engkau tidak takut kepada Allah mengenai binatang ini yang telah diberikan Allah kepadamu? Dia memberitahu kepadaku bahwa engkau telah membiarkannya lapar dan membebaninya dengan pekerjaan-pekerjaan yang berat’” (HR. Muslim No. 342, 2429. Abu Daud No. 2549, Ahmad No. 1745, Ad Darimi No. 663, 775)
Selain itu, juga dilarang memberi cap atau tanda kepada hewan dengan benda-benda yang menyakitkan seperti di-ceplak dengan besi panas, cairan panas, dan semisalnya.
Berkata Jabir bin Abdullah Radhlallahu ‘Anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَيْهِ حِمَارٌ قَدْ وُسِمَ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الَّذِي وَسَمَهُ
“ Bahwasanya lewat dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seekor Keledai yang diwajahnya diberikan cap (tanda). Maka beliau bersabda: Allah melaknati orang yang membuat cap padanya. (HR. Muslim No. 2117, Abu Daud No. 2569, Ibnu Hibban No. 5627, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 13037, Abu Ya’la No. 651, 2099)
Semua ini adalah rentetan larangan tegas terhadap aktifitas yang membuat celaka hewan, lalu bagaimana bagi mereka yang sengaja mencelakakan manusia?
Al Quran berbicara tentang perusak lingkungan
Kita melihat kerusakan lingkungan yang semakin parah baik di kota dan di desa; membuang sampah bukan pada tempatnya, aksi vandalist (corat-coret dinding) sebagian remaja dan pemuda, menebang pohon dan hutan secara liar, berburu hewan tanpa kendali hingga hilang keseimbangan eko sistem dan rantai makanan, pembangunan gedung dan pemukiman pada daerah resapan air, dan kerusakan lainnya.
Allah Ta’ala telah menyindir manusia dengan firmanNya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Ruum (30): 41)
Apa hukumannya? Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al Maidah (5): 33)
Sebagian ulama berpendapat ayat ini berlaku hanya untuk kaum musyrikin dan ahli kitab, karena sababun nuzul-nya memang terkait dengan mereka. Mereka inilah yang memerangi Allah dan RasulNya, serta melakukan kerusakan di muka bumi dengan melakukan pembunuhan kepada manusia secara tidak hak. Namun Imam Ibnu Katsir (Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/95) mengatakan bahwa yang benar ayat ini berlaku umum baik untuk orang musyrikin dan ahli kitab, serta selain mereka, karena memang lafalnya menunjukkan umum. Walau secara khusus sebabnya turun karena kaum musyrikin dan ahli kitab.
Wallahu A’lam
Makna Kata dan Kalimat
عنْ أَبي سَعيدٍ سَعدِ بنِ مَالِك بنِ سِنَانٍ الخُدريِّ رضي الله عنه : Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu
Imam Adz Dzahabi bercerita tentang Abu Sa’id Al Khudri, sebagai berikut (kami ringkas).
Dia adalah imam mujahid, mufti madinah, Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’labah bin ‘Ubaid bin Al Abjar bin ‘Auf bin Al Haarits bin Al Khazraj. Ayahnya (Malik) ikut perang Uhud, sedangkan dirinya ikut pada perang Khandaq, dan Bai’atur Ridhwan. Dia banyak mengambil hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Abu Bakar, dan Umar, dan segolongan sahabat, dan dia seorang tokoh ahli fiqih dan mujtahid.
Sedangkan yang mengambil hadits darinya adalah Ibnu Umar, Anas, Jabir, dan segoloangan sahabat yang sebaya dengannya, ‘Amir bin Sa’ad, ‘Amru bin Sulaim, Abu Salamah bin Abdurrahman, Nafi’ Al ‘Umari, Bisr bin Sa’id, Bisyr bin Harb An Nadbi, Abu Ash Shiddiq An Naji, Abul Wadaak, Abu Al Mutawakkil An Naji, Abu An Nadhrah Al ‘Abdi, Abu Shalih As Simaan, Sa’id bin Al Musayyib, Abdullah bin Khabab, Abdurrahman bin Abi Sa’id Al Khudri, Abdurrahman bin Abi Ni’am, ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah, ‘Atha bin Yazid Al Laitsi, ‘Atha bin Yasar, ‘Athiyah Al ‘Aufi, Abu Harun Al ‘Abdi, ‘Iyadh bin Abdullah, Qaz’ah bin Yahya, Muhammad bin ‘Ali Al Baqir, Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amru Al Atwari, Sa’id bin Jubeir, Al Hasan Al Bashri, Abu Salamah bin Abdurrahman, dan masih banyak lainnya.
Ketika perang Uhud, dia masih tiga belas tahun. Wafatnya menurut Al Waqidi dan segolongan ulama adalah pada tahun 74 H, ada yang mengatakan tahun 63H. (Lihat lengkapnya dalam Siyar A’lamin Nubala, 3/168-172)
أَنَّ رَسُولَ اللهٍِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ : jangan merusak (mencelakakan) orang lain dan merusak diri sendiri
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah berkata:
لا يضر الرجل أخاه فينقصه شيئا من حقه
Janganlah seseorang mencelakakan saudaranya yang membuat bagian hak saudaranya itu berkurang. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 32)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:
“لا ضرر ولا ضرار” فقيل إنهما لفظتان بمعنى واحد تكلم بهما جميعا على وجه التأكيد.
وقال ابن حبيب الضرر عند أهل العربية الاسم والضرار الفعل قال ومعنى لا ضرر لا يدخل على أحد ضرر لم يدخله على نفسه ومعنى لا ضرار لا يضار أحد بأحد هذا ما حكى ابن حبيب.
Laa dharara wa laa dhiraar, disebutkan bahwa keduanya adalah dua lafaz dengan makna yang sama, keduanya dibicarakan bersamaan dengan tujuan stressing (penekanan). Ibnu Habib mengatakan bahwa Adh Dharar menurut ahli bahasa Arab adalah isim (kata benda) dan Adh Dhiraar adalah fi’il (kata kerja). Jadi, makna Laa dharara adalah janganlah seseorang memasukan kerusakan yang kerusakan itu tidak ada pada dirinya. Makna Dhiraar adalah janganlah seseorang dicelakan oleh orang lain. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Habib. (At Tamhid, 20/158)
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Namun pendapat yang lebih kuat adalah dalam berinfaq untuk Al Haq tidak mengenal kata ‘berlebihan atau boros’. Berkata Imam Mujahid, “Seandainya manusia berinfak seluruh hartanya untuk kebenaran bukanlah termasuk tabdzir, tetapi berinfaq di jalan yang bukan Al Haq walau satu mud, itulah yang mubadzir.” Ini juga pendapat sahabat Nabi seperti Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5/69)
[2] Para ulama menyebutkan ada lima unsur primer manusia yang mesti dijaga, mereka mengistilahkan dengan dharuriyatul khamsah, yaitu 1. agama, 2. jiwa, 3. akal, 4. harta, dan 5. keturunan. Ada pun Imam Al Qarrafi Rahimahullah –ulama madzhab Maliki- menambahkan yang keenam yaitu kehormatan. Di sini kami sebutkan tujuh dengan tambahan “badan”, sebagai unsur primer yang belum disebutkan secara khusus oleh para ulama. Unsur badan ini sebenarnya bisa saja disebut sebagai derivate (turunan) dari unsur jiwa atau akal, karena badan merupakan tempatnya jiwa dan akal. Oleh karenanya dikhususkan “badan” dalam pembahasan ini hanyalah untuk mempermudah penjelasan dan pemahaman semata. Wallahu A’lam