Dari pembahasan sebelumnya kita telah mengetahui keutamaan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Dia adalah salah satu sahabat yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk surga, bahkan ia disebut oleh beliau sebagai temannya di surga.
Utsman bin Affan dialah dzunurain (pemilik dua cahaya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan dua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, kepada laki-laki pencatat Al-Qur’an ini. Saat umat mengalami kekeringan, dialah yang membeli sumur Raumah dan memberikannya untuk kepentingan umat Islam. Dia pula yang membiayai jaisyul ‘usrah (pasukan Perang Tabuk).
Konspirasi Gerakan Terselubung
Namun, keutamaan-keutamaan itu tidak dipandang oleh kaum bodoh dan pendengki. Pada masa-masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu gelombang fitnah datang bertubi-tubi hingga ia gugur syahid dalam keadaan terzalimi.
Gelombang fitnah itu berawal dari gerakan terselubung yang dirancang oleh Abdullah bin Saba la’natullah ‘alaihi. Ia dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sauda. Dia adalah seorang Yahudi asal Shan’a yang berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Ia berkeliling dari satu kota ke kota lain (Hijaz, Basra, Kufah, Syam, dan Mesir) untuk melancarkan agendanya merusak umat Islam. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa Ibnu Sauda meracuni otak orang-orang untuk melakukan perlawanan terhadap khalifah. Di Syam ia tidak berhasil melakukan hasutan, namun di Mesir ia berhasil membangun basis kekuatannya. Ia menghimpun para bromocorah (pencuri, perampok, kaum munafik, Yahudi, Nasrani, Majusi) dan memerintahkannya berpura-pura menjadi muslim.
Abdullah bin Saba menyebarkan pemahaman yang sesat di tengah-tengah kaum awam. Kepada orang-orang Mesir ia berkata: “Allangkah anehnya orang yang mengatakan bahwa Isa akan kembali tetapi tidak percaya bahwa Muhammad akan kembali. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: ‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.’” (Al-Qashshash: 85). Nah, Muhammad lebih pantas untuk kembali daripada Isa.”
Ia juga berkata: “Ada ribuan nabi, dan setiap nabi mempunyai penerima wasiat. Adalah Ali penerima wasiat Muhammad; Muhammad adalah penutup para nabi dan Ali adalah penutup para penerima wasiat; siapakah yang lebih zalim daripada orang yang tidak melaksanakan wasiat Rasulullah, lantas merampas kendali urusan umat ini? Utsman telah merampasnya tanpa dasar yang dibenarkan…”
Ia berkata kepada para pengikutnya, “Berontaklah kepada para penguasa kalian dan lawanlah para pembantu khalifah. Tunjukkanlah bahwa kalian selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar agar orang-orang menyukai kalian. Di samping itu, seru dan ajak mereka untuk mengikuti langkah kalian.” (Tarikh At-Thabari, 5/348)
Tuduhan Nepotisme Kepada Utsman dan Para Pejabatnya
Abdullah bin Saba dan para pengikutnya menyebar fitnah ditengah-tengah umat berupa tuduhan-tuduhan kepada khalifah dan para pejabatnya.
Utsman bin Affan dituduh melakukan nepotisme, yakni memprioritaskan kaum kerabat dan keluarganya dalam urusan pemerintahan. Padahal Utsman melakukan itu semata-mata karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah sebelumnya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan Bani Umayyah, begitu pula Abu Bakar dan Umar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menempatkan Attab bin Asyad bin Abil Ash di Makkah; Abu Sufyan bin Harb di Najran; Khalid bin Sa’id di Shadaqat Midzhaj dan Shan’a Yaman; Utsman bin Said di Taymi, Khaibar, dan Uyainah; Abban bin Said di sebagian Syiria, kemudian Bahrain.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengangkat Yazid bin Abu Sufyan untuk penaklukkan Syiria, setelah Syiria dikuasai, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu mempertahankan Yazid di sana. Setelah itu mengangkat Mu’awiyah.
Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu mengangkat pemimpin berdasarkan kemampuan; kalau pun memberhentikan itu semata-mata karena permintaan rakyat. Contoh: Abu Musa Al-Asy’ari diberhentikan oleh Utsman dari jabatannya di Bashrah karena tuntutan rakyat, dan menempatkannya di Kufah karena permintaan rakyat disana.
Bahkan pada masa setelah pemerintahannya pun, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘nhu mempekerjakan beberapa kerabatnya: Ubaidillah bin Abbas diangkat sebagai pemimpin Yaman; Qatsm bin Abbas menjadi pemimpin Makkah dan Thaif; Abdullah bin Abbas menjadi pemimpin di Bashrah; Sahl bin Hanif atau Tsamamah bin Abbas menjadi pemimpin Madinah. Hal itu tidak menjadi masalah dan tidak dipemasalahkan oleh umat pada saat itu.
Tuduhan Tentang Hadiah untuk Kerabat
Utsman dituduh sering memberikan hadiah kepada kaum kerabat dan keluarganya. Misal: pemanfaatan tanah oleh seseorang.
Kebijakan seperti ini pun sebenarnya telah dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua khalifah setelah beliau. Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah memberikan tanah untuk diolah kepada Thalhah, Jarir bin Abdullah, dan Ribal bin Amr; juga mempersilahkan Abu Mufarriz memanfaatkan kandang unta, juga Nafi bin Al-Harits memanfaatkan tanah di Bashrah untuk peternakan unta dan kuda.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sebenarnya memberikan tanah kepada orang-orang yang memang layak. Dia memberikan tanah kepada Zubair, Khabab, Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, dan Ibnu Habbar. Mereka ini adalah sahabat-sahabat nabi yang utama.
Di masa setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu pun melakukan hal yang sama. Beliau memberikan tanah kepada Kardaus bin Hani di Kardawsiah; juga kepada Suwaid bin Ghaflah di Diduwaih.
Memberi dari Kantong Sendiri
Berkenaan dengan hadiah kepada kaum kerabat, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu memang telah terbiasa memberikan sesuatu kepada kerabatnya sejak sebelum menjadi khalifah, dan itu bersumber dari kantong sendiri, bukan dari harta umat.
Menjawah tuduhan-tuduhan miring tersebut Utsman berkata, “Aku mencintai keluargaku, dan aku biasa memberi mereka. Namun kecintaanku kepada mereka tidak akan mendorongku berbuat zalim dan sewenang-wenang. Aku wajib memenuhi hak-hak mereka. Aku memberi mereka dengan harta yang berasal dari kantongku sendiri bukan harta umat Islam. Tidak sedikitpun aku menghalalkan harta umat Islam, baik bagi diriku atau siapa pun. Aku sudah biasa memberi mereka dari kantongku sendiri, baik pada zaman Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Padahal saat itu aku terbilang kikir. Lalu mengapa orang-orang mencelaku ketika, karena keluargaku sudah renta dan usiaku sudah senja, kutitipkan harta milikku kepada keluargaku?” (Tarikh Thabari, Juz III, hal. 385)
Tuduhan-tuduhan Lain
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu juga dituduh memberikan seperlima ghanimah Afrika kepada Marwan bin Al-Hakam. Padahal Marwan membeli ghanimah itu seharga 100 ribu dirham karena seperlima ghanimah itu berupa barang-barang berupa perkakas dan hewan ternak yang sulit dibawa ke Madinah.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dituduh menyerahkan pengelolaan pasar kepada Al-Harits bin Al-Hakam, padahal Al-Harits hanya ditugasi mengawasi timbangan para pedagang; ia juga dituduh memberikan hadiah 600.000 dirham dari baitul mal kepada Abdullah bin Khalid bin Asyad, padahal sebenarnya itu hanyalah pinjaman.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dikritik karena mengembalikan Al-Hakam ke Madinah padahal ia telah diusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu sebab tertentu. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu melakukan itu karena ijtihadnya bahwa hukuman itu bukanlah untuk selamanya.
Pemecatan Beberapa Pejabat
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu juga dikritik karena pemecatan beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jabatan mereka. Hal ini sebenarnya dilakukan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu karena adanya pengaduan dan keluhan dari masyarakat atau pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan.
- Pemecatan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu
Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu diberhentikan karena pengunduran dirinya sendiri dilatarbelakangi penolakan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu atas usulan Amr untuk melepaskan jabatan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah radhiyallahu ‘anhu sebagai pemimpin Mesir di bagian hulu.
- Pemecatan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu
Sa’ad bin Abi Waqqash diberhentikan dari jabatannya sebagai walikota Kufah karena kasus perselisihannya dengan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu terkait pinjaman dana, dimana perselisihan itu menyebabkan pertikaian di tengah-tengah masyarakat. Sa’ad kemudian diganti oleh Al-Walid bin Uqbah yang kemudian difitnah telah melakukan minum-minuman keras oleh sebagian penduduk dengan memunculkan saksi palsu: Abu Zainab dan Abu Muwarri. Sehingga Al-Walid pun didera dan dipecat dari jabatannya di Kufah. Al-Walid kemudian digantikan oleh Sa’id bin Al-Ash, namun Al-Asytar (pengikut Abdullah bin Saba) menebarkan isu bahwa Sa’id akan mengurangi dana subsidi. Ia juga mengklaim bahwa tanah fa’i penduduk akan dijadikan milik kaum Quraisy. Lalu Sa’id digantikan oleh Abu Musa Al-Asy’ari.
Utsman bi Affan radhiyallahu ‘anhu selalu mengakomodir tuntutan-tuntutan rakyatnya. Hal ini dilakukan agar kondisi negara tetap stabil. Akan tetapi tindakan-tindakan lemah-lembut Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu malah membuat mereka semakin lancang.
Utsman bin Affan Mengirim Investigator
Fitnah-fitnah yang terus merebak mendorong Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengambil tindakan. Ia mengutus beberapa pembantunya untuk melakukan pemantauan ke daerah-daerah. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengutus Muhammad bin Maslamah ke Yaman; mengutus Usamah bin Zaid ke Bashrah; mengutus Ammar bin Yasir ke Mesir; dan mengutus Abdullah bin Umar ke Syam. Berikutnya seluruh investigator pulang untuk melapor, kecuali Amr bin Yasir. Ia terperdaya oleh berita-berita yang disampaikan Abdullah bin Saba, Khalid bin Muljam, dan Kinanah bin Bisyr. (Tarikh At-Thabari, 4: 341)
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kemudian mengirim surat kepada penduduk daerah dalam hal menyikapi adanya pejabat yang bermasalah. Penduduk di daerah menyambut baik surat dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu tersebut.
Gerakan Saba’iyah Terus Bergerak
Para konspirator tidak berhenti bergerak. Mereka terus berkoordinasi. Di Kufah gerakan ini dipimpin oleh Amr bin Al-Asham, Al-Asytar An-Nakha’i, Zaid bin Shauhan, Ziyad bin Nadhr, dan Abdullah bin Al-Asham.
Di Bashrah dipimpin oleh Harqush bin Zuhair As-Sa’di, Hakim bin Jabalah Al-Ubadi, Dzuraih bin Abbad Al-Ubadi, Bisyr bin Syuraih, dan Ibnul Mahrusy bin Abd bin Amr.
Di Mesir dipimpin oleh Al-Ghafiqi bin Harb Al-Akki, Abdurrahman bin Udais Al-Balawi, Kinanah bin Bisyr At-Tajibi, Urwan bin Syaibam Al-Laitsi, Abu Amr bin Budail bin Waraqa Al-Khuza’i, Saudan bin Ruman Al-Ashbahi, Zar bin Yasykur Al-Yafi’i, Saudan bin Hamran As-Sukuni, dan Qutaibah bin Ghulan As-Sukuni.
Saba’iyah Memanfaatkan Pemikiran Abu Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu nama aslinya Jundab bin Junadah bin Sakan. Ia termasuk As-Sabiqunal Awwalun.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kondisi umat Islam hidup makmur; harta benda melimpah, masyarakat makan enak, berpakaian bagus, dan memiliki rumah-rumah yang luas. Abu Dzar mengganggap hal ini tidak sesuai dengan kezuhudan. Ia kemudian mendakwahkan pemahamannya: “Seorang muslim tidak boleh menyimpan atau memiliki harta benda melebihi kebutuhannya; adapun kelebihan itu harus diinfakkan dan dibagikan kepada orang-orang miskin.”
Kelebihan harta menurutnya akan dijadikan seterika di neraka, berdasarkan firman Allah,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah, 9: 34)
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ فَأَجَبْتُهُ فَقَالَ هَلْ تَرَى أُحُدًا فَنَظَرْتُ مَا عَلَيْهِ مِنْ الشَّمْسِ وَأَنَا أَظُنُّهُ يَبْعَثُنِي فِي حَاجَةٍ فَقُلْتُ أَرَاهُ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي مِثْلَهُ ذَهَبًا أُنْفِقُهُ كُلَّهُ إِلَّا ثَلَاثَةَ الدَّنَانِيرِ
“Wahai Abu Dzar!” Akupun menjawabnya, lalu beliau mengatakan, “Apakah engkau melihat gunung uhud itu?” Aku lalu melihat gunung uhud di balik cahaya matahari, dan aku mengira Rasulullah hendak mengutusku untuk sebuah kepentingan. Lalu aku menjawab, “Ya, aku melihatnya.” Beliau bersabda: “Saya tidak suka seandainya saya punya emas sebesar gunung uhud, lantas saya pergunakan untuk belanja (pribadi), selain sekedar tiga dinar saja.” (HR. Ahmad).
Pemahaman Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu ini berbeda dengan mayoritas sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain yang memahami bahwa al-kanz (simpanan harta) yang disebutkan dalam surat At-Taubah yang akan menyebabkan siksa di neraka adalah simpanan harta yang tidak ditunaikan kewajibannya.
Meskipun begitu, beberapa kalangan menyetujui seruan-seruan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu ini. Abdullah bin Saba memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politiknya menjelek-jelekkan khalifah dan para pejabatnya. Ia mengadukan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Ia pun mendatangi sahabat nabi yang lain, Abu Darda radhiyallahu ‘anhu dan Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, namun kedua sahabat ini dapat mengendus niat busuk Abdullah bin Saba. Berdasarkan pengaduan ini Abu Dzar sempat mendatangi Muawiyah radhiyallahu ‘anhu dan juga Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Dzar, “Alangkah baiknya engkau menyendiri.” Maka Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meminta izin kepada Utsman untuk tinggal di Rabadzah.
Langkah-langkah Membendung Para Pengacau
Setelah orang-orang saleh, para ulama, dan ahli hikmah di kota Kufah, Bashrah, dan Al-Fusthath (Mesir) menasehati serta memperingatkan kaum saba’iyah tetapi tidak membuahkan hasil, langkah berikutnya yang diambil Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah mengirimkan mereka kepada Mu’awiyah lalu kepada Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Abdurrahman bersikap keras kepada mereka, lalu mereka pura-pura bertaubat. Mereka pun datang kepada Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, juga menyatakan taubat.
Konspirasi Pemberontakan Dimulai!
Kaum Saba’iyah berkoordinasi dan bergerak dari wilayah masing-masing dan berhasil mengumpulkan orang-orang yang bisa mereka perdaya. Penduduk Mesir dipimpin Al-Ghafiqi bin Harb Al-Akki; penduduk Kufah dipimpin Amr bin Al-Asham; dan penduduk Bashrah dipimpin Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Mereka bergerak ke Madinah berpura-pura sebagai jama’ah haji.
Mengirim Delegasi
Kaum Saba’iyah mengirim delegasi ke Madinah untuk memantau situasi dan kondisi. Namun tidak ada yang menyambut maksud mereka kecuali: Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Abu Hudzaifah, dan Ammar bin Yasir.
Utusan kaum saba’iyah, Ziyad bin An-Nadhar dan Abdullah bin Al-Asham, menemui istri-istri nabi, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Az-Zubair bin Awwam. Kepada mereka Ziyad menyatakan bahwa mereka datang ke Madinah sekedar untuk menyampaikan tuntutan pencopotan sebagian pejabat di negeri mereka. Namun para sahabat itu menolak mereka masuk Madinah.
Langkah selanjutnya dari kaum saba’iyah pemberontak ini adalah mendatangkan sekelompok penduduk Mesir berkumpul dan menemui Ali bin Abi Thalib, tokoh yang mereka sukai; mendatangkan sekelompok penduduk Bashrah menemui Thalhah bin Ubaidillah, tokoh yang mereka sukai; dan mendatangkan sekelompok penduduk Kufah menemui Az-Zubair bin Al-Awwam, tokoh yang mereka sukai. Semuanya mengusulkan kepada tiga orang sahabat itu tentang pergantian khalifah. Namun, mereka menolak mentah-mentah.
Massa Pemberontak Masuk ke Madinah
Penduduk Madinah baru terkejut ketika mereka tiba-tiba mendengar gema takbir bersahutan dari seluruh sisi kota (At-Thabari, 4: 350).
Melihat situasi dan kondisi seperti itu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu segera mengirim surat ke berbagai daerah untuk meminta bantuan. Maka, Muawiyah dari Syam segera mengutus Hubaib bin Maslamah Al-Fihri, Abdullah bin Sa’ad mengutus Mu’awiyah bin Hudaij As-Sukuni, sedangkan dari Kufah yang berangkat adalah Qa’qa bin Amir.
Dalam kondisi seperti itu, para sahabat yang dipimpin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berhasil menenangkan massa. Hingga Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dapat berpidato dan berbicara langsung dengan para pemberontak.
Mereka yang datang karena terprovokasi puas dengan jawaban-jawaban Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, lalu mereka pun berbalik hendak pulang ke negerinya masing-masing.
Surat Palsu
Melihat kondisi massa merasa puas dengan jawaban-jawaban Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, para pemimpin pemberontak pun akhirnya berpura-pura menerimanya dan dan ikut berbalik pulang. Namun mereka merancang ide membuat surat palsu untuk mencapai tujuannya memakzulkan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Surat palsu itu seolah-olah berisi perintah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kepada Abdullah bin Sa’ad, pemimpin Mesir, agar menjatuhkan hukuman mati terhadap sebagian penduduk Mesir. Surat itu ditemukan oleh rombongan Mesir dari seorang hamba sahaya yang berhasil mereka sergap. Maka, karena surat palsu itu orang-orang Mesir kembali ke Madinah menemui Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu, lalu mereka mendatangi Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu menolak keras berkenaan dengan surat itu. Lalu pemberontak itu mencurigai Marwan bin Hakam, sekretaris khalifah. Untuk penyelesaiannya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu meminta dua saksi dan mereka pun bersumpah tidak pernah mengirim surat tersebut. Namun, para pemberontak tidak menerima sumpah itu lalu mereka memutuskan untuk mengepung rumah Utsman bin Affan dan menuntutnya mundur dari kekhalifahan..
Bukti Kepalsuan
Bagi orang yang mencermati dengan tenang dan berkepala dingin jelaslah sudah kepalsuan surat itu.
- Mana mungkin surat itu ditujukan kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, padahal Utsman memang telah memanggilnya ke Madinah, dan Abdullah pun telah berada di perjalanan menuju Madinah?
- Orang yang berhasil menangkap pembawa surat itu adalah rombongan Mesir, lalu mengapa rombongan Kufah dan Bashrah pun berdatangan kembali dalam waktu bersamaan ke Madinah? Hal ini pun sebenarnya menjadi keheranan rombongan Mesir, namun emosi yang terbakar dan tipu daya yang telah bersarang di benak mereka selama ini menghalangi mereka untuk berpikir jernih.
- Hamba sahaya pembawa surat palsu itu melakukan gerak-gerik yang mencurigakan sehingga disergap oleh rombongan Mesir. Ia seolah sengaja melakukannya agar rombongan itu menghampiri dan menangkapnya.
- Kedatangan rombongan pemberontak ini ke Madinah pun ternyata diprovokasi oleh surat yang mengatasnamakan Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam, dan ‘Aisyah. Ketika para pemberontak bertanya kepada para sahabat mulia ini tentang surat-surat dari mereka yang menyuruh penduduk Kufah, Bashrah, dan Mesir datang ke Madinah, seluruh sahabat mengingkarinya, mereka sama sekali tidak pernah mengirim surat apa pun yang menyuruh para pemberontak untuk datang ke Madinah.
Pengepungan Keji
Para pemberontak tidak mau mengindahkan nasehat para sahabat agar kembali ke daerah masing-masing, mereka bersikukuh mengepung rumah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Dalam kondisi genting seperti itu, para sahabat segera mengirimkan putra-putra mereka untuk menjaga rumah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Para pemberontak melakukan hal keji, mengahalangi pasokan makanan dan minuman ke rumah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ali bin Abi Thalib berkata kepada mereka, “Yang kalian perbuat ini tidak seperti cara orang-orang mu’min maupun cara orang-orang kafir.”
Nyaris terjadi bentrokan antara para penjaga rumah (putra-putra para sahabat) dengan para pemberontak. Pada saat itu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu menyuruh para penjaga rumahnya itu untuk pulang ke rumah masing-masing (Tarikh At-Thabari, 4: 386). Hal itu dilakukan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu agar tidak banyak darah tertumpah.
Utsman bin Affan Terbunuh Syahid!
Setelah mengepung kediaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu secara total, sebagian pemberontak memanjat dari rumah sebelah kemudian membunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang saat itu sedang membaca Al-Qur’an. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada 17 Dzulqaidah 35 H (17 Juni 656 M)
Syahidnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ini menjadi awal berkobarnya fitnah yang lebih pelik.
Berita dari Nabi tentang Pemberontakan Kepada Utsman
Pemberontakan kepada Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sebenarnya telah diberitakan jauh-jauh hari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ وَدِدْتُ أَنَّ عِنْدِي بَعْضَ أَصْحَابِي قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَدْعُو لَكَ أَبَا بَكْرٍ فَسَكَتَ قُلْنَا أَلَا نَدْعُو لَكَ عُمَرَ فَسَكَتَ قُلْنَا أَلَا نَدْعُو لَكَ عُثْمَانَ قَالَ نَعَمْ فَجَاءَ فَخَلَا بِهِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَلِّمُهُ وَوَجْهُ عُثْمَانَ يَتَغَيَّرُ قَالَ قَيْسٌ فَحَدَّثَنِي أَبُو سَهْلَةَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَالَ يَوْمَ الدَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهِدَ إِلَيَّ عَهْدًا فَأَنَا صَائِرٌ إِلَيْهِ وَقَالَ عَلِيٌّ فِي حَدِيثِهِ وَأَنَا صَابِرٌ عَلَيْهِ قَالَ قَيْسٌ فَكَانُوا يُرَوْنَهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Dari Aisyah ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda diwaktu sakitnya: “Ingin rasanya jika sebagian sahabatku ada di sisiku.” Kami lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apakah perlu kami memanggil Abu Bakar untukmu?” Beliau terdiam. Kami bertanya lagi, “Apakah perlu kami memanggil Umar untukmu?” Beliau masih terdiam. Kami lalu bertanya lagi, “Apakah perlu kami memanggil Utsman untukmu?” Beliau menjawab, “Ya.” Lalu Utsman pun datang dan menyendiri dengan beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara kepadanya, hingga wajah Utsman berubah.” Qais berkata, “Telah menceritakan kepadaku Abu Sahlah mantan budak Utsman, Utsman bin Affan berkata di hari pengepungan rumahnya, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjanjikan kepadaku sebuah janji dan aku akan tetap memegang janji itu.’ dan Ali menyebutkan dalam hadisnya, ‘Aku akan bersabar di atasnya’. Qais berkata, ‘Maka mereka membunuhnya pada hari itu.’” (HR. Ibnu Majah)
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِتْنَةً فَقَرَّبَهَا فَمَرَّ رَجُلٌ مُقَنَّعٌ رَأْسُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا يَوْمَئِذٍ عَلَى الْهُدَى فَوَثَبْتُ فَأَخَذْتُ بِضَبْعَيْ عُثْمَانَ ثُمَّ اسْتَقْبَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ هَذَا قَالَ هَذَا
Dari Ka’ab bin ujrah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan fitnah dan mengisyaratkan semakin dekat kedatangannya. Lalu lewatlah seorang lelaki yang memakai caping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: ‘Orang ini suatu hari nanti akan berada di atas petunjuk.’ Maka aku melompat dan menarik kedua lengan Utsman dan kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Orang ini?’ Beliau bersabda, ‘Orang ini.’” (HR. Ibnu Majah)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا عُثْمَانُ إِنَّهُ لَعَلَّ اللَّهَ يُقَمِّصُكَ قَمِيصًا فَإِنْ أَرَادُوكَ عَلَى خَلْعِهِ فَلَا تَخْلَعْهُ لَهُمْ وَفِي الْحَدِيثِ قِصَّةٌ طَوِيلَةٌ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai utsman, jika pada suatu hari nanti Allah menguasakanmu atas perkara ini, lalu orang-orang ingin agar kamu melepaskan jubah (khilafah) ini, maka janganlah kamu melepasnya untuk mereka.” Dan dalam hadis ini ada cerita yang panjang. Abu Isa berkata, “Hadis ini adalah hadis hasan gharib.” (HR. Tirmidzi)
Semoga umat di zaman ini dapat mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa di masa lalu.
Maraji’:
Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, Prof. DR. Abdussyafi Abdul Lathif.
Kisah Hidup Utsman Ibn Affan, DR. Musthafa Murad.
1 comment
Syukron ilmunya ustadz