Asbabun Nuzul
Sebab turun surat al-Ikhlas ini adalah munculnya pertanyaan orang-orang kafir tentang nasab Allah SWT, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ
Dari Ubayy bin Ka’ab a bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah n, “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allah menurunkan: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”. (HR. Tirmidzi, no: 3364; Ahmad, no: 20714; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah 1/297)
Penjelasan Ayat 1 – 4
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.
Al-Qurtubhi mengatakan bahwa (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) maknanya adalah:
الوَاحِدُ الوِتْرُ، الَّذِي لَا شَبِيْهَ لَهُ، وَلَا نَظِيْرَ وَلَا صَاحَبَةَ، وَلَا وَلَد وَلَا شَرِيْكَ
“Al Wahid Al Witr (Maha Esa), tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak memiliki istri ataupun anak, dan tidak ada sekutu baginya.”
Buya Hamka mengatakan bahwa inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah ash-Shamad.”
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan Allahu as-Shamad, artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.”
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,”
Makna Kalimat (لَمْ يَلِدْ) sebagaimana dikatakan Muqatil adalah: “Tidak beranak kemudian mendapat warisan. Sedangkan kalimat (وَلَمْ يُولَدْ) maksudnya adalah tidak disekutui. Demikian karena orang-orang musyrik Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah. Kaum Yahudi mengatakan bahwa ’Uzair adalah anak Allah. Sedangkan Nashara mengatakan bahwa Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah. Dalam ayat ini, Allah meniadakan itu semua.”
Tegasnya, di ayat yang ketiga ini Allah SWT membantah anggapan orang-orang musyrikin, kaum Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa AllahSWT memiliki anak.
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Maksudnya adalah tidak ada seorang pun sama dalam setiap sifat-sifat Allah. Jadi Allah meniadakan dari diri-Nya memiliki anak atau dilahirkan sehingga memiliki orang tua. Juga Allah meniadakan adanya yang semisal dengan-Nya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan makna ayat: “..dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara) dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.
Keutamaan Surat Al-Ikhlash
Rasulullah SAW menyebut surat ini sebagai satu surat yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Dari Abu Darda’ dari Nabi n, beliau bersabda, “Apakah seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’an di dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’an (di dalam satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang mencintainya akan dicintai oleh Allah SWT.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi n mengutus seorang laki-laki memimpin sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah mereka, lalu menutup dengan “Qul huwallaahu ahad”.
Ketika mereka telah kembali, mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi SAW Maka beliau berkata: “Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!”
Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab: “Karena surat ini merupakan sifat Ar-Rahmaan (Allah Yang Maha Pemurah), dan aku suka membacanya”. Maka Nabi SAW bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya”. (HR. Al-Bukhâri, no. 7375; Muslim, no. 813)