Di antara syarat beriman kepada hari akhir adalah beriman kepada semua kejadian yang terjadi setelah kematian sampai sebelum hari kiamat, atau yang biasa kita kenal dengan alam barzakh. Kejadian di alam barzakh yang dimaksud di sini adalah terjadinya fitnah kubur, diberikannya nikmat kubur bagi mereka yang lulus darinya, dan diberikannya siksa kubur bagi yang gagal darinya. Ketiga hal ini telah ditunjukkan oleh nash-nash Al-Qur`an dan hadits yang mencapai derajat mutawatir.
Fitnah Kubur
Yang dimaksud dengan fitnah kubur adalah adanya pertanyaan Munkar dan Nakir kepada mayit setelah dia dikuburkan. Mayit ditanya tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Bagi mereka yang beriman, maka Allah Ta’ala akan mengokohkannya dengan jawaban yang benar, sehingga dia akan berkata: “Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” Sedangkan bagi mereka yang kafir dan musyrik, maka Allah Ta’ala akan menyesatkan mereka sehingga mereka hanya bisa berkata: “Saya tidak tahu!”, dan orang munafik serta yang ragu terhadap agamanya akan berkata: “Saya tidak tahu, saya mendengar orang lain bilang demikian maka aku pun mengikutinya.”
Inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim, 14: 27)
Dari Al-Barra` bin Azib radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang ayat di atas,
نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللَّهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“(Ayat ini) turun berkenaan dengan adzab kubur. Ia ditanya, “Siapa Rabbmu?” Ia menjawab, “Rabbku Allah, nabiku Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim).
Dari Asma` bintu Abi Bakar radhiallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ شَيْءٍ لَمْ أَكُنْ أُرِيتُهُ إِلَّا رَأَيْتُهُ فِي مَقَامِي حَتَّى الْجَنَّةُ وَالنَّارُ. فَأُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلَ أَوْ قَرِيبَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ. يُقَالُ مَا عِلْمُكَ بِهَذَا الرَّجُلِ؟ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ أَوْ الْمُوقِنُ فَيَقُولُ هُوَ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ جَاءَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى فَأَجَبْنَا وَاتَّبَعْنَا هُوَ مُحَمَّدٌ ثَلَاثًا. فَيُقَالُ نَمْ صَالِحًا قَدْ عَلِمْنَا إِنْ كُنْتَ لَمُوقِنًا بِهِ. وَأَمَّا الْمُنَافِقُ أَوْ الْمُرْتَابُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ شَيْئًا فَقُلْتُهُ
“Tidak ada sesuatu yang belum diperlihatkan kepadaku, kecuali aku sudah melihatnya dari tempatku ini hingga surga dan neraka, lalu diwahyukan kepadaku: bahwa kalian akan terkena fitnah dalam kubur kalian seperti -atau hampir serupa- fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Akan ditanyakan kepada seseorang (didalam kuburnya); ‘Apa yang kamu ketahui tentang laki-laki ini?’ Adapun orang beriman atau orang yang yakin, maka dia akan menjawab: ‘Dia adalah Muhammad Rasulullah telah datang kepada kami membawa penjelasan dan petunjuk. Maka kami sambut dan kami ikuti. Dia adalah Muhammad.’ diucapkannya tiga kali. Maka kepada orang itu dikatakan: ‘Tidurlah dengan tenang, sungguh kami telah mengetahui bahwa kamu adalah orang yang yakin’. Adapun orang Munafiq atau orang yang ragu, maka dia menjawab, ‘Aku tidak tahu siapa dia, aku mendengar manusia membicarakan sesuatu maka aku pun mengatakannya.’”(HR. Al-Bukhari no. 84)
Semua makhluk akan mengalaminya fitnah dan pertanyaan ini, kecuali beberapa makhluk yang Allah Ta’ala kecualikan:
Pertama, para syuhada dan orang yang ribath fi sabilillah.
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَيَأْمَنُ مِنْ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Orang yang mati syahid mendapatkan enam hal di sisi Allah: Diampuni dosa-dosanya sejak pertama kali darahnya mengalir, diperlihatkan kedudukannya di surga, diselamatkan dari siksa kubur, dibebaskan dari ketakutan yang besar, dihiasi dengan perhiasan iman, dikawinkan dengan bidadari dan dapat memberikan syafaat kepada tujuh puluh orang kerabatnya.” (HR. At-Tirmizi no. 1586 dan Ibnu Majah)
Dari Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu dia berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ
“Ribath (berjaga-jaga di perbatasan) sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya dan terbebas dari fitnah.” (HR. Muslim no. 3537). Termasuk di dalamnya fitnah kubur.
Kedua, muslim/mu’min yang wafat di hari Jum’at.
Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu anhuma berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وُقِيَ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Barangsiapa meninggal di hari jum’at atau malam jum’at maka akan dihindarkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tirmizi no. 994 dan Ahmad no. 6753 dengan sanad yang shahih)
Ketiga, muslim/mukmin yang wafat karena sakit perut.
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَهُ بَطْنُهُ فَلَنْ يُعَذَّبَ فِي قَبْرِهِ
“Barangsiapa meninggal karena sakit perut, maka ia tidak akan disiksa di dalam kuburnya.” (HR. At-Tirmizi no. 984 dan Ahmad no. 17592)
Azab Kubur
Azab kubur diperuntukkan bagi orang-orang yang zhalim dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang kafir, serta orang-orang fasik yang tidak menjawab pertanyaan munkar dan nakir.
Allah Ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan para pengikutnya, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Ghafir: 46)
Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ تُبْتَلَى فِي قُبُورِهَا. فَلَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي أَسْمَعُ مِنْهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ فَقَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ قَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
“Sesungguhnya umat ini diuji dikuburnya. Andai kalian tidak saling menguburkan, niscaya aku berdoa kepada Allah agar memperdengarkan adzab kubur pada kalian seperti yang aku dengar.” Setelah itu beliau menghadapkan wajah ke arah kami lalu bersabda: “Berlindunglah diri kepada Allah dari adzab neraka.” Mereka berkata: “Kami berlindung diri kepada Allah dari adzab neraka.” Beliau bersabda: “Berlindunglah diri kepada Allah dari adzab kubur.” Mereka berkata: “Kami berlindung diri kepada Allah dari adzab kubur.” Beliau bersabda: “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka berkata: “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Beliau bersabda: “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnahnya Dajjal.” Mereka berkata: “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnahnya Dajjal.” (HR. Muslim no. 5112)
Nikmat Kubur
Nikmat kubur dikhususkan bagi kaum mukminin yang jujur dalam keimanannya. Dari Al-Barra` bin Azib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang mayit yang telah menjawab pertanyaan munkar dan nakir,
فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنْ السَّمَاءِ أَنْ قَدْ صَدَقَ عَبْدِي فَأَفْرِشُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ وَأَلْبِسُوهُ مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيبِهَا قَالَ وَيُفْتَحُ لَهُ فِيهَا مَدَّ بَصَرِهِ
“Kemudian ada suara dari langit yang menyeru, ‘Benarlah apa yang dikatakan oleh hamba-Ku, hamparkanlah permadani untuknya di surga, bukakan baginya pintu-pintu surga dan berikan kepadanya pakaian surga.’ Beliau melanjutkan: “Kemudian didatangkan kepadanya wewangian surga, lalu kuburnya diluaskan sejauh mata memandang.” (HR. At-Tirmizi no. 4127, Ibnu Majah no. 3784, dan Ahmad no. 1615)
Nikmat dan Adzab Kubur adalah Hal yang Haq
Dalil-dalil yang mutawatir dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dari para sahabat telah menunjukkan kebenaran nikmat dan azab kubur secara pasti dan kita wajib mengimaninya karena merupakan tuntutan keimanan kita kepada hari kiamat yang merupakan rukun iman keenam; dimana tidak sah iman seseorang kecuali harus beriman kepada semua rukun iman yang enam.
Ahlus Sunnah mengimani tentang adanya adzab dan nikmat kubur. Keduanya adalah benar berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ Salafus Shalih.
Diantara dalil dari Al Qur’an tentang adanya adzab kubur ( siksa ) kubur adalah firman Allah Ta’ala,
سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
“Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, lalu mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.” (Q.S. At-Taubah, 9: 101)
Menurut penjelasan Iman Hasan Al Bashri dan Qatadah, yang dimaksud dengan “Nanti mereka akan Kami siksa dua kali..” yaitu adzab di dunia dan adzab kubur.[1]
Kemudian firman Allah Ta’ala,
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan pasti akan Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum adzab yang lebih besar (di Akhirat). (Q.S. As Sajadah, 32: 21)
Menurut pendapat al Bara’ bin ‘Azib ra, Mujahid dan Abu Ubaidah bahwa yang dimaksud dengan adzab yang dekat adalah adzab Kubur.[2]
Selanjutnya firman Allah Ta’ala,
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Kepada mereka diperlihatkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya kiamat, (lalu kepada Malaikat diperintahkan)’Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras’” (Q.S. Al Mukminun : 46)
Al Hafizh Ibnu Katshir mengatakan : “Ayat ini merupakan prinsip terbesar yang dijadikan oleh Ahlus Sunnah tentang adanya Adzab kubur.”[3]
Sedangkan dalil dari As-Sunnah diantaranya adalah hadist Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ كَانَ أَحَدُهُمَا يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَكَانَ الْآخَرُ لَا يَسْتَنْزِهُ عَنْ الْبَوْلِ أَوْ مِنْ الْبَوْلِ قَالَ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَكَسَرَهَا فَغَرَزَ عِنْدَ رَأْسِ كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا قِطْعَةً ثُمَّ قَالَ عَسَى أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا حَتَّى تَيْبَسَا
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau berkata: ‘Keduanya sedang diazab dalam kubur, dan keduanya tidaklah diadzab karena dosa besar, salah satunya (diadzab) karena namimah (sering mengadu domba), dan yang satunya lagi (diadzab) karena tidak bersuci ketika buang air kecil’. Ia (Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu) berkata: ‘Kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pelepah kurma yang masih basah, lalu membelahnya dan menancapkan tiap belahan di atas kepala kuburan, kemudian beliau berdo`a: ‘Semoga keduanya diringankan siksanya hingga kedua pelepah ini kering’” (HR. Ad-Darimi).
Bantahan Terhadap Pengingkaran Adzab kubur
Mereka mengatakan: “Kita melihat orang yang sudah mati yang disiksa dalam kubur, namun ketika dibongkar kembali jasadnya tetap tidak berubah, demikian juga kadang-kadang orang yang mati karena dimangsa binatang buas dan tidak dikubur, bagaimana siksa kubur berlaku atasnya?”
Jawabannya : Bahwa apa yang mereka saksikan adalah hanya secara dhahir-nya saja, karena yang dapat merasakan adanya siksa adalah sebagian ruh, dan tidak mesti siksa itu nampak pada gerakan atau perubahan badan. Atau bisa saja ketika kita membongkar kembali kuburan maka Allah Ta’ala mengembalikan tubuhnya seperti sedia kala sebagai ujian bagi keimanan karena Allah Ta’ala berkuasa atas segalagalanya.
Dan ini pun kadang bisa kita rasakan dalam kehidupan kita, yaitu ketika seorang yang tidur bermimpi baik, mendapatkan kenikmatan yang sangat besar, dia bisa merasakannya, tapi kita tidak bisa mengetahuinya, begitu juga ketika bermimpi yang tidak baik, dia bisa merasa kesakitan seolah benar terjadi. Kenikmatan dan siksa di alam mimpi tersebut betul-betul terjadi pada ruhani. Dan ruhani terpengaruh dengannya tanpa ia rasakan dan bisa dilihat oleh kita, serta tidak ada seorang pun yang memungkirinya.
Bagaimana terhadap siksa alam kubur, dan kenikmatannya yang pada dasarnya sama persis dengan mimpi tersebut. Padahal kita melihatnya tidak ada perubahan pada jasadnya. Jadi kalau untuk dunia ini saja bisa terjadi apalagi berkaitan dengan orang yang mati yang sudah berada didunia lain. Ini tidak mustahil secara akal sehat.
Golongan Mutazilah mengingkari adzab kubur karena mereka hanya mengandalkan akal mereka dalam menerima atau menolak suatu perkara dari syariat.
Mereka menolaknya karena dalilnya adalah hadits-hadits yang ahad[4], dimana hadits ahad kebenarannya bersifat dzanni (tidak pasti) sehingga untuk perkara ini tidak bisa dijadikan hujah. Atau barangkali perawi haditsnya secara dhahirnya terlihat baik dan shaleh (tsiqot) namun dia pendusta atau munafik didalam batinnya.
Mereka mencontohkan dengan riwayat ketika Umar bin Khattab radhiallahu anhu menolak haditsnya Abu Musa Al Asyari radhiallahu anhu tentang izin bertamu tiga kali ketika tidak dijawab kita harus pergi. Mereka mengatakan: “Inilah Umar bin Khattab radhiallahu anhu tidak menerima riwayat sahabat yang mulia, ini menunjukkan bahwa riwayat satu orang (ahad) diragukan kebenarannya.”
Jawaban : Riwayat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ini tidak menunjukkan kalau beliau menolak hadits ahad, namun beliau ingin lebih memastikan berita tersebut, sehingga tidak menggampangkan setiap orang mengatakan tentang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tanpa ilmu yang benar, jadi ketika beliau merasa bahwa hadits tersebut shahih karena adanya penguat-penguat maka beliau menerimanya, begitu pula dengan riwayat-riwayat yang lain.
Keterangan singkat tentang hadist ahad : Hadist ahad bukanlah Hadits dhaif (hadits yang lemah dari segi periwayatannya, sehingga kekuatannya dari segi tsubut masih diragukan). Hadits ahad punya pengertian yang jauh berbeda dengan hadits dhaif. Hadits ahad adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Terbagi menjadi 3 macam: Hadits Masyhur, diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih pada setiap thabaqat (sekelompok perawi yang hidup dalam satu masa); Hadits Aziz, diriwayatkan oleh minimal dua sanad yang berlainan rawinya; Hadits Gharib, diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri (pada satu tingkat atau lebih).
Keberadaan hanya satu orang perawi dalam sebuah thabaqat tidak berpengaruh apa-apa terhadap kekuatan sebuah periwayatan. Yang penting perawi yang sendirian itu tsiqah serta tidak punya cacat atau luka (majruh). Sehingga sebuah hadits ahad bisa saja tetap berstatus shahih, bila perawinya memenuhi syarat keshahihan suatu hadits. Sebab lawan dari hadits ahad bukanlah hadits shahih, melainkan hadits mutawatir. Sedangkan lawan dari hadits shahih adalah hadits dhaif.
Seandainya kita menolak hadits ahad hanya karena bersifat dzanni, maka berapa banyak perkara syariat yang kita tolak karena kebanyakannya berasal dari hadits-hadits ahad, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengutus para sahabat sendiri-sendiri untuk menyebarkan Islam, seandainya hadits ahad tidak diterima, tentunya dakwah mereka akan ditolak orang-orang, tidak berbeda apakah itu dalam perkara akidah maupun furu’ (cabang). Apalagi hadits-hadits mengenai siksa kubur bukanlah hadits ahad, akan tetapi ia merupakan hadits mutawatir.[5]
Jadi menolak siksa kubur sebenarnya merupakan pemahaman dan keyakinan Mutazilah bukan keyakinan Ahlu Sunah Wal Jamaah.
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Ibnu Katsir II / 423 : Cetakan Daarrus Salam
[2] Tafsir Ibnu Katsir III / 509: Cetakan Daarrus Salam
[3] Tafsir ibnu Katsir ( IV/ 85- 86 ). Cet. Daarus Salaam.
[4] Hadits Ahad adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Terbagi menjadi 3 macam:Hadits Masyhur, diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqat; Hadits Aziz, diriwayatkan oleh minimal 2 sanad yang berlainan rawinya; Hadits Gharib, diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri (pada satu tingkat atau lebih).
[5] Lihat Al Azharul Mutanatsirah Lil Ahadits Mutawatirah oleh Imam Suyuthi, dan An Nadzam Al Mutanatsir Fil Hadits Mutawatir oleh Imam Al Kattabi.