Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبِي ذَرٍّ : dari Abu Dzar
Yaitu Abu Dzar Jundub bin Junadah. Tentang Beliau sudah dijelaskan selintas biografinya adalam syarah hadits ke-18. Silahkan merujuk!
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
فِيمَا رَوَى عَنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ : tentang apa yang diriwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala bahwa Dia berfirman
Hadits ini adalah hadits qudsi dan sudah dijelaskan pada bagian terdahulu.
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي : Wahai hambaKu … Aku haramkan aniaya atas diri-Ku
Yaitu Allah Ta’ala tidak akan pernah berbuat zalim (aniaya) kepada hamba-hambaNya, dan Dia mengharamkan diriNya untuk berbuat demikian. Kalau pun ada azab atas hamba-hambaNya itu karena kezaliman mereka sendiri. yang dampak kezaliman itu sama sekali tidak memudharatkan Allah Ta’ala, tetapi kembali kepada pelakunya sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. At Taubah: 70)
Dalam Tafsir Al Muyassar disebutkan:
فما كان الله ليظلمهم، ولكن كانوا هم الظالمين لأنفسهم بالتكذيب والمخالفة.
Maka, Allah tidaklah menzalimi mereka, tetapi merekalah yang zalim terhadap diri mereka sendiri dengan mendustakan dan menyelisihi (ajaran Allah Ta’ala). (Tafsir Al Muyassar, 3/312)
Jika ada yang bertanya: kalau memang Allah Ta’ala tidak menganiaya hamba-hambaNya, dan Dia Maha Pengasih dan Penyayang, buat apa Allah Ta’ala menciptakan azab dan siksa neraka?
Jawabnya adalah karena Allah Ta’ala Maha Adil, karena keadilanNya Dia menciptakan neraka untuk kaum yang durhaka. Jika manusia taat dan durhaka, mu’min dan kafir, pembunuh dan korbannya, pemerkosa dan korbannya, disatukan dalam tempat yang sama, mendapatkan semua nikmat yang sama di surga, maka justru akan dipertanyakan keadilan Allah Ta’ala. Bahkan jika Allah Ta’ala hanya menciptakan surga, untuk semua hambaNya baik yang mu’min dan kafir, justru itu menjadi zalim dan Maha Suci Allah dari sifat tersebut. Sebab, seakan Dia telah meletakkan orang kafir bukan pada tempatnya. Sebab makna zalim adalah:
وأصله وضعُ الشيء في غير موضعه
Dasarnya adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. (Ash Shihah fil Lughah, 1/438)
Namun dalam perkembangannya makna zalim juga berarti kegelapan, seperti ayat:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (QS. Al Baqarah: 257)
Juga bermakna aniaya atau jahat:
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. An Nisa: 148)
Larangan saling berbuat zalim
Selanjutnya:
وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا : Dan kujadikan ia larangan bagimu, maka janganlah saling menganiaya.
Yaitu Allah Ta’ala mengharamkan juga kepada manusia untuk berbuat zalim kepada dirinya dan orang lain, bahkan dilarang berbuat zalim kepada semua makhluk Allah Ta’ala.
Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
Muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh). (HR. Bukhari No. 2442, 6951, Muslim No. 2580)
Perbuatan zalim akan berakibat buruk kepada pelakunya sendiri pada hari kiamat. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Takutlah terhadap kezaliman, sesungguhnya kezaliman akan membawa kegelapan pada hari kiamat nanti. (HR. Muslim No. 2578)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menolong orang yang dizalimi dan pelaku kezaliman. Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَلْيَنْصُرْ الرَّجُلُ أَخَاهُ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا إِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَإِنَّهُ لَهُ نَصْرٌ وَإِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ
Hendaknya seseorang menolong saudaranya yang zalim atau yang dizalimi. Jika dia pelaku kezaliman maka hendaknya mencegahnya, maka itu adalah pertolongan baginya. Jika dia yang dizalimi, maka tolonglah dia. (HR. Muslim No. 2584)
Macam-Macam Kezaliman
Tersebut dalam riwayat Imam Ath Thayalisi berikut:
حدثنا أبو داود قال حدثنا الربيع عن يزيد عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الظُّلْمُ ثَلاَثَةٌ : فَظُلْمٌ لاَ يَتْرُكُهُ اللَّهُ ، وَظُلْمٌ يُغْفَرُ ، وَظُلْمٌ لاَ يُغْفَرُ ، فَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لاَ يُغْفَرُ فَالشِّرْكُ لاَ يَغْفِرُهُ اللَّهُ ، وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي يُغْفَرُ فَظُلْمُ الْعَبْدِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ ، وَأَمَّا الَّذِي لاَ يُتْرَكُ فَقَصُّ اللهِ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ
Berkata kepada kami Abu Daud, berkata kepada kami Ar Rabi’, dari Yazid, dari Anas, katanya bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Kezaliman ada tiga; 1. Kezaliman yang tidak akan Allah biarkan. 2. Kezaliman yang akan diampuni. 3. Kezaliman yang tidak akan diampuni. Ada pun kezaliman yang tidak akan diampuni adalah kesyirikan, Allah tidak akan mengampuninya. Lalu kezaliman yang diampuni adalah kezaliman seorang hamba jika dia berbuat kesalahan antara dirinya dengan Rabbnya (baca: maksiat). Sedangkan kezaliman yang tidak akan Allah biarkan adalah kezaliman sesama manusia (maksudnya Allah Ta’ala akan memberikan balasan setimpal bagi pelakunya, pen). (HR. Ath Thayalisi No. 2109, 2223, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf No. 20276, dari Qatadah atau Al Hasan, Al Bazzar No. 2493. Hadits ini hasan. Lihat Shahih Kunuz As Sunnah An Nabawiyah, 1/101. Lihat juga Shahihul Jami’ No. 3961)
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari sifat zalim dan korban kezaliman. Amiin
Hidayah itu dari Allah Ta’ala
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ : Wahai hambaKu… Setiap kalian itu tersesat
Yaitu semua kita, semua manusia pada awalnya adalah tersesat, jauh dari kebenaran. Itulah pada dasarnya manusia.
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
أي غافل عن الشرائع قبل إرسال الرسل
Yaitu lalai dari dari aturan-aturan sebelum diutusnya para rasul. (At Taisir, 2/359)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan:
يعني أنّ الأصل في الإنسان أنه على الضلالة، الأصل في الإنسان من حيث الجنس أنه ظلوم وجهول، وهما سببا الضلال
Yakni bahwa dasarnya manusia adalah di atas kesesatan, pada dasarnya pada manusia dari sudut pandang jenisnya ada yang zalim dan bodoh, keduanya merupakan sebab kesesatan. (Syarh Al Arbain Nawawiyah, 25/9)
إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ: kecuali mereka yang Kuberi petunjuk
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh menjelaskan:
يدل على أن الأمر الغالب في عباد الله أنهم ضالون إلا مَنْ مَنَّ الله جل وعلا عليه بالهداية
Hadits ini menunjukkan bahwa pada umumnya hamba-hamba Allah itu tersesat, kecuali yang diberikan hidayah oleh Allah Jalla wa ‘Ala. (Syarh Al Arbain Nawawiyah, 25/9)
Selanjutnya:
فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ: maka mintalah bimbingan kepadaKu, pasti Aku bimbing
Yaitu Allah Ta’ala berjanji akan memberikan hidayah bagi yang meminta kepadaNya. Maka, tidak dibenarkan seorang hamba beralasan bahwa dirinya “belum mendapatkan hidayah” dengan segala macam kesalahannya, jika dia tidak pernah bersungguh-sungguh berupaya meraih dan meminta kepada Allah Ta’ala hidayah itu. Mintalah hidayah kepada Allah Ta’ala, lalu berusahalah untuk meraihnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al ‘Ankabut: 69)
Bahkan bagi kita yang sudah menjadi muslim, jangan pernah merasa cukup pada titik muslim saja. Hendaknya kita meng-up grade diri kita kepada tingkat yang leih dari itu. Paling tidak, jika tidak mampu lebih maka tetaplah sebagai seorang muslim yang baik. Sebab, kemungkinan menjadi orang jahat dan durhaka tetap ada pada siapa saja. Inilah hikmahnya kenapa kita tetap membaca ihdinash shirathal mustaqim (tunjukilah kami ke jalan yang lurus) walau kita sudah menjadi muslim.
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ : Wahai hambaKu… Setiap kalian tetap akan lapar, kecuali mereka yang Aku beri makanan
Yakni semua manusia pada dasarnya dalam keadaan lapar dan kekurangan makanan, kecuali bagi yang Allah Ta’ala berikan karunia berupa makanan dan minuman, karena Allah Ta’ala adalah pemilik mereka, dan mereka tidak memiliki kekuatan atas dirinya sendiri.
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
( يا عبادي كلكم جائع إلا من أطعمته ) لأن الخلق ملكه ولا ملك لهم بالحقيقة
(Wahai hambaKu… Setiap kalian tetap akan lapar, kecuali mereka yang Aku beri makanan) karena makhluk adalah milikNya dan hakikatnya mereka bukan pemiliki diri mereka sendiri. (At Taisir, 2/359)
فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ : maka mintalah makanan kepadaKu, pasti Aku penuhi
Artinya mintalah makanan dan juga kebutuhan kalian lainnya hanya kepada Allah Ta’ala, bukan kepada yang selainNya, dan niscaya Dia akan memberikan kemudahan dan petunjuk kepada sebab-sebab untuk mendapatkan rezeki kepada kalian, karena Dia sebagai pemilik dan sebaik-baiknya pemberi rezeki.
Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah menjelaskan:
(فاستطعموني) أي: سلوني واطلبوا مني الطعام (أطعمكم) أي: أيسر لكم أسباب تحصيله إذ العالم جماده وحيوانه مطيع تعالى طاعة العبد لسيده
(Maka mintalah makanan kepadaKu) yaitu mintalah dan tuntutlah dariKu makanan (pasti Aku penuhi) yaitu aku mudahkan bagi kalian sebab-sebab untuk mendapatkannya, sebab alam materi dan hewan begitu taat kepada Allah Ta’ala seperti ketaatan hamba kepada tuannya. (Dalilul Falihin, 1/405)
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.. (QS. Huud: 6)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
أخبر تعالى أنه متكفل بأرزاق المخلوقات، من سائر دواب الأرض، صغيرها وكبيرها، بحريها، وبريها
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa diriNya sebagai penanggung rezeki semua makhluk, baik berupa yang melata di bumi, yang kecil, besar, di lautan dan di daratan. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/305)
Oleh karena itu, pembahasan ini merupakan salah satu aqidah pokok bagi seorang muslim yaitu keyakinan yang mendalam dan tidak boleh ragu, bahwa Allah Ta’ala adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi Rezeki). Maka, tidak boleh ada rasa takut kelaparan selama mereka mau berusaha membuka pintu-pintu rezeki yang telah Allah Ta’ala sediakan bagi mereka, karena Allah Ta’ala sebaik-baiknya pemberi rezeki. (Wallahu khairur raaziqin)
Sebab-sebab itu bisa berupa bekerja yang halal, mendapatkan hadiah, warisan, dan semisalnya.
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
وهذا تأديب للفقراء ، فكأنه قال : لا تطلبوا الطعمة من غيري فإن الذين استطعمتموهم أنا الذي أطعمهم.
Ini adalah pendidikan bagi orang-orang faqir, seakan Allah Ta’ala berfirman: “jangan kalian minta makanan kepada selain Aku, sesungguhnya orang-orang yang telah kalian berikan makanan, Akulah yang memberikan makanan itu kepada mereka.” (Faidhul Qadir, 4/626)
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ : Setiap kalian adalah telanjang, kecuali orang yang Aku berikan sandang
Yaitu setiap kalian tidaklah mengenakan pakaian sama sekali sebagaimana dahulu awal lahir ke dunia, kecuali bagi orang yang telah diberikan pakaian oleh Allah Ta’ala. Pakaian adalah salah satu karunia Allah Ta’ala kepada manusia, dan juga tanda-tanda kebesaranNya, yang mesti digunakan sesuai kegunaannya: menutup aurat, melindungi dari panas dan dingin, dan sebagai perhiasan bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al A’raf: 26)
Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
وأن الله تعالى هو الذي بيده كل خير وبيده كل نعمة وهو المتفضل بالنعم والذي يجود على عباده بالنعم الظاهرة والباطنة، ومنها ما يتعلق باللباس.
Sesungguhnya Allah Ta’ala, ditanganNyalah segala macam kebaikan dan di tanganNya pula segala nikmat, Dialah yang memberikan berbagai keutamaan dengan nikmat-nikmat yang diberikan kepada hamba-hambaNya, baik dengan nikmat yang tampak atau tersembunyi, dan di antaranya adalah yang terkait dengan pakaian. (Syarh Sunan Abi Daud, 22/482)
Memakai pakaian-pakaian yang indah, selama terbuat dari bahan-bahan yang suci dan tidak terlarang, maka boleh-boleh saja, bahkan bagus sebab itu bagian dari menampakkan nikmat Allah Ta’ala yang kita dapatkan.
Hal itu sesuai dengan firmanNya:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan. (QS. Adh Dhuha: 11)
Ayat lain:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: Siapakah yg mengharamkan perhiasan Allah yg telah dikeluarkan bagi hamba-hambaNya dan rizqi yang baik-baik? (QS. Al Isra’ : 32)
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidaklah masuk surga orang yang di hatinya terdapat sombong walau sebesar atom.” Seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai memakai pakaian bagus dan sendal yang bagus.” Nabi bersabda: “Allah itu indah menyukai yang indah-indah, sombong itu adalah menolak kebenaran dan menyepelekan manusia.” (HR. Muslim No. 91)
Selanjutnya:
فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ : maka mintalah pakaian kepadaKu, pasti Aku cukupi
Yaitu mintalah pakaian dan kebutuhan dunia kalian yang lainnya kepada Allah Ta’ala, niscaya Dia akan memenuhinya, sebagai karunia kepada kalian.
Sudah selayaknya seorang muslim memposisikan semua yang dimilikinya adalah sebagai pemberianNya, karuniaNya, bukan sebagai pemilik mutlak. Sebagaimana ucapan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam ketika Beliau mendapatkan kemudahan dari orang lain, tetapi dia tetap menyandarkan kepada Allah Ta’ala:
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS. An Naml: 40)
Terpenuhinya kebutuhan kita karena Allah Ta’ala yang mencukupi, bukan semata kerja keras manusianya. Kita tidak ingin seperti Qarun yang telah mengingkari Allah Ta’ala sebagai pemberi rizki baginya, justru dia menganggap dirinya sendiri sebagai penentu mutlak atas keberadaan kekayaannya.
Allah Ta’ala berfirman tentang anugerahNya berupa harta kepada Qarun:
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآَتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
Sesungguhnya Qarun adalah Termasuk kaum Musa, Maka ia Berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. (QS. Al Qashsash: 76)
Tetapi Qarun justru mengklaim semua hartanya adalah hasil dari dirinys sendiri, bukan dari Allah Ta’ala.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al Qashash: 78)
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ : Wahai hambaKu… sesungguhnya kalian melakukan kesalahan malam dan siang
Yaitu kalian berbuat kesalahan, bahkan dilakukan disetiap waktu, karena tidak satu pun di antara kalian yang memiliki ‘ishmah (keterjagan dari kesalahan).
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak-anak Adam memiliki kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah yang mau bertobat. (HR. Ibnu Majah No. 4251. Abu Ya’la No. 2922, Al Bazzar No. 7236, Ad Darimi No. 2727, Al baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7127, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr mengatakan: hasan. Lihat Fathul Qawwiy, 1/74. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hasan. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 4515)
Selanjutnya:
وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا : dan Aku Maha Pengampun semua dosa
Yaitu semua dosa hamba, tanpa kecuali, akan diampuniNya jika hamba tersebut bertobat dan memohon ampunan kepadaNya, karena ampunannya lebih luas dari langit dan bumi. Sedangkan dosa manusia walaupun mengisi sepenuh bumi dan sebanyak buih di lautan, tidaklah seberapa dibanding ampunanNya. Maka, janganlah berkecil hati dan jangan berputus asa untuk selalu memohon ampunan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sedangkan ayat yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa: 48)
Ayat ini berlaku bagi siapa-siapa yang ketika wafatnya tidak atau belum bertobat dan meminta ampunan kepada Allah Ta’ala. Maka, bagi pelaku dosa syirik tidak akan diampuni, sedangkan dosa selainnya berlaku tahta masyi’atillah (di bawah kehendak Allah); apakah Allah Ta’ala akan mengampuninya lalu dimasukkan ke dalam surga sesuai dengan kesempurnaan rahmat dan rahimNya, ataukah Allah Ta’ala akan menyiksanya dulu sesuai keadilanNya sejauh kadar kesalahan hambaNya.
Selanjutnya:
فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ : maka mintalah ampun kepadaKu, pasti Aku ampuni
Yaitu mintalah ampunan kepada Allah Ta’ala, karena Al Ghafur (Maha Pengamnpun) dan Dia yang berhak mengampuni dosa hamba dan tempat meminta pengampunan, dan Dia tidak akan melanggar janjiNya untuk mengampuni dosa-dosa hambaNya bagi yang memohon ampunan tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ
Sesungguhnya Allah telah berjanji kepada kalian dengan janji yang benar. (QS. Ibrahim: 22)
Ayat lainnya:
إِنَّ اللَّهَ لا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
Sesungguhnya Allah tidaklah pernah melanggar janjiNya. (QS. Ali Imran: 9)
Tentunya hal ini jika hamba tersebut memenuhi syarat tobat nasuha, tobat yang sesungguhnya, bukan bermain-main dengan tobatnya itu. Untuk syarat-syarat tobat nasuha telah kami sampaikan pada pembahasan yang lalu.
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي : Wahai hamba-hambuKu sesungguhnya perbuatan buruk kalian kepadaKu tidaklah merugikanKu, dan perbuatan baik kalian kepadaKu tidaklah bermanfaat bagiKu
Yaitu wahai hamba-hamba Allah, jika kalian hendak berbuat buruk dan jahat untuk Allah ‘Azza wa Jalla, maka semua itu sama sekali tidak berpengaruh bagiNya. Allah ‘Azza wa Jalla tidak menjadi celaka, tidak menjadi hina, dan sama sekali tidak mengalami kerugian apa pun, karena memang kalian tidak mampu melakukannya. Sedangkan Allah Ta’ala Maha Suci dari keburukan, dan tidak ada yang mampu merubah keadaanNya sedikit pun.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran (3): 144)
Wahai hamba-hamba Allah, perbuatan baik yang kalian tujukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla pun juga demikian. Sama sekali tidak bermanfaat bagiNya, sebab Dia Maha Kaya tidak perlu tambahan dari makhlukNya. Tetapi, dari semua yang kalian lakukan, baik semua keburukan dan kebaikan, akibatnya adalah untuk kalian sendiri.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah Ta’ala menjelaskan:
يعني أنَّ العبادَ لا يقدرون أن يوصلوا نفعاً ولا ضرًّا؛ فإنَّ الله تعالى في نفسه غنيٌّ حميد، لا حاجة له بطاعات العباد، ولا يعود نفعها إليه، وإنَّما هم ينتفعون بها، ولا يتضرَّر بمعاصيهم، وإنَّما هم يتضرَّرون بها
Yakni sesungguhnya hamba tidak mampu menyampaikan manfaat dan mudharat, karena Allah Ta’ala –pada diriNya- adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dia tidak membutuhkan ketaatan hamba, manfaatnya itu tidaklah kembali kepadaNya, sesungguhnya ketaatan itu bermanfaat buat mereka sendiri, dan Dia pun tidak rugi karena kemaksiatan mereka, tetapi merekalah yang merugi karena kemaksiatannya. (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Fathul Qawwi Al Matin, 1/74)
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
أي لا يتعلق بي ضر ولا نفع فتضروني أو تنفعوني لأني الغني المطلق والعبد فقير مطلق
Yaitu mudharat atau manfaat yang kalian lakukan, Aku tidaklah tergantung dengan mudharat dan manfaat yang menimpaKu itu, karena Aku Maha Kaya secara mutlak, dan Hamba itu faqir secara mutlak. (At Taisir, 2/359)
Jadi, perbuatan baik atau buruk, mereka sendirilah yang akan merasakan dampaknya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al Zalzalah (99): 7-8)
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ : Wahai hambaKu… Jika awal dan akhir kalian, manusia dan jin kalian
Yaitu sesungguhnya jika hidup kalian yang awal dan akhirnya, perbuatan kalian yang awal dan akhirnya, generasi kalian yang awal dan akhirnya, baik yang terjadi pada golongan manusia dan jin di antara kalian.
كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ : semuanya bertakwa dengan sepenuh hati laksana hati orang yang paling bertaqwa di antaramu
Yaitu semuanya itu bertaqwa kepada Allah Ta’ala dengan taqwa yang benar dengan standar manusia paling bertaqwa di antara kalian.
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
أي على تقوى أتقى قلب رجل أو على أتقى أحوال قلب رجل واحد منكم
Yaitu di atas ketaqwaan orang yang hatinya paling bertaqwa atau keadaan hati yang paling bertaqwa seseorang di antara kalian. (Faidhul Qadir, 4/627)
مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا : sungguh sedikitpun tidak menambah kemegahan keagungan kerajaanKu
Yaitu ketaqwaan kamu semua, walau sedemikian luar biasa, sama sekali tidak berpengaruh bagi kebesaran kerajaan Allah Ta’ala. Kerajaan Allah Ta’ala tetaplah agung dan megah tanpa itu semua, karena Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk, tetapi makhluk-lah yang membutuhkanNya.
Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah menjelaskan:
أي: لا يعود نفع ذلك إلى الله بأن يزيد في ملكه، بل نفعه قاصر على فاعله
Yaitu manfaat hal itu tidaklah berpulang kepada Allah dengan bertambahnya kerajaanNya, tetapi manfaatnya itu berhenti pada pelakunya. (Dalilul Falihin, 1/408)
Kalimat merupakan rincian bagi kalimat sebelumnya. Jika sebelumnya Allah Ta’ala menyebutkan bahwa manfaat yang makhluk lakukan sama sekali tidak berpengaruh padaNya karena Allah Ta’ala Maha Kaya. Maka, di sini Allah Ta’ala merinci lebih khusus lagi tentang perilaku “taqwa”, bahwa ketaqwaan makhlukNya pun sama sekali tidak membuat megah kerajaanNya karena kemegahan kerajaanNya tidak membutuhkan lagi bantuan makhluk. Ketaqwaan itu akan kembali manfaatnya bagi pelakunya.
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ: Wahai hambaKu… Jika awal dan akhir kalian, manusia dan jin kalian
كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا : semuanya durhaka dengan sepenuh hati laksana hati orang yang paling durhaka di antaramu, sungguh sedikitpun tidak mengurangi kemegahan keagungan kerajaanKu
Yaitu jika semua makhluk terdahulu dan sekarang, jin dan manusia, semuanya durhaka kepadaNya bahkan dengan kedurhakaan yang paling puncak kedurhakaan, semua itu sama sekali tidak mengurangi keagungan kerajaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Karena Allah Ta’ala berfirman:
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Mulk (67): 1)
Juga dalam ayat lain:
إِن تَكْفُرُواْ أَنتُمْ وَمَن فِي الأَرْضِ جَمِيعاً فَإِنَّ اللّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya ingkar, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim (14): 8)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
في هاتين الجملتين بيان كمال ملك الله عزَّ وجلَّ، وكمال غناه عن خلقه، وأنَّ العبادَ لو كانوا كلُّهم على أتقى ما يكون أو أفجر ما يكون، لَم يزد ذلك في ملكه شيئاً، ولم ينقص شيئاً، وأنَّ تقوى كلّ إنسان إنَّما تكون نافعةً لذلك المتَّقي، وفجورَ كلّ فاجر إنَّما يكون ضررُه عليه.
Pada dua kalimat ini terdapat penjelasan tentang kesempurnaan kerajaan Allah ‘Azza wa Jalla, kesempurnaan kekayaanNya dari hambaNya, sesungguhnya hamba jika mereka semua bertaqwa sejadi-jadinya, atau berdosa sejadi-jadinya, itu sama sekali tidak memberi tambahan pada kerajaanNya, dan juga tidak menguranginya sedikit pun, sesungguhnya ketaqwaan semua manusia hanyalah bermanfaat untuk orang yang bertaqwa itu, kedurhakaan semua orang yang berdosa hanyalah merugikan dirinya sendiri. (Syarh Sunan Abi Daud, 1/75)
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ : Wahai hambaKu… Jika awal dan akhir kalian, manusia dan jin kalian
قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ : semuanya berdiri menyatu di atas sebongkah batu
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
أي في أرض واحدة ومقام واحد
Yaitu (berdiri) pada tanah (bumi) yang sama dan tempat yang sama. (Faidhul Qadir, 4/627)
فَسَأَلُونِي : kemudian mereka berdoa kepadaKu
Yakni mereka berdoa di tempat yang sama secara bersama-sama. Hanya saja di sini tidak diterangkan apakah permintaan mereka adalah masing-masing, atau satu orang berdoa dan diaminkan yang lain. Namun dijelaskan dalam kalimat selanjutnya bahwa doa tersebut adalah setiap masing-masing mereka.
فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ: niscaya akan Kupenuhi satu persatu doanya
Yakni akan Allah Ta’ala penuhi doa mereka yang berbeda-beda dan beragam itu. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu ‘Allan:
أي: إعطاء كل سائل مسئوله
Yaitu diberikan untuk setiap peminta apa-apa yang dimintanya. (Dalilul Falihin, 1/408)[1]
مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي : Dan Sungguh semua itu takkan mengurangi sedikit apa yang ada padaKu
Yaitu jika semua permintaan itu dipenuhi semua, Allah Ta’ala memberikan kepada mereka semua satu persatu semua yang mereka inginkan, maka sama sekali hal itu tidak mengurangi kekayaan dan khazanah yang Allah Ta’ala miliki (Al Khazaain Al Ilaahiyah).
Karena kekayaan Allah Ta’ala itu tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak terhingga.
Sebagaimana firmanNya:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. (QS. Ibrahim (14): 34)
Selanjutnya:
إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ : melainkan hanya bagai air yang menempel pada jarum yang dicelupkan dari samudera.
Perumpamaan ini sangat tepat dalam rangka memudahkan pemahaman kita. Allah Ta’ala membandingkan apa yang diberikanNya kepada semua hambaNya itu hanyalah seperti air yang menempel di sebuah jarum, sedangkan sisanya adalah seperti samudera yang luas. Apalah artinya air yang menempel di sebuah jarum dibanding air seluas samudera? Bahkan jika perbandingannya adalah dengan air di bejana, jelas air pada sebuah jarum juga tidak berarti apa-apa, maka apalagi dibandingkan dengan air seluas samudera. Pada kenyataannya pun, luasnya samudera sendiri bukanlah apa-apa dibanding luasnya kekayaan Allah Ta’ala. Ini adalah perbandingan yang sangat tepat untuk menunjukkan bahwa semua yang diberikan kepada hamba-hambaNya betapa tidak berpengaruh terhadap kekayaan Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan:
هذا مثل قصد به التقريب إلى الأفهام بما نشاهده، والمعنى: أن ذلك لا ينقص مما عنده شيئاً، والمخيط بكسر الميم وإسكان الخاء وفتح الياء هو الإبرة.
Maksud perumpamaan ini adalah untuk mendekatkan kepada pemahaman terhadap apa yang kita saksikan, maknanya: bahwa hal itu tidak mengurangi apa-apa yang ada pada sisiNya sedikit pun. Dan Al Mikhyath dengan huruf mim di kasrahkan, kha’ disukunkan, dan ya’ difathahkan, berarti jarum. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 90)
Selanjutnya:
يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ : Wahai hamba-hambaKu .. Sesungguhnya perbuatan kamu Aku perhitungkan untukmu
Yakni Allah Ta’ala menghitung amal perbuatan manusia dan dikembalikan untuk manusia hasil dari perbuatan itu, sesuai dengan apa yang niatkan dibalik perbuatannya itu. Tak ada yang bisa menutup-nutupinya, tak ada yang dapat memanipulasinya, walau di dunia manusia bisa merekayasa semua bentuk kejahatannya. Semua itu tidak ada yang bisa lolos dari hisab Allah Ta’ala, baik yang besar atau sampai yang sekecil-kecilnya perbuatan itu.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآَنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus (10): 61)
Selanjutnya:
ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا : Aku berikan balasannya pula bagimu
Yakni setelah dihitung amal itu, Allah Ta’ala akan memberikan balasannya kepada manusia. Jika amal baiknya lebih banyak maka Allah Ta’ala akan memberikan kepadanya nikmatNya yang abadi, jika amal buruknya lebih banyak maka Allah Ta’ala akan memberikannya siksa sesuai kadar dosanya, atau Allah Ta’ala akan maafkan sesuai kesempurnaan rahmat dan kasih sayangNya. Jika amalnya adalah kekesyirikan dan kekafiran nyata yang membuatnya keluar dari Islam selama hidup di dunia dan belum bertobat, maka dia kekal abadi di nerakaNya. Semuanya sudah tercatat dalam buku amalan setiap manusia yang akan Allah Ta’ala sampaikan kepada kita, dan kita akan membacanya masing-masing.
Allah Ta’ala berfirman:
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.(QS. AL Isra (17); 14)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy Syaikh berkata:
الحسنات بالحسنات، والسيئات بما يحكم الله جل وعلا فيه، فمن فعل السيئات فهو على خطر عظيم، ومن فعل الحسنات فهو على رجاء أن يكون من الناجين.
Kebaikan dibalas kebaikan, keburukan akan Allah Jalla wa ‘Ala tentukan hukumannya padanya, siapa yang melakukan keburukan maka dia berada dalam keadaan bahaya besar, dan barang siapa yang melakukan kebaikan maka ada harapan menjadi golongan orang-orang yang selamat. (Qismul Hadits, 25/18)
Selanjutnya:
فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدْ اللَّهَ : barangsiapa menemukan adanya kebajikan maka hendaknya dia memuji Allah
Yaitu jika manusia melihat adanya amal baik yang dia lakukan maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala, sebab hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan rahmat, izin, dan pertolongan dariNya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz mengatakan:
يعني فليثن على الله جل وعلا بذلك؛ لأنه هو الذي أعانه
Yakni hendaknya dia memuji Allah Jalla wa ‘Ala atas hal itu, karena Dialah yang menolongnya (untuk melakukan kebaikan, pen). (Ibid)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id juga mengatakan:
يعني لا يسند طاعته وعبادته من عمله لنفسه بل يسندها إلى التوفيق ويحمد الله على ذلك
Yakni janganlah menyandarkan ketaatan dan ibadah yang diperbuatnya kepada dirinya sendiri, tetapi sandarkanlah amal itu kepada taufiq dari Allah dan hendaknya dia memuji Allah atas hal itu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 90)
Selanjutnya:
وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ : dan barangsiapa menemukan selain itu, maka jangan salahkan Allah, tapi salahkan dirinya sendiri.
Yaitu barang siapa yang dirinya melakukan perbuatan keliru, durhaka, dan berdosa, maka jangan salahkan Allah, tetapi salah dirinya sendiri yang telah terbawa arus hawa nafsunya.
Dalam hadits qudsi ini, Allah Ta’ala tidak mengatakan “barang siapa yang melakukan keburukan”, tetapi “barangsiapa menemukan selain itu”, apa hikmahnya?
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
(ومن وجد غير ذلك) أي شرا ولم يذكره بلفظه تعليما لخلقه كيفية أدب النطق بالكناية عما يؤذي أو يستهجن أو يستحى منه أو إشارة إلى أنه إذا اجتنب لفظه فكيف فعله
(Barang siapa menemukan selain itu) yaitu keburukan, Allah Ta’ala tidak menyebutkan lafaznya (kata “keburukan”, pen) sebagai bentuk pengajaran untuk hambaNya tentang tata cara etika berbicara dengan kiasan tentang hal yang bisa menyakitkan, atau membuka aib, atau memalukan, atau ini merupakan isyarat jika lafaznya saja dijauhkan apalagi melakukannya. (Faidhul Qadir, 4/628)
Syaikh Waliyuddin Abu Abdillah At Tibrizi Rahimahullah mengatakan:
( فلا يلومن إلا نفسه ) لأنه صدر من نفسه أو لأنه باق على ضلاله الذي أشير إليه بقوله كلكم ضال قاله القاري
(Maka janganlah dia menyalahkan kecuali salahkan diri sendiri) karena kesalahan itu lahir dari dirinya atau karena itu merupakan sisa dari kesesatannya yang telah diisyaratkan dengan firmanNya: Setiap kalian adalah tersesat, itulah yang dikatakan Al Qari. (Misykah Al Mashabih, 8/44)
Selesai. Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Ini adalah salah satu model berdoa, yaitu manusia berkumpul di tempat yang sama lalu mereka masing-masing berdoa sesuai hajatnya. Dibolehkan doa seseorang diaminkan sekumpulan manusia seperti doa pada khutbah Jumat, khutbah Id, doa istisqa, dan doa-doa pada waktu mutlak. Ada pun doa bersama ba’da shalat dengan dipimpin satu orang, telah diperselisihkan sejak lama oleh ulama Islam; sebagian membid’ahkan dan sebagian membolehkan. Ini pernah dibahas pada Syarah Arbain yang ke 10. Silahkan lihat kembali.