Era dakwah terbuka mengandung konsekwensi. Seruan Islam mulai banyak diperbincangkan, musuh-musuh dakwah pun mulai melakukan tindakan-tindakan penentangan.
Ancaman Kekerasan dan Fitnah
Ancaman kekerasan mulai menimpa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tergambar dari riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَهْلٍ لَئِنْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَآتِيَنَّهُ حَتَّى أَطَأَ عَلَى عُنُقِهِ قَالَ فَقَالَ لَوْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عِيَانًا
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata: Abu Jahl pernah berkata: “Seandainya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, tentu aku akan mendatanginya, hingga menginjak lehernya”. Ibnu ‘Abbas berkata: Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya ia berbuat, tentulah para malaikat akan menyiksanya secara terang-terangan”
Orang-orang musyrik juga melakukan penghinaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengejek saat Nabi beribadah, menyimpan kotoran di muka rumah Nabi, melempar dengan kotoran, menjerat leher Nabi, menaburkan kotoran dan tanah ke kepala Nabi, dan lain-lain.
Mereka menghasut masyarakat agar tidak menyenangi Islam. Abdul Uzza (Abu Lahab) menghasut kalangan laki-laki; Aura (Ummu Jamil) menghasut kalangan wanita;‘Amr bin Hisyam (Abu Jahl) menghasut kalangan pemuda. Mereka bersekongkol menahan laju gerakan dakwah Islam, sehingga citra dakwah Islam menjadi buruk di mata masyarakat. Disebarlah isu bahwa Muhammad itu penghina nenek moyang dan pemecah belah persatuan bangsa Quraisy.
Namun Rasulullah dan para sahabatnya tetap tegar berdakwah dan memegang teguh Islam.
Upaya Kompromi
Musyrikin kemudian menawarkan kompromi—tepatnya menyuap Nabi—agar berhenti dari dakwah, yang ditawarkan adalah harta, tahta dan wanita. Untuk keperluan ini mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah. Namun diplomasi Utbah mengalami kegagalan.
Berikutnya Musyrikin mencoba menekan Abu Thalib untuk tidak melindungi dakwah Islam. Dikisahkan, bahwa sejumlah tokoh terkemuka Quraisy mendatangi Abu Thalib dan berkata: “Sesungguhnya kemenakanmu telah mencaci-maki tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, menuduh pikiran kita bodoh, dan menganggap nenek moyang kita sesat. Pilihlah oleh engkau, menghentikannya atau engkau biarkan (tidak turut campur) antara kami dengan dia. Karena engkau dan kami sama-sama mengingkarinya, maka kami cukupkan engkau untuk menghentikannya”. Mendengar seruan ini, justru Abu Thalib menolaknya dengan lemah lembut.[1]
Musyrikin Quraisy terus menekan hingga akhirnya Abu Thalib menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keinginan mereka, yaitu agar beliau menghentikan dakwahnya. Namun permintaan pamannya ini ditolak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan Ibnu Ishaq, al Bukhari dalam kitab tarikhnya, dan al Baihaqi dengan sanad hasan dari hadits Aqil bin Abi Thalib, bahwa Abu Thalib mengutusnya memanggil Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. setelah itu, Abu Thalib berkata kepadanya: “Sesungguhnya Bani Pamanmu (Quraisy) mengatakan, bahwa engkau telah menyakiti mereka di majlis-majlis dan tempat ibadah mereka. (Maka) berhentilah dari menyakiti mereka”.
Mendengar ungkapan pamannya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendongakkan pandangannya ke langit sambil berkata: “Apakah kalian melihat matahari itu?”
Mereka menjawab, ”Ya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi: “Aku tidak mungkin mampu meninggalkan hal itu (dakwah Islam, Red.), walaupun kalian dapat mengambil cahaya dari matahari tersebut”.
Melihat kekokohan kemenakannya, maka Abu Thalib pun berkata: “Demi Allah! Kemenakanku tidak berdusta, maka kembalilah kalian!”[2]
Penyiksaan
Musyrikin juga menggunakan cara kekerasan, yakni dengan menyiksa para pengikut Islam yang lemah, yakni mereka yang tidak memiliki kabilah pelindung, seperti Bilal bin Rabah, Sumayyah, Amr bin Yasir, Yasir, dan lain-lain. Mereka menghadapi penyiksaan yang demikian keras, bahkan Yasir dan Sumayyah gugur syahid.
Gelombang penindasan yang semakin dahsyat mendorong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan orang-orang yang lemah untuk menampakkan ‘kemurtadan’. Said bin Jubair berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Abbas, ‘Apakah orang-orang musyrikin melancarkan siksaan kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai siksaan itu membolehkan mereka untuk ‘meninggalkan’ agama mereka?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Ya demi Allah. Sesungguhnya orang-orang musyrik memukuli salah seorang mereka, setelah tidak diberi makan dan minum, sampai tidak bisa duduk akibat siksaan itu dan (terpaksa) memberikan apa yang mereka inginkan yaitu fitnah. Sampai mereka berkata kepadanya, ‘Lata dan Uzza adalah tuhanmu selain Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Sampai ketika ada kumbang melintas, mereka bertanya kepadanya, ‘Apakah kumbang ini ‘tuhanmu selain Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya’.”
Salah seorang sahabat yang mendapat siksaan dahsyat adalah Ammar bin Yasir, sehingga saat orang-orang musyrik memaksanya untuk mencela Rasulullah dan memuji Lata dan Uzza, ia pun melakukannya. Maka turunlah firman Allah, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…” (Q.S. An-Nahl: 106)
Rasulullah bersabda kepada Ammar bin Yasir, “Bagaimana kamu dapati hatimu?” Ammar menjawab, “Dalam keadaan tenang dengan keimanan.” Sahut Nabi saw, “Jika mereka kembali (menyiksamu) maka ulangilah lagi (sikapmu).”[3]
Hijrah pertama ke Habasyah
Karena semakin kerasnya siksaan dan penghinaan akhirnya Nabi memerintahkan sebagian sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Ada sekitar 15 orang sahabat yang berhijrah, diantaranya adalah Utsman bin Affan dan Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pergi pada bulan Rajab tahun ke 5 bi’tsah dengan cara menyewa kapal laut.
Umar dan Hamzah Masuk Islam
Dalam keadaan tertekan seperti itu kaum muslimin mendapat kegembiraan dengan masuk Islamnya dua orang kuat: Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Upaya Penumpasan Dakwah Islam Terus Berlanjut
Musyrikin Quraisy terus menyebarkan tuduhan dan berita-berita bohong tentang Islam. Contoh: menyebut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang gila[4], penyihir[5], pendusta[6], melontarkan tuduhan terhadap Al-Qur’an sebagai kumpulan dongeng orang-orang terdahulu dan bukan berasal dari Allah[7], peramal, dukun, dll).
Ibrah (Pelajaran Penting):
- Fitnah berupa penentangan, tuduhan, ancaman, dan siksaan; juga bujuk rayu dunia adalah sunnatullah di dalam dakwah. Ia adalah ujian keimanan dari Allah Ta’ala,
الم (١)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢)وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣)
“Alif laam miim.Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 1-3)
- Pada fase gerakan dakwah belum memiliki kekuatan, tidak ada langkah yang patut diambil kecuali bersabar menanggung siksaan dan penindasan. Gerakan dakwah tidak melakukan upaya perlawanan bukan karena mereka penakut. Namun siyasatu dakwah (politik dakwah) pada saat itu memang tidak menghendaki adanya perlawanan yang hanya akan menyebabkan musnahnya ‘benih-benih dakwah’ secara keseluruhan. Kesabaran kaum muslimin menanggung siksaan dan penindasan ini tiada lain agar dakwah ini tetap hidup dan berkembang, walaupun harus terhambat sementara waktu oleh deraan badai kebencian.
Wallahu A’lam.
[1] Riwayat ini disampaikan Ibnu Hisyam dari riwayat Ibnu Ishaq tanpa sanad periwayatan.
[2] Syaikh al Albani dalam kitab Shahih as-Sirah an-Nabawiyah, hlm. 143 mengatakan: “Hadits ini telah dikeluarkan al Hakim dalam al Mustadrak (3/577) dari sisi lain, yang tidak sama dengan riwayat al Baihaqi ini. Dan dalam sanadnya terdapat Thalhah bin Yahya dari Musa bin Thalhah dari Aqil. Sanadnya hasan sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab ash-Shahihah, 92. Adapun hadits yang berbunyi: ‘Wahai pamanku! Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku …,’ tidak saya sampaikan disini, kerena (riwayatnya) lemah walaupun sangat masyhur. Tentang lafazh ini telah dijelaskan dalam kitab ad-Dhaifah, 913”.
[3] Lihat: Manhaj Haraki, hal. 68 – 70
[4] Lihat: QS. Al-Hijr, 15: 6, Al-Qalam, 68: 2 dan 51
[5] Lihat: QS. Shad, 38: 4 dan Al-Furqan, 25: 8
[6] Lihat: QS. Al-Furqan, 25: 4
[7] Lihat: QS. Al-Furqan, 25: 5 dan An-Nahl, 16: 103