Gaza – Istanbul (Anadolu)
Gerakan Hamas menanggapi pernyataan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Mike Waltz, yang menyatakan bahwa kelompok tersebut “memilih perang daripada membebaskan sandera.” Hamas menilai pernyataan itu sebagai bentuk distorsi terhadap fakta di lapangan.
Dalam pernyataan resminya pada Jumat (21/3), Hamas menuding Amerika Serikat berperan dalam mendukung kebijakan Israel di Jalur Gaza. Hamas menyebut bahwa Washington berkolusi dengan Israel dalam tindakan yang mereka anggap sebagai “genosida, blokade, dan upaya kelaparan terhadap lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza.”
Hamas juga menyatakan bahwa pihaknya telah mengajukan inisiatif yang jelas untuk menghentikan pertempuran dan mengusulkan pertukaran tahanan secara menyeluruh. Namun, menurut Hamas, Israel menolak proposal tersebut dan secara sengaja menggagalkannya. Gerakan ini menuding Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan negosiasi, dengan mengklaim bahwa kepentingan politiknya menjadi prioritas utama, sebagaimana disebutkan dalam laporan internal aparat keamanan Israel.
Sementara itu, dalam sebuah unggahan di platform X, Waltz menyatakan dukungannya terhadap langkah militer Israel di Gaza. Ia berpendapat bahwa Israel “memiliki hak penuh untuk membela diri dari serangan Hamas.” Waltz juga menyebut bahwa gencatan senjata bisa diperpanjang jika Hamas membebaskan seluruh sandera yang masih ditahan.
Sebagai tanggapan, Hamas menegaskan bahwa Israel yang bertanggung jawab atas gagalnya upaya gencatan senjata. Hamas menuding Israel terus melakukan serangan serta mempertahankan blokade yang berdampak pada kondisi kemanusiaan di Gaza. Hamas juga menolak narasi yang menyebut Israel memiliki hak membela diri, dengan alasan bahwa statusnya sebagai pihak yang menguasai wilayah pendudukan tidak membenarkan tindakan militernya.
Data dari otoritas kesehatan di Gaza mencatat bahwa sejak serangan terbaru Israel dimulai kembali pada Selasa (19/3) hingga Kamis (21/3) malam, sebanyak 591 warga Palestina tewas dan 1.042 lainnya mengalami luka-luka. Mayoritas korban dilaporkan adalah perempuan dan anak-anak.
Hamas menegaskan bahwa konflik berkepanjangan di Gaza serta tingginya jumlah korban sipil seharusnya menjadi perhatian komunitas internasional. Gerakan ini menyatakan bahwa perlawanan bersenjata yang mereka lakukan adalah bentuk pertahanan terhadap wilayah dan rakyat Palestina.
Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel sebelumnya telah berlangsung pada tahap pertama mulai 19 Januari 2025 dan berakhir pada 1 Maret 2025. Namun, Hamas menuding Netanyahu mengingkari kesepakatan untuk melanjutkan ke tahap kedua. Hamas menyebut bahwa Israel ingin membebaskan lebih banyak warganya yang ditahan tanpa memenuhi komitmen penghentian serangan dan penarikan penuh dari Gaza.
Sejak eskalasi konflik yang dimulai pada 7 Oktober 2023, dukungan militer Amerika Serikat terhadap Israel menjadi sorotan berbagai pihak. Menurut data dari otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 162.000 warga Palestina telah menjadi korban tewas atau luka-luka, dengan mayoritas di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 14.000 orang dilaporkan hilang akibat serangan yang terus berlangsung.