Pasca terjadinya pemboikotan, sekitar tahun 617 M, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami tahun kesedihan. Pada tahun tersebut—tepatnya pada bulan Ramadhan[1]—dua orang yang sangat dicintainya yakni paman beliau, Abu Thalib wafat; tiga hari kemudian disusul oleh wafatnya isteri beliau, Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat pada usia enam puluh lima tahun enam bulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakamkannya di Al-Hajun. Pada masa selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering sekali membicarakan keindahan hari-harinya bersama Khadijah radhiyallahu ‘anha; berbuat baik kepada sahabat-sahabatnya, dan menghormati keluarganya.
Kemuliaan Khadijah
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَم ابْنَةُ عِمْرَان، وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيْجة
“Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, dan sebaik-baik wanita adalah Khadijah.”[2]
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعُهَا أَعْضَاءً ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلَّا خَدِيجَةُ فَيَقُولُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Aku tidak pernah cemburu pada salah seorang isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti aku cemburu pada Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali menyebut-nyebut namanya. Pernah beliau menyembelih kambing, lalu dipotong bagian demi bagian, kemudian beliau kerimkan kepada teman-teman Khadijah. Sampai aku katakan padanya, ‘Sepertinya di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah.’. Lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dia itu dulu pernah begini dan begini, lalu darinyalah aku dikaruniai anak.’” (HR. Bukhari dan Muslim)[3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Jibril pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذِهِ خَدِيْجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فَيْهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا وَ مِنِّى وَ بَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِى اْلجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا صَخَبَ فِيْهِ وَ لَا نَصَبَ
“Wahai Rasulullah, khadijah akan datang kepadamu dengan membawa bejana yang berisi cuka, makanan atau minuman. Apabila ia datang kepadamu, maka sampaikanlah salam kepadanya dari Rabbnya dan dariku. Dan berikan kabar gembira kepadanya bahwa ia berada di dalam sebuah rumah di dalam surga yang terbuat dari mutiara yang berongga yang tidak terdapat kegaduhan di dalamnya dan tidak pula keletihan”. (HR Bukhari, No. 3820, 7497).
Anak-Anak Rasulullah dari Khadijah
Khadijah radhiyallahu ‘anhu melahirkan anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:
- Zainab, anak tertua Nabi, di masa jahiliyah pernah menikah dengan Abu Al-Ash bin Ar Rabi’.
- Ruqayyah dan Ummu Kultsum, menikah dengan Utsman bin Affan, yang pertama menikah di Mekah sebelum hijrah, dan ikut hijrah ke Habasyah, dan yang kedua menikah di Madinah setelah wafat Ruqayyah.
- Fathimah, anak perempuan Nabi yang paling kecil, menikah dengan Ali bin Abi Thalib.
Khadijah juga melahirkan anak-anak lelaki yang wafat ketika masih kecil, yaitu:
- Al Qasim, yang menjadi nama kunyah Nabi (Abul Qasim), wafat sebelum beliau diangkat menjadi Nabi.
- Abdullah, lahir setelah masa kenabian, dipanggil juga Thahir dan Thayyib
- Dan tidak ada yang hidup setelah wafat Nabi kecuali Fathimah, yang hidup sebentar setalah wafatnya Nabi[4]
Pengaruh Wafatnya Abu Thalib dan Khadijah
Setelah wafatnya Abu Thalib, orang-orang Quraisy semakin berani bertindak keji kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dengan sabdanya,
مَا نَالَتْ مِنيِّ قُرَيْش شَيْئاً أكْرَهُهُ حَتَّى مَاتَ أَبُوْ طَالِبٍ
“Orang-orang Quraisy tidak dapat menimpakan kepadaku sesuatu yang aku tidak sukai, sehingga wafatnya Abu Thalib.” [5]
Kondisi ini dirasakan semakin berat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wafatnya Khadijah, karena dialah yang selama ini menjadi pelipur lara di kala duka. Dengan iman dan kelapangan hatinya, Khadijah menjadi labuhan hati beliau untuk mendapatkan rahah nafsiyah (refresi jiwa). Dengan kepergiannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kehilangan penguat maknawiyahnya yang terdekat.
Itulah sebabnya tahun wafatnya Khadijah dan Abu Thalib disebut dengan ‘Amul Huzni (tahun duka cita).
Pelajaran Berharga
- Kisah ini semakin menegaskan bahwa ujian dan cobaan di jalan dakwah adalah sunnatullah yang tak dapat dihindari.
- Dengan wafatnya dua orang pembela utama nabi ini, Allah Ta’ala mengajarkan kepada para da’i bahwa para pembela dakwah akan selalu datang dan pergi, bahkan dapat terjadi ia menghilang pergi di saat ujian dan cobaan begitu memuncak. Maka ketawakkalan kepada Allah Ta’ala hendaknya selalu diperkokoh. Dialah Pembela yang hakiki bagi para pejuang kebenaran.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Nurul Yaqin, Syaikh Al-Hudhari, tahqiq oleh Syaikh Muhyiddin Al-Jarah, hal. 72.
[2] Maksudnya, sebaik-baik wanita di zamannya adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita pada umat ini adalah Khadijah binti Khuwailid. (lihat: Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan fima ittafaqa alaihi As-Sayikhan)
[3] Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan fima ittafaqa alaihi As-Sayikhan, hal. 467
[4] Lihat sirah Ibnu Hisyam
[5] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Al-Lu’lu wal Marjan.