Matan Hadits:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا. رواه مسلم
Dari Abu Dzar, bahwa manusia dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya (Ahlud Dutsur) telah pergi dengan membawa pahala. Mereka shalat sebagaimana kami, mereka berpuasa sebagaimana kami, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”
Rasulullah bersabda: “ Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan, seseungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, mengajak kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan pada kemaluan kalian ada sedekah.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang kami bermain dengan syahwatnya membuatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda: “Apa pendapatmu seandainya dia meletakkannya pada yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka, begitu pula jika dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapatkan pahala. “ (HR. Muslim)
Takhrij Hadits:
- Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad 227
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1006
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21473
- Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3917
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1644
Kandungan Hadits Secara Global:
Hadits yang cukup panjang ini memuat banyak faidah, di antaranya:
- Gambaran kehidupan para sahabat nabi yang begitu bersemangat dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak peduli miskin dan kaya, mereka semua saling berlomba dalam mengumpulkan amal shalih .
Oleh karenanya betapa layaknya mereka menyandang gelar khairu ummah (umat terbaik) dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran (3): 110)
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, berkata tentang ayat ini:
هم الذين هاجروا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من مكة إلى المدينة
Mereka adalah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Mekkah menuju Madinah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/94. Lihat juga An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 11072, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 3160, katanya: “Shahih sesuai syarat Imam Muslim.” Dan, Disepakati oleh Adz Dzahabi)
Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
تكون لأولنا ولا تكون لآخرنا
Berlaku bagi generasi awal kita, dan tidak berlaku bagi generasi akhir kita. (Imam Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan, 7/101)
Adh Dhahak Radhiallahu ‘Anhu, berkata tentang “kuntum khaira ummatin”:
هم أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم خاصة
Mereka adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus.” (Ibid, 7/102)[1]
- Dibolehkan membicarakan seseorang atau sekelompok orang pada sisi kebaikannya, baik orang itu sudah wafat, masih hidup, disebut nama atau tidak, jika untuk kepentingan kebaikan pula seperti mengambil pelajaran dan hikmah, merangsang kita untuk beramal shalih, dan sebagainya.
Hal yang fitrah jika manusia menyukai cerita-cerita baik. Cerita tentang kepahlawanan, keshalihan, kedermawanan, kesederhanaan, dan keberanian, baik yang mereka dapatkan sesuai fakta atau hanya mitos belaka. Terpesona dan kagum dengan peristiwa baik, terkesima dengan kehebatan orang baik, adalah bagian dari kebaikan itu sendiri. Itu menunjukkan bahwa hati-hati kaum beriman hanya tergerak oleh hal-hal yang baik.
Kita lihat, para sahabat sering menceritakan kepada anak-anak mereka tentang kepahlawan atau akhlak generasi awal sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu hal itu diturunkan ke masa selanjutnya, dari lisan ke lisan dan pada zaman ke zaman, hingga akhirnya tidak sedikit para cendekiawan muslim meriwayatkan hal itu dan membukukannya, baik dalam kitab As Siyar, Al Manaqib, Al Fadhail, dan lainnya. Mereka mengumpulkan kisah-kisah tentang sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam 4 madzhab, fuqaha, muhadditsin, shalihin, sufi yang hanif, mujahidin, penyair, dan tokoh-tokoh besar dan bersejarah dalam Islam.
Sebagai contoh, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu menceritakan tentang keistimewaan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu. Dari Abu Yahya Hakim bin Sa’ad bahwasanya:
سمع عليا يحلف لأنزل الله تعالى اسم أبي بكر رضي الله عنه من السماء صديقا
“Dia mendengar Ali bersumpah, bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan nama dari langit bagi Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, yaitu: Shiddiiqan.” (HR. Al Hakim, Al Mustadrak No. 4405)[2]
Contoh lain, ini adalah parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu ‘Anhu. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:
قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل طاووس، فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيري
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .
وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء
“Berkata Ibnu ‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
“Aun bin ‘Imarah, bercerita keada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad bin Sirin.
Habib bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin Dinar, dia berkata: “Demi Allah aku tidak pernah melihat orang seperti Thawus.” Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil duduk menimpali: “Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin Sirin, tidak akan dia berkata seperti itu.”
Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.”
Dari Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.”
Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman Al Bati: “Tidak pernah ada di Bashrah orang yang paling tahu tentang kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.”
Ibnu Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)
Demikianlah. Ini hanyalah contoh, untuk membuktikan bahwa saling menceritakan keutamaan dan kebaikan orang shalih baik yang masih hidup atau wafat, adalah tidak mengapa, bahkan termasuk perbuatan yang baik pula. Bahkan itu merupakan pengamalan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: falyaqul khairan aw liyashmut .. berkatalah yang baik atau diam!
- Dibolehkan iri hati kepada orang yang Allah Ta’ala berikan kebaikan, yang dengan kebaikan itu mereka semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Kita ingin seperti mereka yang jika diberikan nikmat yang sama, akan melakukan kebaikan seperti mereka bahkan lebih.
Dalam hadits ini dikisahkan tentang sebagian sahabat yang iri hati dengan sebagian yang lain, yakni orang yang diberikan kekayaan yang dengannya dapat bersedekah. Sementara mereka tidak memiliki harta untuk bersedekah, mereka merasa tidak mampu di sisi ini, dengan itu amal shalih mereka pun tidak sebanding dengan orang-orang kaya yang dermawan itu. Tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghibur mereka dengan menyebutkan berbagai macam kalimat dzikir, yang juga bernilai sedekah jika diucapkan, dan sedekah jenis ini bisa mereka dapatkan tanpa harus mengeluarkan biaya sedikit pun.
Disebutkan dalam sebuah hadits:
وعن عبدِ اللَّهِ بنِ مسعودٍ رضي اللَّه عنه قال: قالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “لا حَسَدَ إِلاَّ في اثَنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً، فَسَلَّطَهُ على هَلكَتِهِ في الحَقِّ. ورَجُلٌ آتَاه اللَّهُ حِكْمَةً فُهو يَقضِي بِها وَيُعَلِّمُهَا”متفقٌ عليه وتقدم شرحه قريباً.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak ada hasad (iri) kecuali dalam dua orang: 1. Seseorang yang diberikan Allah harta, lalu dia menghabiskannya pada jalan kebenaran, dan 2. Seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia menggunakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari No. 73, 1409, 7316, Muslim No. 816, Ibnu Majah, No. 4208, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 19951, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, No. 5840)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
قال العلماء الحسد قسمان حقيقي ومجازي فالحقيقي تمنى زوال النعمة عن صاحبها وهذا حرام بإجماع الأمة مع النصوص الصحيحة وأما المجازي فهو الغبطة وهو أن يتمنى مثل النعمة التي على غيره من غير زوالها عن صاحبها فإن كانت من أمور الدنيا كانت مباحة وان كانت طاعة فهي مستحبة والمراد بالحديث لا غبطة محبوبة إلا في هاتين الخصلتين
Berkata para ulama: hasad itu ada dua macam; hakiki dan majazi. Hasad yang hakiki (yang sebenarnya) adalah mengharapkan hilangnya kenikmatan dari pemiliknya, dan ini haram berdasarkan ijma’ umat dan nash-nash (teks agama) yang shahih. Ada pun hasad majazi (kiasan) adalah ghibthah, yaitu seorang yang mengharapkan mendapatkan kenikmatan yang ada pada selainnya tanpa menginginkan nikmat itu hilang dari pemiliknya. Jika hal itu termasuk urusan dunia maka boleh saja, jika hal itu masuk dalam hal ketaatan maka itu dianjurkan. Maksud hadits ini adalah tidak ada ghibthah yang disukai kecuali pada dua hal ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/97)
Jadi, ada dua orang yang boleh kita iri hati kepada mereka, yaitu orang yang berharta lalu dia membelanjakan hartanya sesuai ajaran yang benar (zakat, sedekah, infak, menafkahi keluarga) dan orang yang memiliki ilmu (termasuk ilmu Al Quran) yang dia amalkan, dan dia ajarkan kepada manusia baik malam dan siangnya.
- Berdzikir dengan ber-tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah) , takbir (Allahu Akbar), dan tahlil (Laa Ilaha Illallah), semua kalimat ini adalah sedekah.
Ini adalah salah satu jenis sedekah yakni dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala; yang merupakan alternatif bagi siapa saja yang dalam keadaan tidak lapang rezeki. Sehingga tidak ada kata “tidak bisa bersedekah” karena Islam telah memberikan media lain yang ringan.
Bahkan, semua ini –tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan amar ma’ruf nahi munkar– bisa digantikan dengan yang lain yakni shalat Dhuha.
Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة. فكل تسبيحة صدقة. وكل تحميدة صدقة. وكل تهليلة صدقة. وكل تكبيرة صدقة. وأمر بالمعروف صدقة. ونهي عن المنكر صدقة. ويجزئ، من ذلك، ركعتان يركعهما من الضحى
“Hendaknya di antara kalian bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, beramar ma’ruf adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua sudah tercukupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim No. 720, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 4677, 19995, Ibnu Khuzaimah No. 1225)
- Bahkan berhubungan suami isteri (jima’) juga disebut sedekah oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini jika dibarengi dengan niat untuk memenuhi hak isteri, menjaga mata, menjaga kehormatan, menginginkan lahirnya anak yang shalih, dan bersenang-senang dengan cara yang halal, dan niat baik lainnya.
Semata-mata hubungan badan tentu bukan ibadah, karena hal itu juga dilakukan oleh orang kafir dan hewan. Oleh karenanya adanya niat untuk menjaga kemaluan dari yang diharamkan, kecuali hanya kepada isteri, dan niat-niat baik di atas, merupakan motivasi baik yang mesti dihargai. Oleh karenanya itu menjadi ibadah, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutnya sebagai sedekah.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan:
إحضار النية في المباحات ، وأنها تصير طاعات بالنية الصادقة ، :كأن ينوي بالجماع قضاء حق الزوجة ، ومعاشرتها بالمعروف الذي أمر الله به ، أو طلب ولد صالح ، إو إعفاف نفسه ، أو إعفاف زوجته ، وغير ذلك من المقاصد الصالحة
Menghadirkan niat dalam perkara yang mubah, sesungguhnya terwujudnya ketaatan disebabkan adanya niat yang benar: seperti berjima dengan niat memenuhi hak isteri, mempergaulinya dengan baik sesuai yang Allah perintahkan, atau ingin mendapatkan anak shalih, atau menjaga kehormatan diri, atau menjaga kehormatan isteri, dan tujuan-tujuan baik lainnya. (At Tuhfah ArRrabbaniyah, Syarah hadits No. 25)
- Hadits ini juga menceritakan tentang kemampuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai problem solver. Kegusaran sebagian sahabat nabi bisa diobati dengan jawaban Beliau yang membuat mereka senang dan membuka harapan; bahwa kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki bukan halangan untuk mendapatkan nilai terbaik di sisi Allah Ta’ala dalam ibadah.
Ini adalah pelajaran bagi para ulama, mufti, da’i, ustadz, khatib, dan semua penyeru Islam. Hendaknya tidak sekedar mampu menjawab dari sudut pandangan benar salah dan hitam putih, tetapi juga memberikan jalan keluar yang mudah dipahami dan meringankan beban mereka. Karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan penuh keluh kesah.
Posisi seorang da’i di tengah umatnya, bukan seperti polisi di hadapan buronan yang siap menangkap dan memborgol mereka, bukan pula seperti jaksa penuntut umum di hadapan terdakwa yang siap memberikan rentetan vonis bersalah dan hukuman, bukan pula seperti sipir penjara terhadap narapidana yang selalu mencurigai mereka. Tetapi, posisi da’i di tengah umatnya adalah bagaikan seorang dokter terhadap pasiennya yang memberikan obat dan optimisme dalam hidup, bagaikan perawat terhadap orang sakit yang sabar menemani dan memberikan pelayanan, bagaikan guru kepada murid yang memberikan ilmu dan menjadi teladan, bagaikan seorang kakak kepada adik yang memberikan perlindungan, dan bagaikan seorang ibu kepada bayinya yang sangat penuh kasih sayang dalam perawatan. Semua ini telah dijalankan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara sempurna, oleh karenanya betapa cintanya mereka kepadanya, karena Beliau pun sangat mencintai umatnya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali ‘Imran (3): 159)
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Sebenarnya para mufassir berselisih pendapat tentang siapakah khairu ummah (umat terbaik) dalam ayat ini? Ada yang menyebut itu khusus bagi para sahabat, ada yang menyebut mereka adalah siapa saja yang penting mereka memenuhi syarat-syaratnya, yakni; amar ma’ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah, ada yang menyebut kita umat terbaik karena paling banyak yang merespon da’wah nabi dan masuk Islam, dan ada pula yang menyebut itu adalah umat Islam secara umum.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah memilih bahwa ayat itu berlaku untuk semua umat Islam:
والصحيح أن هذه الآية عامةٌ في جميع الأمة، كل قَرْن بحسبه، وخير قرونهم الذين بُعثَ فيهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم الذين يَلونهم، ثم الذين يلونهم، كما قال في الآية الأخرى: { وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا } أي: خيارا { لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا } الآية.
Yang benar adalah bahwa ayat ini berlaku umum bagi semua umat (Islam), pada zamannya masing-masing, dan yang terbaik zaman mereka adalah zaman yang pada mereka diutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya, sebagaimana dalam ayat lain: “Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang wasathan (pertengahan).” Yaitu umat pilihan (agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/94)
Alasannya adalah, dari Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَنْتُمْ تُوفُونَ سَبْعِينَ أُمَّةً . أَنْتُمْ خَيْرُهَا وَأَكْرَمُهَا عَلَى اللهِKalian akan dikelilingi oleh 70 umat, kalianlah yang terbaik dan paling mulia di sisi Allah. (HR. Ahmad No. 20015, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6988, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 11431, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 17495. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya hasan. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 20015. Al Bushiri mengatakan: shahih. Lihat Ittihaf Al Khairah, 7/351).
[2] Dalam sanad atsar ini terdapat Muhammad bin Sulaiman As Sa’idi. Imam Al Hakim mengatakan: “Kalau bukan kedudukan Muhammad bin Sulaiman As Sa’idi yang majhul (tidak diketahui) maka saya menghukumi hadits ini adalah shahih, dan hadits ini memiliki syahid (saksi penguat), yaitu hadits An Nazal bin Sabrah dari Ali Radhiallahu ‘Anhu.” Dan, Imam Adz Dzahabi menyepakatinya.
Namun yang benar adalah Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi, bukan As Sa’idi atau As Sa’di. Hal ini diterangkan dalam Mizanul I’tidal-nya Imam Adz Dzahabi dan Lisanul Mizan-nya Al Hafizh Ibnu Hajar. Ibnu Abu Hatim telah memutihkannya dari kemajhul-annya. Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat (Orang-orang terpercaya), dan dia telah meriwayatkan dari Harun Al A’war, sedangkan Ishaq bin Manshur As Sulami telah meriwayatkan darinya. (Lisanul Mizan, 5/187. Mizanul I’tidal, 3/572) Sehingga atsar dari Ali Radhiallahu ‘Anhu ini adalah shahih. Wallahu A’lam
Imam Ath Thabrani dalam Al Kabir juga menyebutkan atsar di atas dan juga menyebut Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi, bukan As Sa’di dan bukan pula As Sa’idi. (Al Mu’jam Al Kabir, No. 14. Syamilah), dan Imam As Suyuthi mengatakan: sanadnya jayyid shahih. (Tarikhul Khulafa’, Hal. 28), sedangkan Imam Al Haitsami mengatakan; rijaaluhu tsiqaat (para perawinya terpercaya). (Majma’ Az Zawaid, 9/41).
Dari An Nazal bin Sabrah, bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang Abu Bakar:
ذاك امرء سماه الله صديقا على لسان جبريل ومحمد صلى الله عليهما
“Dia adalah seorang laki-laki yang Allah namakan dengan Shiddiq , melalui lisan Jibril dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihima.” (HR. Al Hakim, Al Mustadrak No. 4406)
Imam As Suyuthi mengatakan: isnadnya jayyid (baik). (Tarikhul Khulafa’, Hal. 28)
Demikian penjelasan tentang gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu dan sebab penggelaran tersebut.
2 comments
Sambungan hadits 24, 25 udah ada ga kak? 🙏🏻
Silahkan cek disini: https://risalah.id/materi-tarbiyah/al-arbaun-an-nawawiyah/