Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
Revolusi Imam Husain radhiallahu ‘anhu terhadap Yazid menjadi tonggak penting perlawanan Ahlul Bait terhadap kezaliman sebagian khalifah dari Bani Umayyah. Setelah Imam Husain syahid di Karbala pada tahun 61 H, rentetan demi rentetan revolusi meletus silih berganti. Gerakan-gerakan ini didukung oleh sebagian sahabat Rasulullah ﷺ, para tabi’in, salafus shalih, para fuqaha, dan muhadditsin.
Tercatat, dua tahun setelah wafatnya Imam Husain, para sahabat dan tabi’in mengobarkan Tsaurah Ahlul Madinah (Revolusi Penduduk Madinah) pada tahun 63 H. Dalam pertempuran Al-Harrah yang terkenal, sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ dan para tabi’in syahid di tangan pasukan Syam. Setahun kemudian, Sulaiman bin Surad radhiallahu ‘anhu—seorang sahabat Nabi ﷺ—memimpin Revolusi At-Tawwabin untuk menuntut balas atas darah Imam Husain. Revolusi itu berakhir dengan syahidnya Sulaiman bin Surad dalam pertempuran Ain al-Wardah pada tahun 65 H.
Pasca wafatnya Yazid pada tahun 64 H, Abdullah bin Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhuma juga mengobarkan revolusi di Hijaz melawan Bani Umayyah, yang berakhir pada tahun 73 H dengan hancurnya Ka’bah dan gugurnya Ibnu Zubair. Akibat perang dan pembantaian demi pembantaian itu, hubungan antara penduduk Madinah dan imam mereka, Imam Said bin Musayyab—seorang ahli hadis—dengan penguasa Syam pun memburuk.
Setelah era sahabat, revolusi juga meletus di Irak. Salah satu yang paling terkenal adalah Revolusi Al-Qurra yang didukung oleh sahabat Anas bin Malik dan sejumlah tabi’in terkemuka seperti Said bin Jubair. Pada awal abad ke-2 H, revolusi kembali dikobarkan oleh Ahlul Bait di bawah pimpinan Imam Zaid bin Ali bin Zain al-Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum. Revolusi yang juga didukung oleh Imam Abu Hanifah ini berakhir dengan penyaliban Imam Zaid pada tahun 122 H.
Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh pihak oposisi dari kalangan sahabat, Ahlul Bait, dan tabi’in dalam perlawanan terhadap Bani Umayyah turut memengaruhi sikap salafus shalih, baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syi’ah. Sikap mereka kemudian mengerucut pada pendapat yang melarang perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan yang sah. Padahal sebelumnya, selama hampir satu abad, perbedaan pendapat tentang boleh-tidaknya revolusi bersenjata masih dianggap sebagai khilaf yang mu’tabar.
Imam Ja’far ash-Shadiq—yang diklaim oleh Syi’ah Imamiyah sebagai imam mereka—termasuk yang tidak menyetujui revolusi bersenjata yang dipimpin oleh pamannya, Zaid bin Ali as-Sajjad. Mazhab Ja’fari, yang menjadi rujukan fikih Syi’ah Dua Belas Imam, bersifat lebih pasif dan tidak revolusioner dibandingkan Zaidiyah. Sejak ghaibnya imam terakhir mereka, Imam Muhammad al-Mahdi, pada tahun 260 H, Syi’ah Imamiyah cenderung melarang pemberontakan dan lebih memilih taqiyah terhadap penguasa. Dalam konsep Imamiyah, tidak ada negara Islam hingga kelak Imam Mahdi muncul kembali dan memenuhi dunia dengan keadilan.
Keyakinan ini bertahan sekitar 12 abad, hingga muncul Ayatullah Khomeini yang membawa ‘ijtihad baru’ dengan mendobrak pemahaman mainstream dalam tradisi Syi’ah dan memperkenalkan konsep wilayatul faqih. Menurut Khomeini, belum munculnya Al-Mahdi al-Muntazhar bukanlah penghalang bagi berdirinya negara Islam Syi’ah. Ketidakhadiran Imam bisa digantikan oleh Waliyul Faqih. Sejak saat itu, ketika Revolusi Islam Iran berhasil, menjadi keliru jika melihat Syi’ah di Iran hanya sebagai mazhab fikih dan akidah. Iran telah menjadi entitas politik dan kekuasaan. Dan jika kita berbicara tentang kekuasaan, maka kepentingan menjadi ‘tuhan’, dan agama pun seringkali dipolitisasi demi kepentingan tersebut.
Perkawinan antara agama dan kekuasaan serta politisasi agama semacam ini tidak hanya terjadi di lingkungan umat Islam. Zionisme, misalnya, yang diperkenalkan oleh Theodor Herzl, bertentangan dengan tradisi Yahudi ortodoks. Sebagian kelompok Yahudi yang masih berpegang teguh pada ajaran Taurat, seperti Neturei Karta, meyakini bahwa Zionisme—yang bertujuan mendirikan negara Israel—adalah bentuk pembangkangan terhadap kehendak Tuhan. David Weiss, seorang rabi Haredi Amerika dan juru bicara resmi Neturei Karta, dalam beberapa wawancaranya dengan Ahmed Mansour dalam program Bi La Houdoud di Al Jazeera, menegaskan bahwa Zionisme adalah gerakan yang bertentangan dengan ajaran Yahudi. Pendiri-pendiri Zionisme seperti Herzl adalah tokoh-tokoh sekuler, bahkan sebagian di antaranya adalah ateis.
Masih menurut Weiss, Allah telah menetapkan agar kaum Yahudi menjalani hukuman berupa keterasingan akibat dosa-dosa mereka, dan mereka dilarang mendirikan negara hingga kedatangan Al-Masih. Neturei Karta sendiri didirikan pada tahun 1935, jauh sebelum berdirinya negara Zionis pada tahun 1948. Kelompok ini konsisten menentang pendudukan Zionis atas Palestina, namun karena tidak bersekutu dengan kekuasaan, pengaruh mereka terbatas.
Kembali ke Iran. Ijtihad kontroversial Khomeini sempat menimbulkan kegemparan di kalangan madrasah Imamiyah dan ditentang oleh banyak ulama besar Syi’ah seperti An-Naraqi, Syariatmadari, dan lainnya. Namun, setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran menggulingkan Syah Pahlevi pada tahun 1979, suara-suara penentangan itu perlahan menghilang, dan para penentang pun dipinggirkan. Dalam sejarah mazhab Islam, baik fikih maupun akidah, perkembangan, penyebaran, dan kemundurannya sangat dipengaruhi oleh sejauh mana dukungan dari sebuah negara yang kuat. Seandainya Alu Sa’ud tidak berkuasa, Mazhab Hanbali mungkin sudah mengalami nasib yang sama seperti mazhab Zahiri—mundur bahkan punah.
Maka, jika Iran hari ini tidak hanya soal Syi’ah tetapi juga soal entitas politik dan kekuasaan, adalah keliru melihatnya secara sektarian dan memusuhinya semata karena mazhab, serta menuduh konflik Iran-Israel hanyalah sandiwara. Demikian pula keliru jika menilai Iran secara emosional dan menganggapnya sebagai satu-satunya pahlawan yang tulus membela Al-Quds dan Palestina. Tidak sesederhana itu. Iran memang membantu para pejuang di Gaza, namun bantuan itu tidak sepenuhnya murni dan gratis. Meski demikian, kejujuran Iran dalam membela Palestina masih jauh lebih nyata dibandingkan sikap negara-negara Arab lainnya—dan kita harus jujur mengakui itu.
Beberapa waktu lalu, dalam wawancara dengan Al Jazeera, Dr. Abdullah an-Nafisi—pakar gerakan Islam dan pengamat kawakan Timur Tengah—mengungkapkan bahwa saat rezim Saddam Husein tumbang pada 2003, Iran mengirimkan proposal rahasia kepada Presiden AS, George W. Bush. Dalam proposal itu, Iran menyatakan kesediaannya memutus hubungan dengan Hamas dan faksi-faksi pejuang Palestina serta siap normalisasi dengan Israel, dengan syarat AS membiarkan Iran menjadi aktor dominan di kawasan. Proposal itu ditolak oleh Bush. Jangan lupa pula, pada 2016, Khamenei menyatakan bahwa perang milisi Syi’ah di Suriah adalah perang antara Islam dan kekufuran. Ia bahkan menjanjikan pahala syahid bagi milisi yang gugur.
Begitu pula seharusnya kita menyikapi Erdogan, Muhammad bin Salman, maupun Joulani. Mereka bukan Umar bin Khattab atau Shalahuddin al-Ayyubi. Mereka adalah politisi, dan bagi politisi, kepentingan berada di atas segalanya. Saya tidak berniat menafikan politisi yang berjuang untuk Islam, namun hanya sedikit yang benar-benar mengutamakan kepentingan umat di atas kekuasaan, negara, atau diri mereka sendiri.
Yang paling menyedihkan adalah ketika Syi’ah melakukan ijtihad dan memperkenalkan konsep wilayatul faqih sebagai alat untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan—konsep yang sebanding dengan khilafah dalam dunia Sunni—banyak ulama Sunni justru berdiri di belakang para penguasa negara-bangsa dan menjadi stempel mereka, sekaligus turut mendiskreditkan konsep khilafah dan persatuan umat. Padahal, umat Islam Sunni memiliki konsep khilafah moderat ala Dr. Muhammad Imarah yang bisa diadopsi untuk menyatukan umat.
Apakah saya tidak lagi mendukung Iran dalam konfliknya dengan Israel? Tidak. Saya tetap bersama Iran. Tapi mari kita sisakan satu persen ketidakpercayaan. Keikhlasan mereka tetap ada hitung-hitungannya. Menarik apa yang dikatakan oleh seorang pemikir Turki dan penasihat Erdogan, Dr. Ömer Faruk Korkmaz:
“Kita perlu melindungi Iran dari kehancuran oleh Barat. Setelah itu, kita perlu melindungi diri kita sendiri dari kehancuran oleh Iran.”