Puluhan anggota parlemen yang tergabung dalam koalisi terbesar di parlemen Irak mengundurkan diri pada hari Minggu (12/6) di tengah kebuntuan politik yang berkepanjangan, menjerumuskan negara yang terpecah itu ke dalam ketidakpastian politik.
73 anggota parlemen dari koalisi ulama Syiah Muqtada al-Sadr yang kuat mengajukan pengunduran diri, untuk memprotes kebuntuan politik yang masih bertahan selama delapan bulan setelah pemilihan umum diadakan.
Ketua Parlemen Mohammed Halbousi menerima pengunduran diri mereka.
Al-Sadr, seorang pemimpin maverick yang dikenal sebagai pemimpin pemberontakan melawan pasukan AS setelah invasi 2003, muncul sebagai pemenang dalam pemilihan yang diadakan pada bulan Oktober.
Pemilihan diadakan beberapa bulan lebih awal dari yang direncanakan, sebagai tanggapan atas protes massal yang pecah pada akhir 2019, dan memicu puluhan ribu orang berunjuk rasa menentang korupsi endemik, layanan yang buruk, dan pengangguran.
Pemungutan suara membawa kemenangan bagi ulama Syiah kuat Muqtada al-Sadr yang memenangkan 73 dari 329 kursi Parlemen, dan menjadi pukulan bagi saingannya yang didukung Iran, yang kehilangan sekitar dua pertiga kursi mereka yang kemudian menolak hasilnya.
Al-Sadr telah berniat membentuk pemerintahan dengan mengecualikan saingannya bersama dengan sekutunya.
Namun dia belum mampu mengumpulkan cukup banyak anggota parlemen untuk mendapatkan dua pertiga mayoritas yang dibutuhkan untuk memilih presiden Irak berikutnya sebagai langkah yang diperlukan sebelum menunjuk perdana menteri berikutnya dan membentuk Kabinet.
Seorang pembicara Halbousi kemudian mentweet bahwa dia “meragukan” pengunduran diri itu berdasarkan keinginan para anggota al-Sadr sendiri. “Demi negara dan rakyat, dia memutuskan untuk melanjutkan keputusan ini,” tulisnya.
Belum jelas bagaimana pengunduran diri koalisi terbesar di parlemen itu akan terjadi. Seorang politisi veteran Irak menyatakan keprihatinan bahwa pengunduran diri itu dapat menyebabkan kekacauan di negara itu.
Menurut undang-undang Irak, jika ada kursi di parlemen yang kosong, kandidat yang memperoleh suara terbanyak kedua di daerah pemilihannya akan menggantikannya.
Ini akan menguntungkan lawan-lawan al-Sadr dari apa yang disebut Kerangka Koordinasi, sebuah koalisi yang dipimpin oleh partai-partai Syiah yang didukung Iran, dan sekutu mereka – sesuatu yang mungkin tidak digharapkan oleh al-Sadr.
Ada kekhawatiran bahwa kebuntuan dan ketegangan bisa memuncak dan menyebabkan protes jalanan oleh para pendukung al-Sadr yang dapat berubah menjadi kekerasan dan bentrokan bersenjata diantara mereka.
Al-Sadr, salah satu pemimpin politik paling berpengaruh di Irak dengan banyak pengikut, telah berulang kali menyinggung kekuatan militannya, Saraya Salam, yang baru-baru ini membuka rekrutmen di provinsi Babel dan Diyala.
SUMBER: AP News