Kaum muslimin rahimakumullah.
Diriwayatkan bahwa pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah ada seorang laki-laki bernama Abu Juhainah, Ia mempunyai dua macam takaran yang besar dan yang kecil. Bila ia membeli gandum atau kurma dari para petani ia mempergunakan takaran yang besar, akan tetapi jika ia menjual kepada orang lain ia mempergunakan takaran yang kecil.
Perbuatan seperti itu menunjukkan adanya sifat tamak, ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri walaupun dengan jalan merugikan orang lain.
Allah Ta’ala mengecam perbuatan buruk tersebut dengan firman-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-Muthaffifin,
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang…” (Q.S. Al-Muthaffifin, 83: 1)
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa lafal wailun (kecelakaan besarlah), merupakan kalimat yang mengandung makna azab; atau merupakan nama sebuah lembah di dalam neraka Jahanam bagi orang-orang yang curang.
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Q.S. Al-Muthaffifin, 83: 2 – 3)
Kaum muslimin rahimakumullah.
Ayat ini hendaknya tidak hanya difahami bahwa kecurangan yang dicela oleh Allah Ta’ala hanyalah kecurangan dalam hal timbang-menimbang barang. Melalui ayat ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya, Islam amat membenci segala macam kecurangan dalam berbagai aspek pergaulan hidup. Contohnya, jika ada seorang majikan mempekerjakan buruh, dan mendorongnya supaya bekerja keras, namun ia sendiri tidak mau menunaikan hak buruhnya tersebut dengan semestinya, maka orang seperti itu dapat dikategorikan sebagai al-muthaffifin, golongan yang curang!
Sebaliknya, si buruh pun dapat disebut sebagai al-muthaffifin, jika ia selalu mencari kesempatan untuk mengaso dan menghindari pekerjaan, sementara itu ia selalu menuntut dengan keras kepada majikannya agar segera membayar atau menaikkan upahnya.
Kecurangan semacam itu harus dihindari, baik berkenaan dengan perkara-perkara kecil maupun perkara-perkara besar, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Allah Ta’ala mengecam kecurangan ini dengan kecaman yang amat keras, karena dampak buruknya yang demikian dahsyat pada keharmonisan hidup bermasyarakat: Kecurangan yang merajalela akan menyebabkan pudarnya rasa saling percaya di antara sesama! Kecurangan yang merajalela akan menyebabkan munculnya rasa saling curiga!
Lalu apakah yang akan terjadi pada sebuah masyarakat jika rasa saling percaya di antara mereka telah pudar? Apakah yang akan terjadi pada sebuah masyarakat jika rasa saling curiga antara satu dengan yang lainnya telah begitu menggejala?
Walhasil, masyarakat seperti itu pasti akan menjadi ‘masyarakat yang marah’!
Bukankah ini yang sedang terjadi pada masyarakat kita saat ini?
*****
Kaum muslimin rahimakumullah.
Allah Ta’ala mengingatkan manusia agar tidak meremehkan sikap curang. Dalam surat Al-Muthaffifin ini Dia mengingatkan manusia-manusia yang curang tentang pertanggungjawaban amalnya di akhirat kelak,
أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
“Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan…” (Q.S. Al-Muthaffifin, 83: 4)
Allah Ta’ala mengingatkan manusia-manusia curang bahwa kecurangan itu tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja di akhirat kelak. Jangan sampai manusia mengira, kecurangannya akan terkubur seiring dengan terkuburnya jasad mereka setelah mati. Melalui ayat ini Allah Ta’ala mengingatkan mereka, bahwa mereka pasti akan dibangkitkan dan diminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka kerjakan di dunia!
لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
“Pada suatu hari yang besar…” (Q.S. Al-Muthaffifin: 5)
Ya, orang-orang curang itu akan diminta pertanggungjawabannya pada hari yang amat dahsyat dan menggoncangkan jiwa!
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Q.S. Al-Muthaffifin, 83: 6).
Bukanlah perkara sepele ketika manusia berdiri di hadapan Allah Rabbul ‘alamin, karena Dia sesungguh-Nya mengetahui aib-aib mereka; Dia mengetahui perbuatan buruk serta kecurangan-kecurangan mereka. Saat itu manusia tidak dapat menghindarkan diri dari-Nya. Tidak ada bagi mereka tempat untuk berlari.
Orang-orang curang dan durhaka itu pasti akan tergoncang dengan ketakutan yang luar biasa hingga air peluh mereka terus mengucur dan menenggelamkan mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى يَغِيبَ أَحَدُهُمْ فِي رَشْحِهِ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
“Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam, sampai-sampai ada salah seorang diantara kalian tenggelam dalam air peluhnya hingga (air peluh itu) sampai pertengahan kedua telinganya.” (Hadits dari Ibnu ‘Aun, dari Nafi’, dari Ibnu Umar).
Naudzubillahi min dzalik…jangan sampai kita menjadi al-muthaffifin…
Maraji’:
- Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid X, Depag RI
- Tafsir Jalalain
- Tafsir Ibnu Katsir