Matan Hadits:
عَن أَبيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ،أَبيْ عمْرَةَ سُفْيَانَ بنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ”
Dari Abu Amr -dan dikatakan pula- Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Islam perkataan yang aku tidak akan memintanya kepada seorang pun selain engkau?” Beliau bersabda: “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah,” lalu istiqamahlah!”
Takhrij Hadits:
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 38
- Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra 11489
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No.
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4916, 4917, 4921, 4923
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 15454, 15455, 19450
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 16
- Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 679
- Imam Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 1231
- Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 20111
Makna Hadits Secara Global
Dalam dialog singkat ini ada beberapa pelajaran bagi kita. Di antaranya:
- Untuk kesekian kali, hadits ini membuktikan hidupnya budaya munashahah (saling menasehati) pada masa nabi dan para sahabat, sehingga tidak sungkan bagi mereka satu sama lain untuk meminta nasihat dari orang lain.
- Secara khusus, ini menunjukkan hubungan yang dekat antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan para sahabatnya begitu luar biasa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai seorang nabi bagi umatnya dan sebagai seorang pemimpin (qiyadah) bagi rakyatnya, tidak menjadi halangan bagi manusia saat itu untuk meminta langsung nasihat darinya.
Ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua, khususnya bagi para pemimpin negara, pejabat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Kekokohan sebuah komunitas muslim (jamaah muslimah) tidak akan terwujud tanpa adanya kedekatan dan rasa cinta di antara pemimpin dan umatnya.
Banyak ayat-ayat yang menunjukkan hubungan dekat dan kasih sayang antara Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan para sahabatnya Radhiallahu ‘Anhum. Di antaranya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya (para sahabat), mereka tegas terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka … (QS. Al Fath (48): 29)
Ayat lain:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At Taubah (9): 128)
Ayat lain:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka .. (QS. Ali Imran (3): 159)
- Nasihat tidak harus panjang lebar, yang penting muatan dan maknanya bisa dipahami. Hal ini sering dilakukan oleh nabi diberbagai kesempatan nasihat kepada sahabatnya; singkat, lugas, dan jelas. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut jawami’ kalim, yakni orang yang memiliki perkataan singkat namun memiliki makna yang luas.
Contohnya banyak: seperti laa taghdhab wa lakal jannah (jangan marah, untukmu surga), man laa yarham laa yurham (barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi), al mar’u ma’a man ahabb (seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya di surga) … atau yang diabadikan dalam Al Quran seperti nasihat Beliau untuk Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu: laa tahzan innallah ma’ana (jangan sedih, Allah bersama kita), dan masih banyak lainnya.
Anda lihat! Kalimat-kalimat ini begitu ringkas, namun begitu dalam maknanya. Banyak para pensyarah yang membutuhkan banyak halaman untuk menjelaskan makna dan menyingkap rahasia dibalik nasihat-nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut. Sayangnya banyak umat Islam lebih suka menggunakan nasihat-nasihat dari orang barat yang notabene kafir, lalu menjadikannya sebagai kata-kata mutiara, kata-kata bijak, baik di koran, tabloid, majalah, dan televisi.
- Hadits ini menegaskan bahwa “keimanan kepada Allah” merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam Islam. Banyak sudah riwayat yang menjadikan iman kepada Allah Ta’ala sebagai pangkal nasihat nabi kepada para sahabatnya. Kadang digandengkan dengan iman kepada hari akhir, seperti: man kaana yu’minu billahi wal yaumil aakhir … (barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir), dan ini sudah dijelaskan dalam Syarah Arbain hadits ke 15. Kadang digandengkan pula dengan iman kepada rasul, seperti:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan RasulNya.” Ditanya lagi: “lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad fisabilillah.” Ditanya lagi: “lalu apa?” Beliau menjawab: “Haji Mabrur.” (HR. Bukhari No. 26, 1447. Muslim No. 83)
- Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan manusia dapat mengalami fluktuasi (naik dan turun). Sehingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menasehati dengan perintah: tsummastaqim – lalu istiqamahlah! Naik turunnya iman tentunya berpengaruh pada kualitas dan kuantitas amal shalih manusia.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّة وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
Sesungguhnya setiap amal ada masa-masa rajin , dan setiap masa rajin itu ada masa-masa malasnya, maka siapa saja yang masa-masa malasnya tetap di atas sunahku maka dia akan beruntung, dan barangsiapa yang masa malasnya tidak seperti itu maka dia akan binasa. (HR. Ahmad No. 6764, Al Bazzar No. 2354, Ibnu Hibban No. 11, Ibnu Khuzaimah No. 2105, dengan lafaz: “ barang siapa yang masa malasnya di atas sunahku maka dia tetap di atas petunjuk.” Semua dari jalan Abdullah bin Amr. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 2152. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 6764 )
Dengan demikian, tidak seharusnya seorang muslim memandang buruk saudaranya ketika sedang dalam keadaan tidak bergairah beribadah dan beramal shalih. Justru saudara yang baik akan memberikan perhatian dan penjagaan kepada saudaranya, agar dia tidak sama sekali meninggalkan semua nilai kebaikan. Persepsi yang baik kepada saudara seiman akan melahirkan jalinan yang baik pada kenyataannya.
- Perintah untuk istiqamah dalam iman dan amal, istiqamah di atas kebenaran, mendakwahkan kebenaran, dan bersama orang-orang benar, serta istiqamah (kokoh dan konsisten) untuk tidak mengikuti jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan menentang Allah ‘Azza wa Jalla, juga disebutkan dalam Al Quran. Ini menunjukkan betapa pentingnya istiqamah untuk keselamatan manusia di dunia dan akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud: 112)
Ayat lainnya:
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan istiqamahlah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka (QS. Asy Syuura: 15)
Disebutkan dalam Tafsir Al Muyassar:
فادع -أيها الرسول- عباد الله، واستقم كما أمرك الله، ولا تتبع أهواء الذين شكُّوا في الحق وانحرفوا عن الدين
Maka serulah –wahai Rasul- hamba-hamba Allah itu, dan tetaplah istiqamah sebagaimana Allah perintahkan kamu, dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, orang-orang yang ragu terhadap kebenaran dan menyimpang dari agama. (Tafsir Al Muyassar, 8/436)
- Hadits ini juga menunjukkan kebolehan mengaku beriman kepada Allah Ta’ala dengan ucapan: “Saya beriman kepada Allah,” sebagaimana bolehnya berkata: “Saya seorang muslim.” Namun mengucapkan yang kedua (muslim) lebih ringan dibanding yang pertama (mu’min).
Ini bukan kesombongan dan bukan pula riya, dan seharusnya memang orang yang mengucapkan harus lepas dari dua sikap tersebut. Ada pun yang mendengarkannya, mesti menilainya secara zahir dan tidak membebani diri menerka-nerka tentang hati orang tersebut. Maka, tidak masalah ketika seseorang ditanya: apa kabarmu?, lalu dia menjawab: “Saya dalam keadaan mu’min kepada Allah.” Tentunya yang terpenting adalah pembuktian keimanan yang telah diucapkannya tersebut, bukan sekedar kata.
Hal yang serupa dengan ini sebenarnya juga terdapat dalam Al Quran, seperti:
وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ
Katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah ..” (QS. Asy Syuura: 15)
Ayat lainnya tentang pengakuan sebagai seorang muslim:
فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku Termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (muslim). (QS. Yunus: 72)
Ayat lainnya:
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim). (QS. An Naml : 91)
Ayat lainnya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri (muslim)?” (QS. Al Fushilat : 33)
Dan masih banyak ayat lainnya.
Makna Kata dan Kalimat
عَن أَبيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ،أَبيْ عمْرَةَ سُفْيَانَ بنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: Dari Abu Amr -dan dikatakan pula- Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
“ Sufyan bin Abdullah adalah seorang shahabiy (sahabat nabi), dia merupakan pegawai Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Dia adalah Abu ‘Amru, ada juga yang menyebut Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdullah bin bin Abu Rabi’ah bin Al Harits bin Malik bin Huthith bin Jasym bin Tsaqif Ats Tsaqafi Ath Thaifi Ash Shahabi. Dia menjadi pegawai Umar ketika Umar ke Thaif. Beliau menggunakan jasanya ketika Utsman bin Abu Al Ash dicopot dan dipindahkan ke Bahrain. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari nabi, ada pun yang mengambil hadits darinya adalah anaknya Abdullah, Urwah, Jubeir bin Nufair, Nafi’ bin Jubier, dan lainnya.” (Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat, No. 215. Lihat juga Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti’ab, 1/190. Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, Hal. 457)
Imam Bukhari menyebutkan bahwa beliau memiliki tiga anak: ‘Amru, Ashim, dan Abdullah. (Tarikh Al Kabir, 4/86. No. 2057)
Dia adalah penduduk Thaif dan termasuk suku Bani Tsaqif.
Disebutkan dalam Faidhul Qadir:
قال النووي : لم يرو مسلم لسفيان غير هذا الحديث وقال المناوي : ولم أر لسفيان هذا غير هذا الحديث في مسلم ولا في الأربعة
Berkata An Nawawi: “Muslim tidak pernah meriwayatkan dari Sufyan selain hadits ini.” Berkata Al Munawi: “Saya tidak pernah melihat Sufyan ini, selain pada hadits ini pada Shahih Muslim, dan tidak pula pada riwayat Arba’ah (empat).” (Faifhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 4/685)
قُلْتُ : aku berkata
Yakni Sufyan bin Abdullah berkata, meminta, dan bertanya.
يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ : Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Islam
Yaitu wahai nabi, ajarkanlah aku tentang agamaku, syariatnya, dan aturannya.
Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari:
قل لي في الإسلام : في دينه وشريعته .
“Ajarkan kepadaku tentang Islam: tentang agamanya dan syariatnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 21, Lihat juga Imam Ibnu ‘Alan, Dalilul Falihin, 1/350)
Ini menunjukkan perhatian yang begitu serius terhadap urusan agama. Bukan hanya Sufyan bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, banyak pertanyaan yang diajukan para sahabat nabi kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah berkenaan dengan perkara agama, baik aqidah, akhlak, fiqih, dan lainnya.
Semoga Allah merahmati Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah ketika beliau mengatakan:
أصحابُ رسول الله أشدُّ الناس حرصاً على معرفة الدِّين، وهم أسبقُ إلى كلِّ خير، وهذا السؤال من سفيان بن عبد الله واضحٌ في ذلك؛ إذ سأل النَّبيَّ هذا السؤال العظيم، الذي يريد جوابه جامعاً واضحاً لا يحتاج فيه إلى أحد بعد رسول الله
Para sahabat Rasulullah adalah manusia yang paling kuat hasratnya untuk memahami agama, dan mereka yang paling terdahulu kepada setiap kebaikan, dan pertanyaan Sufyan bin Abdullah ini jelas menunjukkan hal itu; ketika beliau menanyakan nabi pertanyaan ini, di mana yang diingankannya adalah jawaban mencakup dan jelas, tidak butuh penjelasan lagi dari siapa pun setelah Rasulullah. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 66)
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan:
قال: (قل لي في الإسلام) لا في الدنيا ومتاعها وزخرفها، ولا في السلطة وعزتها، ولا في منصب وجاهه، لا، بل في الإسلام، كان الإسلام ممتزجاً بدمائهم، وأصبح يسري في عروقهم، وأصبح هو ديدنهم ومقصدهم، وهذا مما ينبئ عن قوة إخلاصه، وحسن مقصده، وشدة تيقظه لما يسأل عنه، فالإسلام به عزة الخلق، وفيه سعادة الدنيا والآخرة.
Dia berkata (katakanlah kepadaku tentang Islam), bukan tentang dunia, kenikmatan dan perhiasannya, bukan pula tentang kekuasaan dan kemuliaannya, bukan tentang kedudukan dan kehormatan, bukan itu, tetapi tentang Islam, karena Islam telah menyatu dalam darah mereka, telah mengalir dalam keringat mereka, telah menjadi adat dan tujuan mereka, dan hal ini yang menunjukkan kuatnya keikhlasannya, bagus maksudnya, dan kuat kesadarannya, ketika dia menanyakan hal ini kepada nabi. Maka, dengan Islamlah akhlak menjadi mulia, dan di dalamnya terdapat kebahagiaan dunia dan akhirat. (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 21)
Selanjutnya:
قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ : perkataan yang aku tidak akan memintanya kepada seorang pun selain engkau?
Yakni perkataan yang dalam maknanya, dan aku bisa mengamalkannya, dan aku tidak membutuhkan penjelasan tentang itu selain penjelasan darimu.
Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan:
قولا : جامعا لمعاني الدين ، واضحا في نفسه ، اكتفى به واعمل عليه .
Perkataan: yang mencakup makna-makna agama, yang jelas, dan saya merasa cukup dengannya dan saya beramal dengannya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 21)
Imam Ibnu ‘Alan Rahimahullah mengatakan:
(قولاً) جامعاً لمعاني الدين واضحاً في نفسه بحيث لا يحتاج إلى تفسير غيرك أعمل عليه وأكتفي به
(perkataan) yang mencakup makna-makna agama yang jelas, yang dengannya tidak butuh kepada tafsir lain selainmu, dan saya bisa mengamalkannya dan saya merasa cukup dengannya. (Dalilul Falihin, 1/350)
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim membuat penjelasan dalam bentuk pertanyaan seperti ini:
ومن بعد رسول الله يسأل؟ ومن بعد رسول الله يستطيع أن يجيب؟ ومن بعد رسول الله يملك أن يزيد على جواب رسول الله؟ لا أحد.
Dan siapakah setelah Rasulullah yang ditanya? Dan siapakah setelah Rasulullah yang mampu menjawabnya? Dan siapa setelah Rasulullah yang memiliki kekuasaan menambahkan jawaban Rasulullah? Tidak seorang pun! (Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 21)
Beliau melanjutkan:
علم أنه لا يوجد غير رسول الله أعلم بدين الله، فهو يطلب الإيضاح، ويطلب التفصيل، ويطلب البيان، بلا إشكال ولا لبس ولا غموض ولا خفاء، ومن بعد رسول الله أوتي جوامع الكلم؟ فهو أفصح العرب صلى الله عليه وسلم.
Dia tahu bahwa tidak ada selain Rasulullah yang lebih tahu tentang agama Allah, maka dia meminta penjelasan, perincian, penerangan, dengan tanpa kemusykilan, kesamaran, ketidakjelasan, dan tersembunyi, dan siapakah manusia setalah Rasulullah yang diberikan Jawami’ kalim? Dan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang Arab yang paling fasih. (Ibid)
Ini menunjukkan pula bahwa petunjuk dan nasihat nabi adalah cukup baginya, dan cukup bagi kita semua, kaum muslimin. Sebab petunjuk Rasulullah itu jelas, terang, lengkap, dan sempurna, berbeda dengan selain dirinya. Sufyan bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu dan para sahabat lainnya memberikan kepercayaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat tinggi, sehingga mereka tidak membutuhkan dari yang lain. Maka, masihkah seorang muslim yang mengakui kenabian dan kerasulannya membutuhkan kepada tuntunan berbagai isme (paham) kufur yang membinasakan agama dan dunianya? Padahal Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah meninggalkan tuntunan yang terang benderang, yang terang malamnya sama dengan siangnya …?!
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قد تركتكم على البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها بعدي الا هالك
Aku tinggalkan untuk kalian atas terang malamnya bagaikan siangnya, tak ada yang menyimpang darinya setelah aku, melainkan dia binasa. (HR. Ahmad No. 17182, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “hadits shahih dengan berbagai jalur dan penguatnya, dan sanad ini hasan.” )
Inilah salah satu rahasia kenapa kaum muslimin kalah, yaitu ketika mereka menyimpang dari jalan nabinya. Beribadah tidak sesuai sunnah, aqidah penuh kesyirikan, khurafat dan tahayul, berpolitik a la Nicolo Machiaveli, ekonomi mengekor Yahudi, akad nikah cara Islam pestanya cara Barat, nama Islam akhlak Abu Jahal, ukhuwah kering dan basa-basi, dan sebagainya.
قَالَ : Beliau bersabda
قُلْ آمَنْتُ باللهِ : katakanlah: Aku beriman kepada Allah
Yakni ucapkanlah, ikrarkanlah, dan persaksikan kepada manusia dengan lisanmu dan juga hatimu: aku membenarkan, meyakini, dan hatiku merasa tentram, aman, dan ridha kepada Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Rabb dan Ilah bagiku, karena Dia pemilik semua kemuliaan, kebaikan dan ketinggian, dan semua nama dan sifatNya suci dari aib dan cela walau pun sedikit. Tak ada apa pun dan siapa pun juga yang seumpama denganNya.
Imam Ibnu ‘Alan Ash Shidqi Asy Syafi’i Rahimahullah menjelaskan:
أي: جدد إيمانك متذكراً بقلبك ذاكراً بلسانك مستحضراً تفاصيل معاني الإيمان الشرعي التي مرت في حديث جبريل
Yaitu perbaharui imanmu dengan mengingat di hatimu, menyebut pada lisanmu, dan menghadirkan makna-makna iman yang syar’i yang rinciannya telah dijelaskan dalam hadits Jibril. (Dalilul Falihin, 1/350). (Hadits jibril yaitu hadits tentang Islam, Iman, dan ihsan. Lihat hadits no. 2 dalam Al Arba’un An Nawawiyah)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan lebih rinci lagi:
فقوله قل آمنت ليس المراد بذلك مجرد القول باللسان فإن من الناس من يقول آمنت بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين ولكن المراد بذلك قول القلب واللسان أيضا أي: أن يقوله بلسانه بعد أن يقر ذلك في قلبه ويعتقده اعتقادا جازما لا شك فيه لأنه لا يكفي الإيمان بالقلب ولا الإيمان باللسان لابد من الإيمان بهما جميعا ولهذا كان النبي عليه الصلاة والسلام يقول وهو يدعو الناس إلى الإسلام يقول يا أيها الناس قولوا: لا إله إلا الله تفلحوا فقال: قولوا: أي بألسنتكم كما أنه لابد من القول بالقلب
Sabdanya “Katakanlah: aku beriman” bukanlah maknanya semata-mata dengan lisan, sebab di antara manusia ada yang mengatakan aku beriman kepada Allah dan hari akhir padahal mereka tidak beriman. Namun maksudnya adalah ucapan hati dan lisan sekaligus, yaitu mengucapkannya dengan lisan, setelah mengakuinya di hati, dan meyakininya dengan keyakinan yang pasti, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Sebab, tidak cukup beriman di hati tapi tidak beriman di lisan, mesti beriman pada kedua-duanya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ketika beliau sedang menyeru manusia kepada Islam: “Wahai manusia, katakanlah: Tiada Ilah kecuali Allah, niscaya kalian beruntung.” Maka sabdanya: “katakanlah,” yaitu dengan lisan kalian sebagaimana wajibnya mengucapkan pada hati. (Syarh Riyadh Ash Shalihin, Hal. 99. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Di sini, Syaikh Ibnul ‘Utsaimin hanya menyebutkan bahwa keimanan itu diucapkan dengan lisan dan dibenarkan di hati. Ini bukan berarti Beliau beraqidah murji’ah, yang meyakini iman hanya di lisan dan di hati, tanpa pengamalan. Ahlus Sunnah meyakini iman itu diucapkan di lisan, dibenarkan di hati, dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Jika kita melihat pada berbagai kitab Syaikh Ibnul ‘Utsaimin lainnya kita akan jumpai keterkaitan antara amal dengan keimanan.
Maka, tidak cukup berteriak tegakkan syariat, tapi tanpa amal nyata untuk menjalankan dan memperjuangkan syariat. Tidak cukup mengatakan: “ajaklah manusia ke jalan Allah” tapi hanya menjadi penonton tanpa membantu para da’i Islam. Tidak cukup mengatakan: “hancurkan kemungkaran” tapi diam saja terhadap kemungkaran. Tidak cukup menangisi keadaan dunia Islam dalam doa dan qunut nazilah, tapi setelah itu sedikit sekali kontribusi nyata untuk mereka, dan seterusnya.
Lalu Syaikh menambahkan:
وقوله آمنت بالله يشمل الإيمان بوجود الله عز وجل وبربويته وبأسمائه وصفاته وبأحكامه وبأخباره وكل ما يأتى من قبله عز وجل تؤمن به
Sabdanya “aku beriman kepada Allah” mencakup makna iman kepada wujud Allah ‘Azza wa Jalla, rububiyahNya, asma dan sifatNya, hukum-hukumNya, berita-berita dariNya, dan semua hal yang dahulu Dia Azza wa Jalla datangkan, kau mengimaninya. (Ibid)
Selanjutnya:
ثُمَّ استَقِمْ : lalu istiqamahlah
Yaitu setelah kamu mengimaniNya dengan benar, maka konsistenlah, tegar, jangan goyah, untuk tetap berada pada jalan keimanan dan ketaatan, jalannya orang-orang shalih dan ahlul khair, dan jangan bergeser darinya walau pun sedikit.
Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan:
آمنت بالله ثم استقم هذا من جوامع الكلم وهو مطابق لقوله تعالى إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا أي وحدوه وآمنوا به ثم استقاموا فلم يحيدوا عن توحيدهم والتزموا طاعته
“Aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah”, ini merupakan di antara jawami’ kalim (ucapan singkat bermakna luas) dan ini bersesuaian dengan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami adalah Allah” lalu mereka istiqamah, yaitu mereka mengesakanNya dan mengimaniNya, kemudian mereka konsisten dan tidak menentang keesaanNya dan mereka komitmen untuk mentaatiNya. (Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Muslim, 1/55)
Syaikh Ibnul Utsaimin memberikan penjelasan yang sangat bagus, katanya:
فإذا آمنت بذلك فاستقم على دين الله ولا تحد عنه لا يمينا ولا شمالا لا تقصر ولا تزد فاستقم على شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وذلك بالإخلاص لله عز وجل والمتابعة لرسوله استقم على الصلاة وعلى الزكاة والصيام والحج وعلى جميع الشرائع وقوله قل آمنت بالله ثم دليل على أن الاستقامة لا تكون إلا بعد الإيمان وأن من شرط الأعمال الصالحة أي: من شرط صحتها وقبولها أن تكون مبينة على الإيمان فلو أن الإنسان عمل بظاهره على ما ينبغي ولكن باطنه خراب وفي شك واضطراب أو في إنكار وتكذيب فإن ذلك لا ينفعه ولهذا اتفق العلماء رحمهم الله على أن من شروط صحة العبادة وقبولها أن يكون الإنسان مؤمنا بالله
Maka, jika kamu telah beriman dengan hal itu, maka istiqamahlah di atas agama Allah, jangan menentangnya baik ke kanan dan ke kiri, jangan mengurangi dan jangan pula menambahkan. Istiqamahlah di atas kalimat syahadat: Laa ilaha illallah wa anna muhammadar rasulullah, dengan cara Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla dan mengikuti RasulNya. Istiqamahlah terhadap shalat, zakat, puasa, haji, dan semua syariat. Sabdanya “katakanlah: aku beriman kepada Allah” merupakan petunjuk bahwa istiqamah tidak akan ada kecuali setelah iman. Sesungguhnya di antara syarat amal shalih, yaitu di antara syarat sah dan diterimanya amal, hendaknya amal itu dibangun di atas dasar keimanan. Seandainya manusia melakukan perbuatan dengan zahirnya, tetapi pada batinnya justru merubuhkannya, ada keraguan, guncang, atau ada pengingkaran, dan mendustakannya, maka itu tidak bermanfaat baginya. Oleh karena itu para ulama –Rahimahumullah– sepakat bahwa di antara syarat-syarat sah dan diterimanya ibadah adalah bahwa manusia itu harus beriman kepada Allah. (Ibid)
Kata Para Imam Tentang Istiqamah dan Orang-Orang Istiqamah
Imam Al Qusyairi Rahimahullah mengatakan:
الاستقامة درجة بها كمال الامور وتمامها وبوجودها حصول الخيرات ونظامها
Istiqamah adalah derajat yang dengannya segala hal menjadi sempurna, serta dengan keberadaan dan tatanannya, maka akan banyak menghasilkan kebaikan.
Imam Al Wasithi Rahimahullah mengatakan:
الخصلة التي بها كملت المحاسن وبفقدها قبحت المحاسن الاستقامة
Perangai yang dengannya membuat sempurnanya berbagai kebaikan dan dengan kehilangannya menjadi buruklah berbagai kebaikan, yakni istiqamah. (Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Muslim, 1/55)
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang istiqamah dan menjanjikan mereka dengan surga, sebagaimana firmanNya:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Al Fushilat: 30)
Juga ayat lainnya:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (13) أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (14)
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al Ahqaf: 13-14)
Siapakah orang-orang istiqamah yang dimaksud dalam ayat-ayat ini? Berkata Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah di dalam tafsirnya:
فيه خمسة أوجه :
أحدها : ثم استقاموا على أن الله ربهم ، قاله أَبو بكر الصديق رضي الله عنه .
الثاني : ثم استقاموا على شهادة أن لا إله إلا الله ، قاله ابن عباس .
الثالث : على أداء فرائض الله ، رواه ابن أبي طلحة عن ابن عباس .
الرابع : على أن أخلصوا له الدين والعمل ، قاله أبو العالية .
الخامس : ثم استقاموا عليه فلم يرجعوا عنه إلى موتهم ، رواه أنس مرفوعاً
Ada lima macam:
Pertama, kemudian mereka istiqamah bahwasanya Allah adalah Rabb mereka, ini pendapat Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu.
Kedua, kemudian mereka istiqamah di atas kesaksian Tiada Ilah kecuali Allah, ini pendapat Ibnu Abbas.
Ketiga, mereka istiqamah dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah, diriwayatkan dari Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas.
Keempat, mereka istiqamah dalam mengikhlaskan beragama dan beramal untukNya, ini pendapat Abul ‘Aliyah.
Kelima, kemudian mereka istiqamah dan mereka tidak kembali darinya sampai mereka wafat, diriwayatkan oleh Anas secara marfu’. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 4/116)
Dalam kitab lain, disebutkan dari Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu:
استقاموا على طريقة الله بطاعته ، ثمّ لم يروغوا
Mereka konsisten di atas jalan Allah dengan mentaatiNya, kemudian mereka tidak menyimpang.
Dari Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu:
يعني أخلصوا العمل لله
Yakni dengan memurnikan amal untuk Allah.
Dari Al Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
استقاموا على أمر الله تعالى ، فعملوا بطاعته ، واجتنبوا معصيته
Mereka istiqamah di atas perintah Allah Ta’ala, lalu mereka melaksanakan dengan ketaatan padaNya, dan menjauhi maksiat kepadaNya. (Imam Abu ishaq Ats Tsa’labi An Naisaburi, Al Kasyf wal Bayan, 8/294)
Selesai. Wallahu A’lam
* * * *