Karakteristik kehidupan spiritual Islam keempat adalah kesinambungan amal. Maknanya, kehidupan spiritualitas seorang Muslim meliputi semua tempat dalam seluruh aspek kehidupannya. la juga meliputi semua waktu dan fase kehidupannya, hingga ia bertemu dengan Tuhannya.
Beberapa agama mencukupkan pemeluknya beribadah kepada Tuhannya sehari dalam sepekan, atau—dalam ungkapan yang lebih pas— satu jam dalam sehari. Kemudian agama itu membolehkan penganutnya untuk meninggalkan ajaran agamanya selama sepekan penuh untuk urusan dunia, hawa nafsu, atau kesibukan-kesibukan pribadinya. Keadaan seperti ini tidak dijumpai dalam ajaran Islam. Ada ibadah yang diwajibkan kepada seorang Muslim sekali seumur hidup, seperti haji. Ada ibadah yang diwajibkan kepada seorang Muslim tiap-tiap tahun, seperti puasa Ramadhan dan zakat mal. Ada ibadah yang diwajibkan kepada seorang Muslim seminggu sekali, seperti shalat Jumat.
Tetapi, ada juga ibadah harian yang menghubungkan seorang Muslim dengan Allah; memberinya waktu khusus untuk berjumpa dengan-Nya lima kali setiap hari. Shalat fardhu mengingatkannya jika ia lupa, menyadarkannya bila ia lalai, dan menguatkannya ketika ia lemah. Karena itu, shalat fardhu dijadikan sebagai tiang agama Islam sekaligus pembeda antara orang Islam dan orang kafir. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya Perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS. Hud, 11: 114).
Shalat fardhu adalah ibadah yang wajib atas seorang Muslim ketika ia sedang pergi dan ketika ia di rumah, saat ia sakit dan saat ia sehat, ketika ia berada dalam situasi damai dan berada dalam situasi perang. la adalah kewajiban yang tidak gugur oleh situasi dan kondisi apa pun. Karena itulah, dalam fikih Islam terdapat bab shalat musafir dengan jamak dan qasharnya, serta bab shalat bagi orang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak mampu, dengan duduk. Jika kamu tetap tidak mampu, dengan berbaring. “
Selain itu, terdapat pula shalat Khauf (shalat dalam keadaan berperang). Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempumakan serakaat) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata” (QS. An-Nisa, 4: 102).
Ketika dua pasukan tengah bertemu, tatkala pedang bertemu pedang dan saat perang berkecamuk antara kedua belah pihak, seorang Muslim tetap harus mengerjakan shalat semampunya, meskipun dengan berjalan ataupun dengan berkendaraan, bahkan sekalipun hanya dengan isyarat! Dalam kondisi seperti itu tidak disyaratkan rukuk, sujud atau menghadap kiblat. Allah Ta’ala berfirman:
“Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalarn shalatmu) dengan khusyuk. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), rnaka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan” (QS. Al-Baqarah, 2: 238-239).
Demikianlah, seorang Muslim diperintah untuk mengingat Allah Ta’ala di seluruh Waktu dan keadaannya: ketika pergi dan ketika mukim, ketika berdiri, duduk, atau berbaring. Firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzab, 33: 41-42)
Selain itu, ia juga diperintah membaca zikir-zikir yang diriwayatkan karena sebab-sebab dan kesempatan-kesempatan tertentu.
Jadi, seorang Muslim dituntut untuk selalu beribadah kepada Allah Ta’ala selama dalam dirinya masih ada denyut nadi yang berdetak dan nafas yang berhembus hingga kematian menjemputnya dan hingga berakhir ajal yang telah ditentukan untuknya. Allah Ta’ala berfirman:
“…dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr, 15: 99)
Dan juga telah berfirman tentang perkataan orang-orang kafir pada hari kiamat,
“…dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. (QS. Al-Muddatstsir, 74: 46-47)