Perintah Allah Ta’ala
Allah Ta’ala telah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya; dan mengingatkan mereka secara khusus tentang jasa ibu yang telah mengandung dan menyusuinya dengan susah payah,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman, 31: 14)
Ibu Paling Berhak atas Perlakuan Baik
Islam mengajarkan bahwa Ibu adalah orang yang paling berhak atas perlakuan yang baik dari anak-anaknya. Selain diisyaratkan dalam ayat di atas, hal ini pun kita ketahui dari hadits berikut ini,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘Ibumu’ dengan diulang tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al–bir (kebajikan) dan ihsan (pelayanan). Ibnu Al Baththal mengatakan,
أن يكون لها ثلاثة أمثال ما للأب : من البر فقد ذكر الأب في الحديث مرة واحدة ، وكأن ذلك لصعوبة الحمل ، ثم الوضع ، ثم الرضاع ، فهذه الأمور الثلاثة تنفرد بها الأم ، وتشقى بها ، ثم تشارك الأب في التربية
“Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ‘ayah’ dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’ diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa difahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, dan menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh seorang ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah (pembinaan dan pengasuhan).”
Di hadits yang lain ditegaskan hal yang sama. Imam al-Bukhari dalam al-Adab Mufrad dan Ibnu Majah, dari al-Mikdam bin Ma’di Karib, beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثُمَّ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثُمَّ يُوْصِيْكُمْ بِآبَائِكُمْ ثُمَّ يُوْصِيْكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ
“Sesungguhnya Allah mewasiatkan kepada kalian ibu-ibu kalian,kemudian ibu-ibu kalian, kemudian Allah mewasiatkan kepada kalian bapak-bapak kalian, kemudian keluarga yang paling dekat dengan kalian dan baru keluarga yang dekat lagi.” (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab Mufrad, no. 60 dan Ibnu Majah, no. 3661)
Ibu Memiliki Hak yang Besar atas Anak Lelakinya
Pengutamaan Ibu, ditekankan terutama kepada anak lelaki, sebagaimana diisyaratkan oleh hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: «زَوْجُهَا» قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: «أُمُّهُ»
“Aku telah bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam: ‘Siapa yang paling memiliki hak paling besar atas seorang wanita?’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: ‘Suaminya.’ Aku bertanya lagi: ‘Siapa yang paling besar haknya atas seorang laki-laki?’ Beliau menjawab: ‘Ibunya.’” (HR. An-Nasai di Sunan al-Kubra no.9103 dan al-Hakim di al-Mustadrok no.7244.)
Jika Ibu Kita Musyrik, Haruskah Kita Berbuat Baik Padanya?
Perlakuan yang baik ini bahkan berlaku walaupun kepada seorang Ibu yang musyrik selama mereka tidak memusuhi dan memerangi umat Islam.
Suatu hari, pada masa damai antara Rasulullah dan Kafir Quraisy pasca peristiwa Hudaibiyah; Qiylah, Ibunda dari Asma, yang telah diceraikan oleh Abu Bakar di masa jahiliyah, datang menemui Asma’ dengan membawa hadiah—zabib (kismis), keju, dan kulit yang telah disamak—namun Asma’ tidak segera menerima hadiah itu atau memasukkan Ibundanya ke rumahnya sebelum ia bertanya terlebih dahulu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عن أَسْمَاء بِنْت أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ: أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: آصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا: لَا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
Dari Asma’ binti Abu Bakr radliallahu ‘anhuma dia berkata; “Ibuku (yang musyrik) datang menemuiku pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sangat berharap, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; ‘Apakah saya boleh bersilaturahim dengannya?’ beliau menjawab: ‘Ya.’ Ibnu ‘Uyainah lalu berkata; “Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat, ‘Allah tidak melarang kalian (berbuat baik) kepada orang-orang (kafir/musyrik) yang tidak memerangi agama kalian (QS Al Mumtahanah; 8).’” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa dengan ibu yang masih kafir tetap harus dijalin hubungan silaturahim sebagaimana dengan ibu yang telah masuk Islam, baik dengan memberikan harta atau yang lainnya. Demikian pula dengan ayah yang masih kafir dan yang lainnya, misalnya dengan saudara yang masih musyrik.”
Wallahu A’lam