Matan Hadits:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ)
Terjemah
Dari Umar Radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu menyandarkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam) dan meletakkan kedua tangannya di atas dua pahanya (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Ya Umar tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Kandungan Hadits
- Penjelasan tentang rukun Islam: Syahadatain, shalat, zakat, puasa, haji
- Penjelasan tentang rukun iman: Iman kepada Allah, Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, Iman kepada kitab-kitab-Nya, Iman kepada rasul-rasul-Nya, Iman kepada hari akhir, dan Iman kepada qadar
- Penjelasan tentang hakikat ihsan: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”
- Penjelasan tentang sebagian tanda-tanda kiamat: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “
Syahadatain
Syahadatain adalah intisari semua muatan ajaran Islam. Ia adalah ikrar yang membedakan Islam dan kafir. Juga merupakan syarat dasar bagi benarnya dan diterimanya amal ibadah seorang hamba. Sebaik apa pun orang kafir, walau dia bersedekah untuk masjid dan ikut berjihad membantu kaum muslimin, maka semuanya sia-sia baginya di akhirat, karena dia belum berikrar atas hak ketuhanan Allah Ta’ala dan kebenaran kenabian Muhammad Shalalllahu ‘Alaihi wa Sallam dan risalah yang dibawanya.
Bagi yang sudah mengucapkannya dengan sadar tanpa terpaksa, maka baginya terlindungi darah, kehormatan, dan hartanya. Maka, dia diperlakukan sebagai seorang muslim walapun melakukan dosa besar, selama tidak melakukan perbuatan syirik dan kekafiran yang jelas (kufrun bawwah).
Shalat
Shalat di adalah gerakan dan ucapan tertentu dan pada waktu yang ditetapkan pula, dari takbiratul ihram hingga salam. Yang diwajibkan adalah lima kali sehari, kecuali menurut Imam Abu Hanifah yang menambahkan wajibnya witir pula, namun tak satu pun ulama yang mendukung pendapatnya ini.
Bagi yang mengingkari kewajiban shalat fardhu maka dia kafir dan murtad, dan tak ada perbedaan pendapat dalam hal itu.
Ada pun meninggalkannya karena kemalasan dan kelalaian tapi masih mengakui kewajibannya, maka para ulama berbeda pendapat antara yang mengkafirkan seperti Imam Ahmad, pelakunya –jika tidak mau tobat- mesti dibunuh, tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin. Sementara yang lain masih mengakuinya sebagai Islam tapi sebagai pelaku dosa besar dan di dunia dinilai sebagai fasik, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah.
Namun, secara hukum meninggalkan shalat adalah tindakan pidana (kriminal) yang juga mesti dibunuh jika tidak mau bertobat, inilah padangan Malik dan Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah berpendapat dikucilkan hingga dia bertobat.
Zakat
Zakat adalah sedekah wajib yang dikeluarkan dari harta seorang muslim yang memiliki kelebihan hartanya dengan ukuran tertentu jika sudah mencapai nishabnya (batas minimal kepemilikan harta). Berfungsi untuk membersihkan harta dan membersihkan jiwa pelakunya, dan juga memiliki dimensi sosial.
Yang mengingkarinya juga dihukumi kafir dan tidak ada perselisihan dalam hal itu. Ada pun yang menolak mengeluarkan zakat, tapi mengakui kewajibannya, maka menurut jumhur (mayortas) ulama dia adalah pelaku dosa besar. Dan, Abu Bakar Ash Shiddiq telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, walau mereka masih shalat. Beliau Radhiallahu ‘Anhu mengatakan: “Saya benar-benar akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, demi Allah benar-benar akan saya perangi orang yang memisahkan keduanya sampai mereka kembali menyatukannya.”[1]
Puasa
Puasa adalah menahan diri (Al Imsak) dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari pada bulan Ramadhan, yakni bulan antara sya’ban dan syawal. Sebanyak 29 hari atau digenapkan hingga 30 hari.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berhari rayalah karena melihatnya, dan jika terhalang awan maka hitunglah sampai 30 hari.” (HR. An Nasa’i No. 2118 dan Ibnu Hibban No. 3442 dan 3443)[2]
Hukum Orang yang meninggalkan Puasa
Orang yang meninggalkan puasa karena mengingkari kewajibannya menurut Syaikh Sayyid Sabiq hukumnya adalah kafir dan murtad, “Umat telah ijma’ (konsensus) atas wajibnya puasa Ramadhan. Dia merupakan salah satu rukun Islam yang telah diketahui secara pasti dari agama, yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.” [3]
Sedangkan tentang hukum orang yang meninggalkan puasa karena lalai dan malas, tapi masih mengakui kewajibannya, para ulama berbeda pendapat. Ulama ada yang yang menyatakan kafir dan boleh dibunuh. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عُرَى الْإِسْلَامِ وَقَوَاعِدُ الدِّينِ ثَلَاثَةٌ عَلَيْهِنَّ أُسِّسَ الْإِسْلَامُ ، مَنْ تَرَكَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً ، فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ : شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَإِقَامُ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ
“Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala)
Namun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah mendhaifkan hadits di atas, lantaran kelemahan beberapa perawinya, yakni ‘Amru bin Malik An Nukri, di mana tidak ada yang menilainya tsiqah kecuali Ibnu Hibban, itu pun masih ditambah dengan perkataan: “Dia suka melakukan kesalahan dan keanehan.”
Telah masyhur bahwa Imam Ibnu Hibban termasuk ulama hadits yang terlalu mudah mentsiqahkan. seorang rawi, sampai-sampai orang yang majhul (tidak dikenal) pun ada yang dianggapnya tsiqah. Oleh karena itu, para ulama tidak mencukupkan diri dengan tautsiq yang dilakukan Imam Ibnu Hibban, mereka biasanya akan meneliti ulang.
Selain dia, rawi lainnya Ma’mal bin Ismail, adalah seorang yang shaduq (jujur) tetapi banyak kesalahan, sebagaimana dikatakan Imam Abu Hatim dan lainnya. Umumnya hadits darinya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah bernilai mauquf (sampai sahabat) saja. Lalu, secara zhahir pun hadits ini bertentangan dengan hadits muttafaq ‘alaih: “Islam dibangun atas lima perkara …dst.” Bukan tiga perkara.
Maka dari itu, Syaikh Al Albani tidak meyakini adanya seorang ulama mu’tabar yang mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa, kecuali jika dia menganggap halal perbuatan itu.[4]
Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan puasa karena lalai dan malas, tapi mengakui kewajibannya masih dianggap muslim, tapi dia adalah pelaku dosa besar dan termasuk perbuatan yang keji. Dengan kata lain, jika dia masih meyakini kewajibannya, tetapi dia meninggalkannya maka dia fasiq, jika Allah Ta’ala berkehendak maka di akhirat nanti Dia akan mengampuninya sesuai kasih sayangNya, dan jika berkehendak maka Dia akan mengazabnya sesuai dengan keadilanNya, sejauh kadar dosanya. Inilah pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu A’lam
Allah Ta’ala juga berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’, 4: 116)
Haji
Secara fiqih maknanya : “Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam.”[5]
Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, sedangkan yang kedua kali dan seterusnya adalah sunah. Di dalam hadits kedua yang sedang kita bahas ada kalaimat:
إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً : jika engkau mampu.
Kalimat ini menunjukkan bahwa istitha’ah (mampu) merupakan hal yang membuat seorang muslim wajib melaksanakan haji. Ketika dia belum ada kemampuan, baik finansial dan fisik, maka dia tidak wajib, serta tidak berdosa jika tidak melaksanakannya. Namun, dia dianjurkan untuk berupaya menjadi mampu secara normal.
Berhutang untuk Haji?
Tentang berhutang untuk haji, ada riwayat dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu ‘anhu,
” سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ لَمْ يَحُجَّ ، أَيَسْتَقْرِضُ لِلْحَجِّ ؟ قَالَ : لَا ”
“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?” Beliau bersabda: “Tidak.”[6]
Imam Asy Syafi’i berkata tentang hadits ini: “Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” [7]
Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena dia belum istitha’ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang, dia harus dalam kondisi bahwa dia bisa melunasi hutang atau tersebut pada masa selanjutnya.
Rukun Iman[8]
Iman kepada Allah
- Iman kepada Allah Ta’ala adalah keyakinan bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu, Dialah pemiliknya, pencipta, pemberi rizki, yang memberi kehidupan, yang mematikan.
- Dialah yang berhak diibadahi bukan selainNya, hanya dia satu-satunya yang disembah secara merendahkan diri dan tunduk dengan segala macam peribadatan.
- Dialah Allah yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna, agung, dan tinggi, serta suci dari segala kekurangan.
Iman kepada Malaikat-malaikat -Nya
- Iman kepada malaikat adalah keyakinan bahwa milik Allah-lah para malaikat yang diciptakan dari cahaya. Mereka –sebagaimana yang Allah sifatkan- adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan yang tidak pernah membangkang perintah yang Allah berikan, dan mereka melaksanakan apa-apa yang mereka telah diperintahkan. Mereka senantiasa bertasbih siang dan malam tanpa letih.
- Mereka menjalankan tugas-tugas yang Allah perintahkan kepada mereka sebagaimana telah mutawatir tentang hal itu dalam nash Al Quran dan As Sunnah. Maka, semua pergerakan pada langit dan bumi merupakan perbuatan mereka sebagai wujud dari menjalankan perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
- Wajib mengimani mereka, baik yang nama-nama mereka disebutkan secara rinci, atau mereka yang belum disebutkan namanya secara global.
Iman kepada Kitab-kitab-Nya
- Iman kepada kitab adalah membenarkan bahwa milik Allah-lah kitab-kitab yang Dia turunkan kepada para Nabi dan RasulNya, dia itu adalah ucapaNya secara hakiki, dia adalah cahaya dan petunjuk, dan apa-apa yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran, serta tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah.
- Wajib mengimaninya secara global, juga yang disebutkan namanya secara rinci, maka wajib mengimaninya, yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al Quran.
- Kewajiban mengimani Al Quran juga mengharuskan meyakini bahwa Al Quran adalah dari sisi Allah, dan Dia berbicara dengannya sebagaimana berbicara dengan kitab-kitab yang diturunkan.
- Wajib bagi semua manusia untuk mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, baik berupa perintahnya, atau menjauhi yang dilarangnya. Al Quran adalah pengawas (Muhaimin) bagi kitab-kitab sebelumnya, dan dia mendapatkan keistimewaan dari Allah bahwa dia terjaga dari penggantian dan perubahan. Dia adalah firmanNya bukan makhluk. Dari Dia dan kepadaNya kembali.
Iman kepada Rasul-rasul-Nya
- Iman kepada para Rasul adalah membenarkan bahwa Allah-lah yang mengutus para rasul unuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan, menetapkan hikmahNya Ta’ala bahwa mereka di utus sebagai pembawa kabar gembira (mubasyirin) dan peringatan (mundzirin).
- Wajib beriman kepada mereka secara keseluruhan, dan wajib beriman kepada mereka yang namanya telah Allah rinci; mereka adalah 25 orang yang telah Allah sebutkan dalam Al Quran.
- Wajib beriman pula bahwa milik Allah-lah para Nabi dan Rasul selain mereka, dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka kecuali Dia Jalla wa ‘Ala, sebagaimana wajib beriman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling utama dan penutup para nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah untuk semua, dan tidak ada nabi lagi setelahnya.
Iman kepada Hari Akhir
- Iman kepada hari kebangkitan setelah kematian adalah meyakini secara pasti bahwa ada kehidupan kampung akhirat yang saat itu Allah Ta’ala membalas kebaikan orang yang berbuat baik, keburukan orang yang berbuat buruk, dan Dia mengampuni siapa saja yang dikehendakiNya, kecuali dosa syirik.
- Hari kebangkitan (Al Ba’ts) secara syara’ bermakna: kembalinya badan dan masuknya ruh ke dalamnya, mereka keluar dari kuburnya, seakan mereka adalah belalang yang berhamburan menyambut dengan cepat yang memanggilnya.
Iman kepada Taqdir
- Iman kepada qadar baik dan qadar buruk adalah membenarkan secara pasti bahwa semua kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketetapan (qadha) Allah dan qadar (keputusan)Nya.
- Allah Ta’ala Maha mengetahui semua taqdir segala sesuatu dan waktu-waktunya yang azali sejak sebelum diwujudkannya, kemudian Dia menjadikannya dengan qudrahNya, serta kehendak yang sesuai dengan apa yang diketahuiNya, bahwa Dia telah menuliskannya dalam Lauh Mahfuzh sebelum terjadinya.
Ihsan
قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Lalu beliau bersabda: Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan: “Esensinya adalah kembali pada keitqanan (kualitas) peribadatan dan menjaga hak-hak Allah, mendekatkan diri kepadaNya dan menghadirkan keagunganNya dan kebesaranNya dalam keadaan berbagai ibadah.”[9]
Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan tentang makna Al Ihsan: “Menjadikan yang tersembunyi (di hati) lebih baik dari yang ditampakkannya.” [10]
As-Sa’ah (Kiamat)
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ : Kemudian dia berkata: Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)
قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ : Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.
Maknanya adalah bahwa baik yang ditanya (yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan yang bertanya (yakni laki-laki yang pada hakikatnya adalah malaikat Jibril), keduanya sama sama tidak mengetahui kapan pastinya terjadi kiamat. Pengetahuan mereka sama-sama terbatas.
Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam Al Quran:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (QS. Al A’raf, 7: 187)
Ayat lainnya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا (42) فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا (43) إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا (44)
- (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? 43. siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? 44. kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. An Naziat, 79: 42-44)
Tanda-tanda As-Sa’ah (Kiamat)
قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها : Dia berkata: Beritahukan aku tentang tanda-tandanya
Bagian ini menunjukkan bahwa walaupun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui secara pasti datangnya kiamat, namun Allah Ta’ala memberikannya keutamaan dengan mengetahui tanda-tanda datangnya kiamat. Dan, ini merupakan kekhususan bagi Beliau saja, tidak pada umatnya. Oleh karena itu banyak di antara ulama Islam yang mengumpulkan hadits-hadits dan juga penjelasannya tentang tanda-tanda dan peristiwa-peristiwa yang mendahului datangnya kiamat.
Imam Bukhari dalam Shahihnya menulisnya dalam Kitab Al Fitan (Berbagai Huru Hara), Imam Muslim dalam Shahihnya menulisnya dalam Kitabul Fitan wa Asyrath As Saa’ah (Berbagai Huru Hara dan Tanda-Tanda Kiamat), dan kitab hadits dari imam lainnya. Begitu pula hadits-hadits tanda-tanda kiamat beserta pejelasannya seperti yang ditulis oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah pada sub bab Al Fitan wal Malahim, juga Syaikh Yusuf Abdullah Yusuf Al Wabil dengan kitabnya Asyratus Saa’ah. Kedua buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، : beliau bersabda: Jika seorang hamba melahirkan tuannya
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud ungkapan ini. Di antara mereka ada yang memaknai bahwa saat itu kaum muslimin berhasil menguasai negeri-negeri kafir, mengalahkan kaum musyrikin, dan banyak futuhat (penaklukan) yang mereka raih. Seakan, posisi mereka yang tadinya anak dari budak wanita (Al Amah), justru anak itu menjadi tuan bagi budak tersebut.
Sedangkan yang lainnya memahami bahwa saat itu kondisi manusia sudah sangat rusak sampai wanita (budak) dijual anak-anaknya sendiri sehingga keberadaan mereka ditangan pembelinya membuat ragu-ragu para pembelinya. Demikianlah tanda kiamat yang menunjukkan kebodohan mereka atas keharaman menjual ibu mereka sendiri. Ada juga yang mengatakan itu menunjukkan banyaknya kedurhakaan anak kepada orang ibunya, mereka memperlalukan ibu mereka seperti tuan terhadap budaknya, merendahkan dan memakinya.[11]
وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاة العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ : dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, fakir dan penggembala domba
Kalimat ini menggambarkan seseorang yang fakir, disebutkannya penggembala domba menunjukkan posisi mereka yang paling lemah di antara penduduk gurun pasir, berbeda dengan pemilik Unta yang biasanya bukan orang-orang fakir.[12]
يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ: (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan: “Pada hadits ini dimakruhkan ajakan terhadap hal-hal yang tidak dibutuhkan, berupa memanjangkan bangunan dan meninggikannya. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda;
يُؤْجَرُ ابْنُ آدَمَ فيِ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مَا وَضَعَهُ فيِ هذَا التُّرَابِ
“Akan diberikan pahala bagi anak Adam dalam segala hal kecuali apa-apa yang diletakannya (dibangunkannya) pada tanah ini.”[13]
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dengan lafaz:
يُؤْجَرُ الرَّجُلُ فِي نَفَقَتِهِ كُلِّهَا إِلَّا التُّرَابَ أَوْ قَالَ فِي الْبِنَاءِ
“Seseorang akan diberika pahala pada semua nafkahnya kecuali tanah.” Atau dia berkata: “pada bangunan.”
Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At tirmidzi No. 2483)
Beberapa Catatan Faidah Hadits
- Membaur di masyarakat adalah kebiasaan para Nabi dan Rasul. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan bahwa dia dan para sahabat duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Adab menemui orang terhormat atau ahli ilmu. Yakni dengan menggunakan pakaian yang sopan, rapi, dan bersih, serta penampilan yang baik. Serta gaya duduk yang pantas dilakukan di depan mereka.
- Dalam berbagai riwayat hadits ini, laki-laki itu datang tidak mengucapkan Salam. Hal ini menunjukkan bahwa –secara fiqih- mengawali ucapan salam ketika berjumpa adalah tidak wajib, tetapi sunah. Namun, menjawab salam adalah wajib.
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa Malaikat bisa menjumpai manusia dalam wujud manusia pula.
- Dibolehkan mengambil pelajaran dari ‘sandiwara’. Apa yang dilakukan oleh Jibril yang menjelma menjadi laki-laki, secara zahir menunjukkan dia menanyakan hal-hal penting kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seakan dia tidak tahu. Namun, sebenarnya dia tahu
- Ajakan agar kita bersungguh-sungguh dalam beribadah, yakni dengan merasakan kehadiran Allah dan pengawasanNya. Tentunya, juga berlaku untuk pekerjaan duniawi.
- Keterbatasan pengetahuan makhluk Allah Ta’ala atas terjadinya kiamat dan hal-hal ghaib.
- Berlomba-lomba meninggikan bangunan yang tidak dibutuhkannya adalah keburukan.
- Ini menunjukkan manfaat berkumpul bersama orang-orang shalih dan ahli ilmu.
Catatan Kaki:
[1] Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 6/14. Darul Fikr
[2] dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 2118
[3] Fiqhus Sunnah, 1/433. Darul Kitab Al ‘Arabi
[4] Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 94
[5] Fiqhus Sunnah, 1/625
[6] HR. Asy Syafi’i, Min Kitabil Manasik, No. 460. Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Syamilah
[7] Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Asy Syamilah
[8] Dikutip dari Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 12-15. Cet. 2. Rabiul Awal 1411H. Muasasah Al Juraisi
[9] Syarh Al Arbain An Nawawiyah, hal. 31
[10] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/595
[11] Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 31
[12] Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah Hal. 32
[13] Ibid.