Kodifikasi Al-Qur’an
Salah satu hal yang penting yang muncul akibat perluasan wilayah Islam adalah munculnya berbagai perbedaan dalam qira’ah Al-Qur’an. Hal ini disebabkan setiap daerah memiliki dialek bahasa tersendiri, dan setiap kelompok mengikuti qira’ah para sahabat terkemuka.
Hudzaifah ibn al-Yaman menyaksikan fenomena perbedaan pendapat mengenai qira’ah Al-Qur’an ini setelah menaklukkan Armenia dan Azerbeijan bersama pasukan Syria dan Irak. Penduduk Syria mengikuti qira’ah Ubay ibn Ka’ab, sedangkan penduduk Irak mengikuti qira’ah Abdullah ibn Mas’ud. Mereka terkejut karena mendapati pihak lain membaca Al-Qur’an dengan qira’ah yang berbeda.
Hudzaifah segera menghadapa kepada Utsman untuk melaporkan hal ini,
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَدْرِكْ هَذِهِ الْأُمَّةَ قَبْلَ أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي الْكِتَابِ اخْتِلَافَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى
“Wahai Amirul Mu’minin, satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al Qur`an sebagaimana perselisihan yang telah terjadi pada kaum Yahudi dan Nasrani.” [1]
Ibn Abi Dawud, dalam al-Mashahif, menuturkan cerita yang disampaikan oleh Abu Qalabah. Ia mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, setiap guru mengetahui qira’ah muridnya. Namun kemudian para murid itu bertemu dengan murid lain dan berselisih mengenai bacaan masing-masing hingga akhirnya terdengar oleh guru-guru mereka. Perselisihan memuncak hingga ada orang yang mengafirkan orang lain karena perbedaan qira’ah. Mendengar peristiwa itu Utsman berkata, “Bahkan kalian yang tinggal bersamaku disini memiliki qira’ah yang berbeda-beda, apalagi umat di daerah-daerah yang jauh dariku.”
Kenyataan ini mendorong Utsman untuk berijtihad melakukan kodifikasi Al-Qur’an, yakni menyusun mushaf yang akan menjadi rujukan semua umat Islam. Pada akhir tahun 24 H dan awal tahun 25 H, Utsman mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan rencana ini. Ada empat orang sahabat penghafal Al-Qur’an yang ditunjuk menjadi panitia pelaksana, yaitu Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Said ibn al-Ash, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam. Peristiwa ini disebutkan dalam riwayat al-Bukhari sebagai berikut,
فَأَرْسَلَ عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى عُثْمَانَ فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ وَقَالَ عُثْمَانُ لِلرَّهْطِ الْقُرَشِيِّينَ الثَّلَاثَةِ إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى إِذَا نَسَخُوا الصُّحُفَ فِي الْمَصَاحِفِ رَدَّ عُثْمَانُ الصُّحُفَ إِلَى حَفْصَةَ وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا نَسَخُوا وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنْ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ أَنْ يُحْرَقَ
Maka Utsman mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan, “Tolong, kirimkanlah lembaran alquran kepada kami, agar kami dapat segera menyalinnya ke dalam lembaran yang lain, lalu kami akan segera mengembalikannya pada Anda.” Maka Hafshah pun mengirimkannya kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn al-Ash dan Abdurrahman bin al-Harits ibn Hisyam, sehingga mereka pun menyalinnya ke dalam lembaran shuhuf yang lain. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy dari mereka, “Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit terkait dengan Al Qur`an, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, sebab Al Qur`an turun dengan bahasa mereka.” Kemudian mereka mengindahkan perintah itu hingga penyalinan selesai dan Utsman pun mengembalikannya ke Hafshah. Setelah itu, Utsman mengirimkan sejumlah Shuhuf yang telah disalin ke berbagai penjuru negeri kaum muslimin, dan memerintahkan untuk membakar Al Qur`an yang terdapat pada selain Shuhuf tersebut. [2]
Para sahabat yang tadinya enggan membakar mushaf pribadi mereka akhirnya rela membakarnya, termasuk Abdullah ibn Mas’ud yang semula menolak Mushaf Utsman dan tidak mau membakar mushaf pribadinya.
Kerja keras keempat sahabat itu membuahkan hasil yang membanggakan. Kini, semua umat Islam memiliki mushaf yang sama dan seragam.
*****
Sepanjang sejarah umat Islam, kodifikasi terhadap Al-Qur’an telah dilakukan pada tiga masa:
- Pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kodifikasi terbatas pada penulisan ayat dan peletakannya pada tempat tertentu. Ayat-ayat itu dituliskan pada berbagai media, seperti lempengan batu, tulang pipih, pelepah kurma, dan media-media lainnya yang didapatkan oleh para sahabat. Kodifikasi pada masa ini semata-mata bertujuan agar para sahabat memiliki rujukan bagi hafalan Al-Qur’an mereka sehingga mereka tidak hanya bertumpu pada kekuatan hafalan.
- Pada masa Abu Bakar as-Shiddiq. Kodifikasi dilaksanakan atas usul beberapa sahabat, terutama Umar ibn Khaththab, yang mengkhawatirkan kepunahan Al-Qur’an karena banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang terbunuh di medan perang. Kodifikasi dilakukan dengan menuliskan semua ayat Al-Qur’an pada satu mushaf dengan ayat yang sudah tersusun.
- Pada masa Utsman ibn Affan. Kodifikasi dilakukan melalui beberapa tahapan. Panitia mengumpulkan semua lembaran Al-Qur’an yang dimiliki para sahabat dan menjadikan mushaf yang disimpan oleh Hafshah sebagai rujukan.[3] Kemudian mereka menyusun mushaf utama, lalu membuat beberapa salinan untuk dikirimkan ke seluruh pelosok dunia Islam. Mushaf Utsmani itu berhasil memadamkan perselisihan yang terjadi di tengah umat berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an.
Ada sebagian pihak yang mencela kebijakan Utsman ini. Para pengkritik diantaranya menyatakan bahwa tindakan Utsman itu merupakan bid’ah yang tidak boleh dilakukan.
Namun ketahuilah, para sahabat telah sepakat menerima dan mengamankan kebijakan Utsman ini. Termasuk diantaranya Abdullah ibn Mas’ud. Ali ibn Abu Thalib termasuk diantara sahabat yang terang-terangan menyukai kebijakan Utsman ini. Ia berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، لا تَغْلُوا فِي عُثْمَانَ وَلا تَقُولُوا لَهُ إِلا خَيْرًا أَوْ قُولُوا لَهُ خَيْرًا فِي الْمَصَاحِفِ وَإِحْرَاقِ الْمَصَاحِفِ ، فَوَاللَّهِ مَا فَعَلَ الَّذِي فَعَلَ فِي الْمَصَاحِفِ إِلا عَنْ مَلأٍ مِنَّا جَمِيعًا ، فَقَالَ : مَا تَقُولُونَ فِي هَذِهِ الْقِرَاءَةِ ؟ فَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّ بَعْضَهُمْ يَقُولُ : إِنَّ قِرَاءَتِي خَيْرٌ مِنْ قِرَاءَتِكَ ، وَهَذَا يَكَادُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا ” ، قُلْنَا : فَمَا تَرَى ؟ قَالَ : ” نَرَى أَنْ نَجْمَعَ النَّاسَ عَلَى مُصْحَفٍ وَاحِدٍ ، فَلا تَكُونُ فُرْقَةٌ ، وَلا يَكُونُ اخْتِلافٌ ” ، قُلْنَا : فَنِعْمَ مَا رَأَيْتَ . قَالَ : ” فَقِيلَ : أَيُّ النَّاسِ أَفْصَحُ ، وَأَيُّ النَّاسِ أَقْرَأُ ؟ ” قَالُوا : أَفْصَحُ النَّاسِ سَعِيدُ بْنُ الْعَاصِ ، وَأَقْرَأُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ ، فَقَالَ : ” لِيَكْتُبْ أَحَدُهُمَا وَيُمْلِ الآخَرُ فَفَعَلا وَجُمِعَ النَّاسُ عَلَى مُصْحَفٍ ” قَالَ : قَالَ عَلِيٌّ : ” وَاللَّهِ لَوْ وُلِّيتُ لَفَعَلْتُ مِثْلَ الَّذِي فَعَلَ “
“Wahai manusia, jangan kalian bersikap berlebih-lebihan terhadap Utsman; dan jangan kalian berkata kepadanya kecuali yang baik-baik atau katakanlah kepadanya yang baik-baik tentang mushaf (yang telah disusun, red) dan pembakaran mushaf (yang tidak sesuai dengannya); demi Allah, tidaklah ia (Utsman) melakukan kebijakan tentang mushaf ini kecuali setelah merundingkannya dengan kami semua. Ia berkata, ‘Apa pendapat kalian tentang masalah qira’ah ini? Sungguh telah sampai kabar kepadaku sebagian mereka (yang berselisih) berkata, ‘Sesungguhnya qiraahku lebih baik dari qira’ahmu.’, dan hal ini nyaris menjadikan kekufuran.’, kami bertanya kepada Utsman, ‘Lalu apa pendapatmu?’ Utsman menjawab, ‘ Menurutku umat harus disatukan dalam satu mushaf, maka mereka tak akan berpecah-belah dan berselisih.’ Kami berkomentar, ‘Apa yang menjadi pendapatmu bagus.’ Berkata Suwaid Al-Ghaflah (periwayat), ‘Mereka ditanya oleh Utsman, ‘Siapa orang yang paling fasih dan paling pandai membaca?’ Mereka menjawab, ‘Orang yang paling fasih adalah Sa’id ibn al-Ash, dan orang yang paling pandai membaca adalah Zaid ibn Tsabit.’ Berkata Utsman, ‘Hendaklah salah seorang menulis dan yang lain mendiktekannya’. Lalu keduanya melaksanakan (apa yang diperintahkan Utsman), dan orang-orang pun kemudian bersatu dalam satu mushaf.’ Berkata Suwaid Al-Ghaflah, ‘Ali berkata, ‘Demi Allah, seandainya hal ini dihadapkan kepadaku, benar-benar aku akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan.” [4]
Wallahu a’lam…
Catatan Kaki:
[1] HR. al-Bukhari
[2] HR. Al-Bukhari (potongan hadits ini merupakan kelanjutan dari hadits yang disebutkan dalam catatan kaki nomor 1).
[3] Mushaf yang ada pada Ummul Mu’minin Hafshah adalah mushaf yang ditulis pada kodifikasi kedua yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar.
[4] HR. Ibn Abi Dawud dalam al-Mashahif dari Suwaid ibn Ghaflah. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan as-Suyuthi dalam al-Itqan, Juz I hal. 170 – 171.
2 comments
terima kasih, wassalam