Matan Hadits:
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن. وفي بعض النسخ: حسنٌ صحيح.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwa-lah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya, dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan dia berkata: hadits hasan. Pada sebagian naskah: hasan shahih.
Takhrij Hadits:
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1987, dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21354, 21403, dari Abu Dzar, dan No. 21988, dari Muadz bin Jabal. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 8023, dari Muadz bin Jabal, dan No. 8026, dari Abu Dzar
- Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal 1913, dari Abu Dzar, dan No. 5246, dari Muadz bin Jabal
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No, 2791, dari Abu dzar
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain 187, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Penshahihan Ini disepakati oleh Imam Adz Dzahabi
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 296, 287, dari Muadz bin Jabal. Juga dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, dari Muadz bin Jabal
- Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4022, dari Abu Dzar
- Imam Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 4/378
- Imam Ibnu ‘Asakir (61/314), dari Anas bin Malik
Syaikh Al Albani juga menghasankan dalam beberapa kitabnya, baik yang riwayat Abu Dzar, Muadz, dan Anas. (Shahihul Jami’ No. 97, Misykah Al Mashabih No. 5083, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2655, 3160)
Kandungan Hadits Secara Global
Hadits ini memuat banyak pelajaran bagi pembentukan keshalihan pribadi dan masyarakat, di antaranya:
- Perintah untuk tetap dalam keadaan taqwa kepada Allah Ta’ala di mana pun dan kapan pun. Perintah taqwa sangat banyak tersebar dalam Al Quran dan As Sunnah, baik perintah taqwa secara umum atau perintah taqwa dikaitkan dengan suatu hal secara khusus. Baik dengan bentuk kata ittaquullah (bertaqwal-lah kalian kepada Allah) atau ittaqillah (bertaqwa-lah kamu kepada Allah).
- Melakukan kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang alamiah terjadi pada diri manusia. Tidak ada manusia yang selalu buruk, jelek, dan jahat, sebagaimana syetan. Dan, tidak ada manusia yang selalu rajin ibadah, benar, baik, dan taat, sebagaimana malaikat. Justru karena ada kedua hal itu letak manusiawinya manusia. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan naïf jika ada manusia yang menuntut orang lain untuk selalu benar dan tidak boleh salah sama sekali, karena itu adalah pembebanan yang manusia mana pun tidak akan mampu.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam memiliki kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah yang bertobat. (HR. At Tirmidzi No. 2499, Ibnu Majah No. 4251, Ahmad No. 13049. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4515. Imam Al Munawi dan Imam Al Hakim mengatakan: shahih, sedangkan Imam Adz Dzahabi mngatakan: fiihi layyin – ada kelemahan. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 7/202)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga senantiasa memohon ampunan (istighfar) dan bertobat kepada Allah Ta’ala antara 70 sampai 100 kali dalam sehari.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
Demi Allah, sungguh saya beristighfar kepada Allah dan bertobat kepadaNya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari No. 6307, At Tirmidzi No. 3259, Ahmad No. 7793, Ibnu Hibban No. 925, Ad Dailami No. 7024, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 639)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beristighfar dan bertobat kepada Allah Ta’ala sebanyak 100 kali dalam sehari. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 621, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10268, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1286, Ahmad No. 9807, dll)
- Perintah untuk mengiringi perbuatan jelek yang mengandung dosa dengan perbuatan baik yang mengandung pahala. Hal itu bertujuan agar perbuatan baik dapat menghapus perbuatan jelek.
Hal ini sesuai dengan ayat:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan keburukan-keburukan. (QS. Huud (11): 114)
Yaitu menghapuskan dosa dan bekas dari kejelekan tersebut. Tersebut dalam Tafsir Al Muyassar:
إنَّ فِعْلَ الخيرات يكفِّر الذنوب السالفة ويمحو آثارها
Sesungguhnya melakukan kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan dosa-dosa terdahulu dan menghapuskan bekas-bekasnya. (Tafsir Al Muyassar, 4/91)
Kebaikan yang dimaksud adalah banyak macamnya seperti shalat yang lima waktu, dzikir, shaum, sedekah, shalat tathawwu’, dan sebagainya. Ada pun dosa yang terhapus adalah bukan yang termasuk Al Kabaa-ir (dosa-dosa besar). Sebab dosa besar hanya bisa dihilangkan dengan tobat nasuha kepada Allah Ta’ala. (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti)
- Perintah untuk bergaul dengan manusia secara umum dengan akhlak yang baik. Baik itu dengan muslim atau non muslim. Baik dengan ahli maksiat atau ahli taat, dengan cara yang tidak sama sesuai kadar maksiat mereka. Untuk bergaul dengan ahli bid’ah dan para pembawa ajaran sesat, ada fiqih tersendiri dalam berinteraksi dengan mereka.
Paduan antara taqwa kepada Allah Ta’ala dan akhlak yang baik, adalah penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam surga.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab: “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ : dari Abu Dzar Jundub bin Junadah
Beliau adalah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin ‘Ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin ‘Abdu Manat bin bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Al Ilyas bin Mudhar. (Usadul Ghabah, Hal. 190)
وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ : dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal
Beliau adalah Muadz bin Jabal bin Amru bin Aus bin ‘Aaidz bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Amru bin Adi bin Sa’ad bin Ali bin Saaridah bin Asad bin Tazid bin Jusyum bin Al Khazraj Al Anshari.
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : semoga Allah meridhai keduanya
Yaitu semoga Allah Ta’ala meridhai Abu Dzar Al Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal.
عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau bersabda
اتَّقِ اللهَ : bertaqwa-lah kamu
Perintah taqwa amat banyak dalam Al Quran, baik dalam bentuk kata ittaquullah (bertaqwa-lah kepada Allah), atau wa mayyattaqillaha (barang siapa yang bertaqwa kepada Allah), atau kalimat la’allakum tattaqun (agar kamu bertaqwa) telah tersebar di banyak ayat. Di antaranya: QS. Al Baqarah, 2: 21; 2: 63; 2: 179; 2: 183; QS. Al An’am, 96: 153; QS. Al A’raf, 7: 171; QS. Al Baqarah, 2: 278; QS. Ali ‘Imran, 3: 102; QS. Al Maidah, 5: 35; dan masih banyak ayat lainnya.
Apakah taqwa itu? Telah banyak definisi yang disampaikan ulama. Di antaranya:
- Definisi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau menafsirkan ayat ittaqullaha haqqa tuqaatih (bertaqwa-lah kalian dengan sebenar-benarnya taqwa)
أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر
Yaitu taat dan tidak ingkar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87. Dar Ath Thayyibah. Lihat juga Imam Al Baidhawi, Anwarut Tanzil, 1/373. Mawqi’ At Tafasir)
- Imam Ibnu katsir mengatakan ucapan tersebut shahih mauquf dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. (Ibid)
Definisi ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan Qatadah. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/250. Mawqi’ At Tafasir)
- Definisi dari Imam Al Baidhawi Rahimahullah
وهو استفراغ الوسع في القيام بالواجب والاجتناب عن المحارم
Taqwa adalah mengerahkan potensi dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. (Anwarut Tanzil, 1/373. Tafsir Al Muyassar, 3/361, 4/340, 10/51)
Sama dengan ini, Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
اتق الله : بامتثال أمره واجتناب نهيه ، والوقوف عند حده .
Bertaqwa-lah kepada Allah: dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan berhenti pada batasanNya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 18)
Berhenti pada batasannya artinya tidak melanggar syariatNya. Definisi yang kedua ini adalah definisi yang paling sering kita dengar.
- Imam Abul Hasan Al Mawardi menyampaikan empat kelompok yang mendefinisikan makna taqwa. Pertama, adalah seperti yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud di atas. Lalu tiga kelompok lainnya:
والثاني : هو اتقاء جميع المعاصي ، وهو قول بعض المتصوفين . والثالث : هو أن يعترفواْ بالحق في الأمن والخوف . والرابع : هو أن يُطَاع ، ولا يُتَّقى في ترك طاعته أحدٌ سواه
Kedua, yaitu menghindari semua maksiat, ini adalah pendapat sebagian ahli tasawwuf. Ketiga, mengenali kebenaran baik dalam keadaan aman atau takut. Keempat, yaitu mentaati dan tidak takut kepada siapa pun dalam meninggalkan ketaatan kepadaNya kecuali takut kepadaNya. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/250)
- Definisi lainnya adalah taqwa bermakna takut (Al Khauf). (Lihat Tafsir Al Muyassar, 1/291, 1/401, 2/209, 10/93. Lihat juga Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/716)
Jadi, dari berbagai definisi ini kita simpulkan bahwa taqwa itu sikap menjalankan segala macam ketaatan dan perintah Allah Ta’ala, tidak membangkang, selalu ingat kepadaNya dan tidak lupa, serta menjauhi larangan-laranganNya, tidak melanggar syariatNya, takut kepada azab dan siksaNya, memegang teguh kebenaran baik dalam keadaan aman dan takut, bersyukur kepada semua nikmat Allah Ta’ala dan tidak mengkufurinya.
Selanjutnya:
حَيْثُمَا كُنْتَ : di mana saja engkau berada
Yaitu bertaqwal-lah di bumi Allah mana pun, baik di tengah keramaian atau kesendirian, di rumah, pasar, jalan, masjid, di kampungmu atau di negeri lain, dan semua tempat di muka bumi ini, karena di mana saja kamu berada Allah ‘Azza wa Jalla selalu mengawasimu.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadid (57): 4)
Ayat ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh mengartikan demikian. Maksudnya adalah Allah Ta’ala senantiasa menyaksikan dan mengawasi manusia. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari Rahimahullah menjelaskan:
وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع
“Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas ‘ArsyNya, di langit yang tujuh.” (Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Quran, 23/196)
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
أي وحدك أو في جمع فإن كانوا أهل بغي أو فجور فعليك بخويصة نفسك أو المراد في أي زمان ومكان كنت فيه رآك الناس أم لا فإن الله مطلع عليك واتقوا الله إن الله كان عليكم رقيبا
Yaitu kamu sendirian atau dalam keramaian, walau mereka adalah ahli maksiat dan kejahatan, maka wajib atasmu menjaga dirimu secara khusus. Atau maksudnya pada tempat mana pun dan waktu kapan pun yang kamu di dalamnya dilihat manusia atau tidak, sesungguhnya Allah mengawasimu, dan bertaqwa-lah kepada Allah karena Allah senantiasa mengawasi kamu. (Faidhul Qadir, 1/156. Cet. 1. 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut)
Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:
حيثما كنت : في أي مكان كنت فيه حيث يراك الناس ، وحيث لا يرونك
Di mana saja kamu berada: yaitu di tempat mana saja kamu berada, di mana manusia melihatmu dan tidak melihatmu. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 18)
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah juga menjelaskan:
وإذا كنت في أي مكان فاتقِِ الله حيثما كنت، لماذا؟ لأن الله مطلع عليك أينما توجهت، وأنت إنما تتعامل مع الله، ولذا خرج أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الأمصار ودعَوا إلى الله، ولما كتب بعض السلف إلى إخوانه في الشام: هلم إلى الأرض المقدسة، قال: إن الأرض لا تقدس أهلها؛ ولكن يقدسهم العمل.
( اتقِ الله حيثما كنت ): وأيضاً (كيفما كنت) أي: على أية حالة تكون فيها مع الناس يجب أن يكون معيارك تقوى الله
Jika kamu berada di berbagai tempat, maka bertaqwa-lah kepada Allah, kenapa? karena Dia mengawasimu ke mana pun kau menghadap, dan sesungguhnya kamu sedang ta’aamul (bergaul-berinteraksi) dengan Allah, oleh karena itu para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju berbagai negeri untuk menyerukan manusia kepada Allah. Ketika sebagian salaf berkata kepada saudara-saudaranya di Syam: “marilah ke negeri yang suci.” Dia menjawab: “Sesungguhnya bumi tidaklah mensucikan penduduknya, tetapi amal-lah yang mensucikan mereka.”
(Bertaqwa-lah kamu di mana saja berada) juga bermakna (bagaimana pun keadaanmu) yaitu bagaimana pun keadaan kamu bersama manusia di dalamnya, wajib menjadikan taqwa kepada Allah sebagai mi’yar (kriteria) bagi dirimu. (Syaikh ‘Athiyah Salim, Syarh Al Hadits Al Arbain, Syarah No. 18)
Jadi, perintah taqwa adalah perintah yang berlaku dalam berbagai dimensi, baik waktu, tempat, dan keadaan manusianya. Bahkan itu merupakan keadaan iman yang paling utama.
Dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أفضل الإيمان أن تعلم أن الله معك حيثما كنت
Iman yang paling utama adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana saja kamu berada. (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8796, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 1416, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 6/124. Imam Al Haitsami mengatakan: “Utsman bin Katsir meriwayatkannya secara menyendiri, dan saya tidak melihat ada yang men-tsiqahkannya, mau pun yang mencelanya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/60. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Dhaiful Jami’ No. 1002)
Selanjutnya:
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا: dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya
Apakah perbuatan buruk yang dimaksud? Dan apa pula perbuatan baik itu? Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan;
السيئة : وهي ترك بعض الواجبات ، أو ارتكاب بعض المحظورات .الحسنة : التوبه منها . أو الإتيان بحسنة أخرى .
Keburukan adalah meninggalkan sebagian kewajiban atau menjalankan sebagian perbuatan terlarang. Kebaikan adalah bertobat dari keburukan, atau melanjutkan dengan perbuatan baik lainnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 18)
Oleh karenanya, tidak dapat dikatakan keburukan jika ada yang tidak mengerjakan sunah atau melakukan perbuatan yang mubah. Di sisi lain, keburukan akan tetap ada kecuali pelakunya bertobat atau melakukan berbagai kebaikan untuk menghapuskan keburukan yang telah lalu.
Bertobat yang bagaimanakah yang dapat menghapuskan dosa? Saya akan kutip dari Imam An Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:
قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.
والثاني: أن يندم على فعلها.
والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.
“Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:
- Meninggalkan maksiat tersebut
- Membenci/menyesali perbuatan tersebut
- Berjanji tidak mengulanginya selamanya.
Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Riyadhush Shalihin, Hal. 33-34. Cet. 3. 1998M-1419H. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Kebaikan bagaimanakah yang dapat menghapuskan dosa? Yaitu berbagai macam kebaikan yang telah disebutkan oleh syariat dapat menghapuskannya, dengan pelaksanaan dan niat yang benar. Misalnya puasa ramadhan, shalat jumat, shalat lima waktu, istighfar, berbagai dzikir yang ma’tsur (yang nabi ajarkan), bersedekah,, dan memperbanyak shalat sunnah.[1] Semuanya disebutkan dalam hadits-hadits shahih sebagai penghapus dari kesalahan dan dosa kita.
Syaikh Ismail Al Anshari menambahkan:
تمحها : تمح عقابها من صحف الملائكة وأثرها السيء في القلب .
Menghapuskannya: yaitu menghapuskan hukumannya dari catatan malaikat dan menghapuskan pengaruh buruknya di dalam hati. (At Tuhfah, Ibid)
Selanjutnya:
وَخَالِقِ النَّاسَ : dan berakhlaklah dengan manusia
Yaitu bergaul, berinteraksi, dan bermuamalah dengan manusia mana pun, terlebih lagi umat Islam.
Syaikh Abul ‘Ala Muhamamd Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri mengatakan:
أي خالطهم وعاملهم
Yaitu membaurlah dengan mereka dan bergaul/berurusan dengan mereka. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/123. Cet. 3, 1963M-1383H. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)
Bergaul dan membaur dengan manusia, dan bertahan terhadap fitnah (kerusakan) yang ada pada mereka, adalah lebih utama dibanding ‘uzlah (memisahjkan diri).
Imam An Nawawi menjelaskan:
اعْلم أنَّ الاختلاط بالنَّاسِ عَلَى الوجهِ الَّذِي ذَكَرْتُهُ هُوَ المختارُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وسائر الأنبياء صلواتُ اللهِ وسلامه عَلَيْهِمْ ، وكذلك الخُلفاءُ الرَّاشدون ، ومن بعدَهُم مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، ومن بَعدَهُم من عُلَماءِ المُسلمين وأَخْيَارِهم ، وَهُوَ مَذْهَبُ أكثَرِ التَّابِعينَ وَمَنْ بَعدَهُمْ ، وبه قَالَ الشافعيُّ وأحمدُ وأكثَرُ الفقهاءِ رضي اللهُ عنهم أجمعين. قَالَ اللهُ تَعَالَى: { وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى } [ المائدة : 20 ] والآيات في معنى مَا ذكرته كثيرة معلومة .
Ketahuilah, bahwa membaur dengan manusia dengan cara seperti yang telah saya sebutkan, adalah sika pilihan yang di atasnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, juga semua para Nabi Shalawatullah wa salamuhu ‘Alaihim, demikian juga para khulafa’ur rasyidin, dan yang setelah mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari kelompok ulama Islam dan manusia-manusia terbaik mereka, dan inilah madzhab mayoritas tabi’in dan manusia setelah mereka. Inilah pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas fuqaha Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Allah Ta’ala berifirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al Maidah (5): 20). Dan ayat-ayat yang semakna sebagaimana yang telah saya sebutkan banyak jumlahnya dan terkenal. (Lihat Riyadhushshalihin Hal. 210. Cet. 3. 1998M – 1419H. Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)
Disamping itu, dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
و خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 1234, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 5787, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 43065. Syaikh Al Albani menyatakan: Hasan shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 426. Darul Ma’arif. Dihasankan pula dalam Shahih Kunuz As Sunnah An Nabawiyah, Bab Khiyarukum No. 4, disusun oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq)
Maka, bagaimana mungkin menjadi manusia bermanfaat jika tidak berinteraksi dengan manusia lainnya?
Selanjutnya:
بِخُلُقٍ حَسَنٍ : dengan akhlak yang baik
Yaitu dengan akhlak yang mulia, dan yang menjadi standarnya adalah Al Quran dan As Sunnah.
Catatan Kaki:
[1] Memperbanyak shalat sunah dapat menyempurnakan wajib yang dahulu pernah kita lakukan. Baik kita lakukan ada kesalahan, atau pernah meninggalkannya pada masa-masa belum mengerti agama. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
أنظروا هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه
(Allah berfirman): Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunnah? jika dia memiliki shalat sunnah, lalu Dia berfirman lagi: “sempurnakanlah bagi hambaKu itu shalat wajibnya dengan shalat sunahnya itu.” (HR. Abu Daud No. 864, Shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 2571)