(23 Sya’ban 492 H / 15 Juli 1099 M)
Peristiwa memilukan ini berawal dari kebijakan Kerajaan Seljuk yang melarang orang-orang Kristen mengunjungi Baitul Maqdis karena alasan keamanan. Padahal sebelum itu, orang-orang Kristen dari seluruh dunia bebas datang berkunjung ke Baitul Maqdis untuk mengerjakan upacara keagamaannya. Mereka datang dalam jumlah besar dengan membawa obor dan pedang dikelilingi pasukan gendang dan seruling serta diiringi pula oleh pasukan bersenjata lengkap.
Awalnya upacara seperti itu dibiarkan saja karena dasar toleransi agama. Tetapi kemudian Kerajaan Seljuk melarangnya karena menganggap upacara tersebut semakin berbahaya dan sering menyebabkan kegaduhan dan huru-hara. Kebijakan ini ditentang orang-orang kristen Eropa. Para pemuka agama Kristen kemudian berkampanye kepada jemaatnya bahwa kebebasan mereka dalam beragama telah dinodai umat Islam.
Diantara mereka yang paling getol menyulut kemarahan umat Kristen adalah Patriach Ermite. Mantan tentara yang menjadi paderi itu giat berkeliling Eropa, dengan mengenderai seekor keledai sambil memikul kayu salib besar. Dia menceritakan kisah kunjungannya ke Baitul Maqdis yang dibumbui kebohongan. Katanya, dia melihat penodaan kesucian ke atas kubur Nabi Isa. Diceritakan pula bahwa jemaat Kristen telah dihina, dizalimi dan dinista oleh orang-orang Islam di Jerussalem. Ia kemudian menyerukan agar Tanah Suci dibebaskan dari genggaman umat Islam.
Paus Urbanus II kemudian mengumumkan ampunan dosa bagi mereka yang bersedia mengikuti Perang Suci itu. Maka keluarlah ribuan umat Kristen untuk mengikuti perang dengan memikul senjata. Mereka meletakkan tanda Salib di badannya, oleh kerana itulah perang ini disebut Perang Salib.
Paus Urbanus menetapkan pemberangkatan tentara pada 15 Agustus 1095. Tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu, mereka mendesak Paderi Patriach Ermite agar berangkat memimpin mereka. Maka Ermite pun berangkat dengan 300,000 orang lelaki dan perempuan. Mereka bergerak dan dielu-elukan di setiap negeri yang dilaluinya. Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Salib yang sudah kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk. Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan walaupun mereka sama-sama beragama Kristen. Dari 300,000 orang pasukan Salib itu hanya 7000 saja yang selamat sampai di Semenanjung Thracia. Mereka itu pun kemudian binasa saat mendarat di pantai Asia kecil karena terlibat pertempuran dengan pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan.
Setelah itu datanglah pasukan Salib yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse dengan kekuatan 150,000 pasukan. Mereka menyeberang selat Bosfur dan memasuki wilayah kerajaan Islam.
Pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan yang hanya berkekuatan 50,000 orang berupaya menghadang pasukan itu. Namun seiring datangnya bala bantuan pasukan Kristen secara bergelombang dari negara-negara Eropa satu persatu kota dan Benteng kaum Muslimin akhirnya jatuh ke tangan kaum Salib. Sungguh malang, Kalij Arselan tidak mendapatkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang lain, karena mereka sibuk dengan kemelut dalam negeri masing-masing.
Maka jatuhlah Baitul Maqdis pada 15 Juli 1099. Disusul terjadinya keganasan yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Penduduk sipil, baik lelaki, perempuan dan anak-anak dibantai di jalan-jalan, di rumah-rumah, dan di masjid-masjid. Ada yang dipaksa terjun dari puncak menara dan bumbung-bumbung rumah. Ada yang dibakar hidup-hidup , diseret dari tempat persembunyian bawah tanah, diseret ke hadapan umum dan dikorbankan di tiang gantungan. Pasukan salibis itu pun membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Total korban sebanyak 60,000 orang, dibunuh dalam masa 8 hari. Perempuan, anak-anak dan orang tua, tanpa terkecuali.
Dikutip dari buku: Ensiklopedia Para Wali Siri 3 “Himpunan Kisah Kekasih Allah” (Berbahasa Malaysia), Penulis: Hj. Ahmad Muhd Abd. Ghaffar.