Selanjutnya:
وَصَوْمِ رَمَضَانَ – dan puasa Ramadhan
Definisi Shaum
Secara bahasa, berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah:
الصيام في اللغة مصدر صام يصوم، ومعناه أمسك، ومنه قوله تعالى: {فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا } [مريم] فقوله: {صَوْمًا} أي: إمساكاً عن الكلام، بدليل قوله: {فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا} أي: إذا رأيت أحداً فقولي: {إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا} يعني إمساكاً عن الكلام {فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا}.
“Shiyam secara bahasa merupakan mashdar dari shaama – yashuumu, artinya adalah menahan diri. Sebagaimana firmanNya: (Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”) (QS. Maryam (19):26). firmanNya: (shauman) yaitu menahan diri dari berbicara, dalilnya firmanNya: (jika kamu melihat seorang manusia), yaitu jika kau melihat seseorang, maka katakanlah: (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah) yakni menahan dari untuk bicara. (Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini). (Syarhul Mumti’, 6/296. Cet. 1, 1422H.Dar Ibnul Jauzi. Lihat juga Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/431. Lihat Imam Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/850)
Secara syara’, menurut Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah, makna shaum adalah:
الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية
“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dan dibarengi dengan niat (berpuasa).” (Fiqhus Sunnah, 1/431)
Ada pun Syaikh Ibnul Utsaimin menambahkan:
وأما في الشرع فهو التعبد لله سبحانه وتعالى بالإمساك عن الأكل والشرب، وسائر المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس.
ويجب التفطن لإلحاق كلمة التعبد في التعريف؛ لأن كثيراً من الفقهاء لا يذكرونها بل يقولون: الإمساك عن المفطرات من كذا إلى كذا، وفي الصلاة يقولون هي: أقوال وأفعال معلومة، ولكن ينبغي أن نزيد كلمة التعبد، حتى لا تكون مجرد حركات، أو مجرد إمساك، بل تكون عبادة
“Ada pun menurut syariat, maknanya adalah ta’abbud (peribadatan) untuk Allah Ta’ala dengan cara menahan diri dari makan, minum, dan semua hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Wajib dalam memahami definisi ini, dengan mengaitkannya pada kata ta’abbud, lantaran banyak ahli fiqih yang tidak menyebutkannya, namun mengatakan: menahan dari dari ini dan itu sampai begini. Tentang shalat, mereka mengatakan: yaitu ucapan dan perbuatan yang telah diketahui. Sepatutnya kami menambahkan kata ta’abbud, sehingga shalat bukan semata-mata gerakan , atau semata-mata menahan diri, tetapi dia adalah ibadah.” (Syarhul Mumti’, 6/298. Cet.1, 1422H. Dar Ibnul Jauzi)
Dari definisinya ini ada beberapa point penting sebagai berikut:
- Menahan diri dari perbuatan yang membatalkan
- Harus dibarengi dengan niat
- Bertujuan ibadah kepada Allah Ta’ala
Definisi Ramadhan
Ramadhan, jamaknya adalah Ramadhanaat, atau armidhah, atau ramadhanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno (Al Qadimah), mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar ramadh). Atau juga diambil dari ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa. (Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190)
Imam Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah mengatakan:
وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ : لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ : لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ : يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا .
“Adalah bulan Ramadhan pada zaman jahiliyah dinamakan dengan ‘kelelahan’, lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadhan yang diambil dari kata Ar Ramdha’ yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapskannya.” (Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr)
Secara istilah (terminologis), Ramadhan adalah nama bulan (syahr)[1] ke sembilan dalam bulan-bulan hijriyah, setelah Sya’ban dan sebelum Syawal.
Sejak Kapan Puasa Ramadhan Diwajibkan?
Telah diketahui secara pasti bahwa puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al Quran (QS. Al Baqarah, 2: 183), Al Hadits, dan ijma’. Telah masyhur pula bahwa puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua hijriyah, dan sepanjang hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjalankan sembilan kali puasa Ramadhan. Dalam sejarah Islam, pewajiban puasa pun tidak langsung, melainkan diberikan anjuran puasa sebagai memberikan pengalaman dan pembiasaan.
Berkata Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
وحكمه: الوجوب بالنص والإجماع.
ومرتبته في الدين الإسلامي: أنه أحد أركانه، فهو ذو أهمية عظيمة في مرتبته في الدين الإسلامي.
وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً، وفرض أولاً على التخيير بين الصيام والإطعام؛ والحكمة من فرضه على التخيير التدرج في التشريع؛ ليكون أسهل في القبول؛ كما في تحريم الخمر
“Hukumnya adalah wajib berdasarkan nash (teks Al Quran dan Al Hadits) dan ijma’. Kedudukannya dalam agama Islam adalah dia sebagai salah satu rukun Islam yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam. Telah ijma’ bahwa Allah mewajibkan puasa pada tahun kedua, dan ijma’ pula bahwa puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sembilan kali Ramadhan. Pertama kali diwajibkan adalah sebagai takhyir (pemberian pilihan) antara puasa dan makan, hikmah dari pewajiban dengan cara ini adalah sebagai pentahapan dalam pensyariatannya agar lebih mudah diterima, sebagaimana dalam pengharaman khamr.” (Syarhul Mumti’ , 6/298. Mawqi Ruh Al Islam)
Kecaman Untuk Orang Yang Tidak Puasa Ramadhan Tanpa Udzur
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان
“Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal (untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’la dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah:
وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.
“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Hikmah Puasa Ramadhan
Puasa adalah ibadah yang unik, sebab itu untukNya dan Allah Ta’ala sendiri yang langsung memberikan ganjarannya. Pada ibadah ini, kita dilatih agar jujur dan merasa di awasi Allah Ta’ala. Sebab, yang tahu kita sedang puasa adalah diri kita sendiri dan Allah Ta’ala. Ibadah lain manusia bisa melihat dengan jelas, seperti shalat, zakat, haji, dan jihad. Sedangkan puasa, bisa saja seseorang berlagak lemas dan letih, padahal itu sandiwara.
Puasa juga melatih diri kita untuk berempati dengan kaum fakir miskin, sebab rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan adalah keseharian mereka. Maka, lahirlah sikap memandang orang miskin dengan pandangan empati, cinta, dan ujian bagi kedermawanan kita.
Puasa juga sarana efektif mengendalikan hawa nafsu, emosi, dan berbagai keinginan syahwati dan duniawi lainnya. Selama sebelas bulan lamanya kita melepaskannya dan menghamburkannya, bahkan sebagian manusia ada yang melepaskan tanpa batas dan aturan bagaikan binatang. Pengendalian ini , demi kestabilan antara jiwa, emosi, dan tubuh manusia. Masih banyak lagi pelajaran yang dapat kita ambil dari ibadah puasa.
Pembahan lebih lengkap tentang Puasa Ramadhan, klik disini.
Catatan Kaki:
[1] Ada pun kata ‘bulan’ yang berarti salah satu benda angkasa yang menjadi satelit bumi, bahasa arabnya adalah Al Qamar, dan bulan sabit adalah Al Hilal.