Mayor Jenderal Fayez al-Duwairi, analis militer senior dalam wawancaranya dengan channel Aljazeera mengatakan, operasi militer yang dilancarkan israel sudah dipersiapkan selama berbulan-bulan lamanya. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan beberapa alasan, yaitu dari sisi jumlah pasukan yang dikerahkan, sudah terukur dan dipersiapkan dalam jumlah besar, hal itu tak mungkin dilakukan dalam waktu singkat. Operasi menargetkan utara Tepi Barat, utamanya adalah Tulkarem.
Alasan lainnya, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengizinkan AU Israel untuk menggunakan drone tempur dalam serangan ke Tepi Barat. Hal lainnya, Ofer Winter, seorang perwira tentara pendudukan dan mantan sekretaris militer Benjamin Netanyahu, dua bulan yang lalu sudah menyampaikan, saran melancarkan operasi militer ke Tepi Barat, dengan operasi yang sama dilakukan di Jalur Gaza. Disamping itu arahan untuk meningkatkan eskalasi serangan ke Al-Aqsha termasuk tindakan provokatif dari Menteri Keamanan Nasional Itamar ben Gevir untuk membangun Sinagog di Masjid Al-Aqsha, itu semua bagian dari agenda yang sudah dirancang sejak lama.
Duwairi juga mengatakan, operasi militer yang dilancarkan ke Tepi Barat sejatinya bukan saja menyasar para pejuang, tapi juga untuk memporak-porandakan rumah-rumah warga sipil. Puncaknya mendorong mereka keluar dari Tepi Barat, mengungsi ke Yordania. Tak sedikit yang menyebut kondisi saat ini tak ubahnya Nakbah jilid dua, setelah 1948.
Terkait kondisi para pejuang di Tepi Barat, pakar militer Yordania ini mengatakan, pejuang di Tepi Barat menghadapi kondisi yang berbeda dengan Jalur Gaza. Di Tepi Barat mereka harus bergerak di bawah intaian CCTV, para mata-mata, mendapat pengawasan dari aparat Otoritas Palestina dan Israel.
Sedangkan pejuang di Jalur Gaza, mereka leluasa bergerak, karena sepenuhnya wilayah mereka bebas dari orang Israel. Bahkan para pengkhianat yang menjadi mata-mata pun, sudah mereka ciduk sejak awal operasi 7 Oktober terjadi. Mereka bisa leluasa memproduksi senjata, dibuat mereka para pakar yang konsen dengan jenis persenjataan yang dibuat. Berbagai perangkap pun bisa dengan leluasa mereka siapkan di Jalur Gaza.
Strategi di Jalur Gaza, para pejuang membuat banyak jebakan, membiarkan musuh masuk ke kawasan mereka, lalu menyergapnya secara tiba-tiba. Para pasukan disebar di bawah tanah lokasi berkumpulnya musuh, lalu mereka melakukan perlawanan dari titik nol. Para pejuang keluar secara tiba-tiba dari terowongan bawah tanah, lalu meletakkan ranjau di titik lokasi target.
Meluasnya operasi militer Israel ke Tepi Barat juga dilatarbelakangi keinginan mereka mendapat pesan kemenangan dari operasi militer yang selama ini dilancarkan. Kondisi “lemah” di Tepi Barat dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki citra mereka yang dinilai gagal dalam perang di Jalur Gaza.