Cahaya dakwah memancar di Makkah. Allah Ta’ala menghendaki terjadinya konfrontasi antara al-haq dan al-bathil pada masa berseminya dakwah itu, di negeri kelahirannya.
Konfrontasi makin menjadi-jadi sehingga al-haq terisolir oleh kebatilan yang bersenjata. Kaum muslimin terus bersabar hingga Allah Ta’ala memberikan jalan keluar. Tahun berlalu, hari berganti, dan kaum kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan dan fitnahnya kepada kaum mukminin, sehingga keberadaaan mereka ketika itu berada dalam situasi difitnah agamanya, disiksa fisiknya, melarikan diri ke dari tanah airnya untuk menyelamatkan aqidahnya. Ada yang berhijrah ke Habasyah, ada yang harus terus berhadapan dengan kaum kafir di setiap waktu.
Di tengah gelap malam itulah tampak seberkas cahaya rahmat Allah pada kaum mukminin, dan pertolongan-Nya bagi alam semesta. Maha Benar Alla yang berfirman,
“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan Telah meyakini bahwa mereka Telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan kami, lalu diselamatkan orang-orang yang kami kehendaki. dan tidak dapat ditolak siksa kami dari pada orang-orang yang berdosa.” (QS. Yusuf: 110)
Yatsrib “Al Madinah al Munawwarah” membuka diri untuk kaum mukminin, siap menerima para mujahid, memberikan izin bagi berdirinya masyarakat muslim baru dengan aman.
Rasulullah Mengizinkan Para Sahabatnya Berhijrah ke Madinah
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kaum muslimin ketika masih berada di Makkah,
رَأَيْتُ فِي المَنَامِ أَنِّي أُهَاجِرُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى أَرْضٍ بِهَا نَخْلٌ ، فَذَهَبَ وَهَلِي إِلَى أَنَّهَا اليَمَامَةُ أَوْ هَجَرٌ ، فَإِذَا هِيَ المَدِينَةُ يَثْرِبُ
“Saat tidur aku bermimpi pergi hijrah dari Makkah ke sebuah daerah yang banyak ditumbuhi pohon kurma, aku mengira itu adalah Yamamah atau Hajar, ternyata ia adalah Kota Yatsrib.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
قَدْ أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ، رَأَيْتُ سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لاَبَتَيْنِ
“Sesungguhnya aku telah melihat tempat hijrah kalian. Aku melihatnya rindang banyak pohon kormanya di antara dua gunung.”
Para sahabat lalu berangkat hijrah bergelombang, mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka berhijrah dengan berombongan atau sendiri-sendiri. Sahabat yang pertama hijrah ke Madinah adalah Abu Salamah –Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal dan Amir bin Abi Rabi’ah bersama dengan isterinya Laila bint Hatsmah Al Adawiyyah, kemudian Abdullah bin Jahsy, Umar bin Al-Khaththab, kemudian disusul saudaranya Zaid bin Al Khaththab bersama dengan Amr dan Abdullah bin Suraqah bin Al Mu’tamir, Khunais bin Khudzafah As Suhamiy suami Hafshah, dan lain-lain. Kemudian menyusul para muhajirin lainnya. Saat itu, banyak pula wanita muslimah yang ikut berhijrah, antara lain: Zainab bint Jahsy, Hamnah bint Jahsy, Ummu Qais bint Muhshin, Ummu Hubaib bint Tsumamah, Ummu Salamah.
Kepahlawanan dalam Hijrah
Hijrah kaum mukminin dari Makkah ke Madinah bukanlah pekerjaan mudah dan ringan. Kaum muslimin harus meninggalkan rumah, harta dan keluarganya. Mereka melakukannya karena lebih memilih Allah dan Rasul-Nya daripada dunia dengan harta bendanya. Mereka menjual dirinya untuk mendapatkan ridha Allah.
Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,
“(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 7)
Hijrahnya Shuhaib
Ketika Shuhaib berhijrah ke Madinah sejumlah kaum musyrikin mengejarnya. Kemudian ia keluarkan busur panahnya dan mengatakan: ”Wahai sekalian kaum Quraisy, bukankah kalian telah mengetahui bahwa saya adalah orang yang paling jago memanah. Demi Allah kalian tidak akan pernah dapat sampai kepadaku sehingga aku telah memanah kalian dengan panah yang aku miliki, kemudian aku penggal kalian dengan pedangku ketika anak panahku sudah habis.”
Kafir Quraisy berkata: ”Dahulu kamu datang kesini dalam keadaan miskin yang hina, lalu kamu memiliki banyak harta, seperti sekarang, kemudian kamu hendak keluar dengan harta dan jiwamu. Demi Allah, hal ini tidak boleh terjadi.”
Shuhaib menjawab: ”Bagaimana pendapat kalian jika seluruh hartaku untuk kalian semua, apakah kalian akan membiarkanku pergi.”
Kafir Quraisy mengatakan: ”Tunjukkah hartamu, lalu aku lepaskan dirimu.” Lalu mereka berjanji, dan Shuhaib menunjukkan harta bendanya.
Sampailah Shuhaib bertemu dengan Rasulullah shallallahu ’alihi wa sallam yang menyambutnya dengan mengatakan: ”Beruntunglah jual belimu wahai AbuYahya.” Lalu turunlah ayat: ”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)
Abu Salamah dan Isterinya Berhijrah
Ketika Abu Salamah telah siap berangkat hijrah ke Madinah bersama dengan isteri dan anaknya, keluarga isterinya mengatakan: ”Kami tidak akan membiarkanmu pergi dengannya ke negeri lain.” Mereka lalu mengambil paksa isteri dan anaknya. Ummu Salamah pun dipisahkan dari anaknya. Abu Salamah akhirnya berangkat sendirian ke Madinah. Sejak saat itu Ummu Salamah setiap pagi selalu pergi ke Al-Abthah (tempat antara Makkah dan Mina), kemudian menangis di sana sampai sore. Hal ini dia lakukan hampir satu tahun. Salah seorang kerabatnya merasa kasihan dan mengatakan: ”Mengapa tidak kalian keluarkan saja wanita miskin ini. Kalian telah pisahkan dia dari suami dan anaknya.”
Lalu kerabatnya yang lain akhirnya berkata: ”Susullah suamimu, jika kamu mau.”
Kemudian Bani Abdul Asad mengembalikan anaknya. Kemudian Ummu Salamah naik di atas kendaraannya dan membawa anaknya ke pangkuannya, lalu aku berangkat menyusul suaminya ke Madinah. Tidak ada orang lain lagi yang menemaninya.
Sesampainya di Tan’im Ummu Salamah bertemu dengan Utsman bin Thalhah, saudara Bani Abduddar. Ia berkata kepada Ummu Salamah: ”Hendak kemana kamu wahai anak perempuan Abu Umayyah?” Ummu Salamah menjawab: ”Menyusul suamiku di Madinah.” Ia berkata: ”Tidak ada orang yang menemanimu?” Ummu Salamah menjawab: ”Tidak ada, hanya Allah dan anakku ini.” Utsman bin Thalhah berkata: ”Demi Allah, kamu tidak boleh dibiarkan sendirian.” Lalu ia mengambil tali kendali onta Ummu Salamah dan pergi berangkat mengantarkannya ke Madinah, kemudian ia kembali ke Makkah.
Ketakutan Kaum Musyrikin pada Hijrah
Kaum musyrikin panik ketakuan terhadap hijrahnya kaum muslimin. Karena dengan hijrah, kaum muslimin akan memiliki kekuatan di Madinah. Apalagi Madinah adalah jalan ke Syam, jalur perdagangan kaum Quraisy.
Mereka takut kaum muslimin akan memutus jalur perdagangan mereka. Hal ini sama saja dengan memutus nadi kehidupan dan aliran darah mereka, terlebih lagi kaum musyrikin telah menjarah harta kaum muslimin, menyiksa dan mengusirnya dari Makkah. Mereka sangat takut terjadinya pembalasan yang setimpal.
(Bersambung)