(Ringkasan dialog Ali Al-Sanad dengan Dr. Abdullah An-Nafisi [pemikir strategis dan pemerhati gerakan Islam asal Kuwait] dalam program Al-Mawazin Al-Jazeera Qatar)
Seakan takdirnya adalah jauh dari kekuasaan, begitulah nasib gerakan Islam. Sejak runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani di awal abad ke 20 lalu kemudian lahirlah “Nation State”, sejarah mencatat episode-episode penting upaya gerakan Islam untuk meraih kekuasaan, yang sayangnya, tak satupun darinya yang berhasil sukses sampai ke puncak kekuasaan atau mampu mempertahankan kekuasaan yang diraihnya.
Gerakan Islam yang merupakan kelanjutan dari usaha para tokoh ulama dan para pemikir Arab dan Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani, Syeikh Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lain di akhir abad ke 19 bertujuan demi kebangkitan umat Islam dan upaya melawan kekuatan kolonialisme Barat. Hingga kemudian di dekade yang ketiga di awal abad ke 20 lahirlah gerakan Islam yang pertama yaitu gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Syeikh Hasan Al-Banna.
Tepat di tahun 1952, Para Perwira Bebas (Dhubbat Al-Ahrar) Mesir melakukan revolusi Juli yang terkenal (kudeta terhadap pemerintahan Raja Faruq) dan Ikhwanul Muslimin pun menduga bahwa momentum sejarah yang mereka tunggu-tunggu untuk meraih kekuasaan telah tiba waktunya. Namun Para Perwira Bebas telah dulu menyadari obsesi Ikhwan terhadap kekuasaan. Dan kemudian, gelapnya jeruji besi menjadi sejarah tak terpisahkan dari perjalanan organisasi dan menjadi memori buruk yang begitu kuat terpatri sejak waktu itu hingga era kontemporer saat ini.
Disisi lain, benih yang disemai oleh Hasan Al-Banna di bumi Mesir ternyata telah menemukan lahan subur lain untuk kemudian tumbuh bersemi di negara-negara Arab dan Islam. Ikhwanul Muslimin yang awalnya lahir di Mesir kemudian berkembang dan membuka cabang di banyak negara-negara di dunia hanya dalam beberapa tahun yang singkat. Bersamaan dengan itu, Tanzhim Ad-Duwali atau Organisasi Internasional Ikhwanul Muslimin pun dibentuk untuk mengintegrasikan langkah-langkah perjuangan jama’ah.
Disamping Jama’ah Ikhwanul Muslimin, lahir juga beberapa organisasi lain yang secara pemikiran dan konsep dakwah terpengaruh oleh pemikiran madrasah Ikhwanul Muslimin. Mereka juga bergelut dalam konflik politik dengan penguasa otoriter di negaranya masing-masing. Dan semuanya bisa dikatakan juga gagal merealisasikan target-target yang dicetuskan dan diimpikan oleh Hasan Al-Banna dan para ‘founding fathers’ jama’ah untuk menguasai pemerintahan dan merealisasikan proyek-proyek islami yang dicanangkan.
Lalu tiba-tiba, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengedepankan kekerasan dan radikalisme dengan latar belakang keislaman. Oleh sebagian pengamat, kelompok ini dianggap lahir sebagai reaksi dari buntunya solusi politik dan bercokolnya rezim otoriter dan monarki absolut dengan segala bentuknya di negara-negara Arab, serta gagalnya proyek-proyek islami yang seharusnya bisa menjadi solusi dari bobroknya pemerintahan otoriter tersebut.
Lahirnya gerakan sempalan yang radikal tersebut sedikitnya menjelaskan bagaimana gagalnya misi Islamiyyun (aktivis-aktivis gerakan Islam) dan semua upaya politik mereka melalui berbagai metode dan jalur resmi yang tersedia dan memungkinkan. Hal ini diperparah oleh ketidakmampuan mereka dalam merangkul dan menerima pemikiran-pemikiran baru yang berbeda dari sebagian pemikir-pemikir Islam lain yang notabene juga lahir dari rahim gerakan Islam sendiri.
Karenanya, ada pertanyaan besar yang kemudian mengemuka dan harus dijawab yaitu; Kenapa gerakan Islam gagal di dunia Arab? Apa kondisi subjektif dan objektif yang menyebabkan terjadinya kegagalan demi kegagalan itu? Lalu apa implikasi, konsekwensi, dan akibat dari kegagalan tersebut serta efeknya terhadap dunia Arab di era kontemporer ini?
Dalam episode pertama program Al-Mawazin Al-Jazeera Qatar yang dipandu oleh Ali Al-Sanad, pemikir strategis asal Kuwait yang juga pemerhati gerakan Islam khususnya Ikhwanul Muslimin; Dr. Abdullah An-Nafisi menjawab dan menjelaskan beberapa sebab kegagalan Ikhwan di dunia Arab sejak masa Hasan Al-Banna, era mursyid kedua Ikhwan, Ustadz Hasan Al-Hudhaibi hingga almarhum presiden Muhammad Mursi yang dikudeta oleh militer Mesir di tahun 2013 dan kemudian wafat pada Juni 2019.
Menurut An-Nafisi, gerakan Islam jatuh dalam beberapa kesalahan di masa silam. Diantara kesalahannya yang paling fundamental adalah kesalahan dalam bersikap dan menentukan posisinya. Penyebabnya adalah karena gerakan Islam kehilangan beberapa unsur penting untuk mencapai kesuksesan. Diantaranya adalah hilangnya atau tidak adanya visi strategis, target dan tujuan detail jama’ah atau organisasi secara global. Adapun slogan bahwa “Islam adalah solusi” itu hanyalah sebuah syi’ar, bukan visi. Syi’ar ini tepat, namun syi’ar semata tidak bisa membentuk atau melahirkan visi. Karena syi’ar tujuannya adalah untuk memobilisasi, menggerakkan, merekrut dan merebut pendukung baru.
Adapun sebuah visi, maka ia butuh kepada para pemikir. Dan para pemikir di lingkungan gerakan Islam sangat sedikit jumlahnya. Benar, gerakan Islam punya banyak ulama, khatib dan da’i, namun mereka bukanlah para pemikir. Seorang pemikir berinteraksi dengan konsep, beda dengan para da’i yang berinteraksi dengan akhlak dan tingkah laku. Tokoh seperti Sayyid Qutb (Mesir) dan Malek Bin Nabi di Al-Jazair adalah dua contoh pribadi yang layak diletakkan di deretan para pemikir islam. Namun selain dari keduanya, kebanyakannya hanyalah para ulama, khatib dan da’i. Dalam berinteraksi, seorang khatib lebih menggunakannya perasaannya, sementara seorang pemikir berinteraksi dengan menggunakan logikanya, tentang persepsi dan ide-ide. Karenanya, Sayyid Qutb misalnya mengarang beberapa buku dalam konteks ini seperti Khashaish At-Tashawwur Al-Islamy, Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah Fi Al-Islam, Ma’rakah Al-Islam wa Ar-Ra’sumaliyah, Al-Mustaqbal Li Hadza Ad-Din dan lain-lain. Gerakan Islam secara umum sayangnya kurang memberikan perhatian pada proses dan aktivitas pemikiran.
Menurut An-Nafisi, gerakan Islam sebenarnya sudah berusaha melakukan perubahan dan menambal celah-celah yang menjadi penyebab kegagalannya. Hanya saja perubahan tersebut berjalan dengan lamban dan tidak terbuka. Gerakan Islam baik Ikhwan dan selainnya sebenarnya mengusung proyek yang agung, ambisius dan strategis. Syi’ar bahwa Islam adalah solusi sejatinya adalah sebuah obsesi dan proyek yang luar biasa yang artinya kita menolak realitas politik yang ada dan menyodorkan Islam sebagai solusi. Namun syi’ar ini tidak dibarengi dengan penelitian yang rinci secara pemikiran. Bagaimana maksudnya Islam adalah solusi? Lalu bagaimana kemudian kita bisa merealisasikannya dalam program-program yang realistis.
Dr. Abdullah An-Nafisi sendiri pernah bertemu dengan Erdogan dan tokoh-tokoh AKP. Ketika beliau melihat tempat-tempat pembuangan sampah, ketelanjangan dan problem-problem lain di Istanbul, beliau menanyakan apa langkah atau program yang disiapkan AKP sebagai partai Islam untuk membenahi masalah-masalah tersebut yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. An-Nafisi terkejut ketika tahu bahwa AKP tidak menyiapkan apa-apa. Alasannya adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasul di periode Mekkah, ada banyak tempat-tempat prostitusi saat itu di Mekkah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak disibukan oleh perkara-perkara tersebut di fase itu, sebab beliau punya visi yang lebih urgent dan jauh yaitu bagaimana menanamkan akidah tauhid dan menjauhkan berhala dari penduduk Mekkah.
Gerakan Islam harusnya punya visi yang jelas dan prioritas terkait isu militer, peradilan, ekonomi dan lain-lain yang seharusnya memang diprioritaskan. Adapun jika mereka disibukan oleh perkara-perkara kecil maka kemungkinan mereka akan tenggelam dan larut dalam isu-isu kecil tersebut dan problem-problem yang prioritas pun akhirnya terabaikan.
Misalnya, ketika Gamal Abdul Nasir datang bernegosiasi dengan Ustadz Hasan Al-Hudhaibi (Mursyid kedua IM) di rumah Sholih Abu Raqiq pasca revolusi Juli, Abdul Nasir menawarkan agar Ikhwan dilebur dibawah naungan Dewan Revolusi. Al-Hudhaibi saat itu menyetujuinya dengan syarat ditegakkannya syariat Islam seperti kewajiban berhijab, penutupan tempat-tempat miras dan lain-lain.
Bayangkan, Abdul Nasir yang saat itu berada di posisi yang sangat kuat, ia menguasai militer dan lembaga-lembaga negara serta mulai diakui oleh dunia internasional lalu didikte dengan syarat seperti itu. Menurut An-Nafisi, jawaban Al-Hudhaibi sama sekali tidak mencerminkan visi yang jauh. Justeru Gamal Abdul Nasir yang punya visi dan misi yang jauh dan prioritas dimana ia ingin mereformasi militer terutama dari persenjataan-persenjataan yang rusak, reformasi pertanian dan distribusi lahan pertanian yang baik, serta mengusir Inggris dari terusan Suez. Dalam kontek ini (menurut An-Nafisi), visi Abdul Nasir lebih jauh ketimbang Al-Mursyid.
Saat ditanya tentang alasan dan faktor lahirnya Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan Islam pertama apakah karena faktor moral, agama atau politis? An-Nafisi menjelaskan bahwa kita perlu mundur ke belakang saat Ikhwan pertama kali didirikan dan tumbuh di Isma’iliyah pada tahun 1928. Saat itu, Isma’iliyah merupakan markas dan pusat militer Inggris di Mesir. Hasan Al-Banna remaja yang melihat dekadensi moral dan pelecehan tentara Inggris terhadap rakyat Mesir saat itu kemudian mendirikan sebuah organisasi kecil untuk melawan dekadensi moral. Al-Banna kecil menganggap bahwa problem utamanya adalah problem moral. Namun setelahnya, setelah beliau pindah ke Darul Ulum, ke Kairo, Al-Banna melihat bahwa problem Mesir adalah problem politik, dan semua problematikanya saat itu dengan sepengetahuan pemerintah. Maka visi Al-Banna pun kemudian menjadi lebih luas, visi politik pun lahir dan pelatihan-pelatihan semi militer pun mulai digulirkan untuk kader-kader Ikhwan.
Selain itu, An-Nafisi juga ditanya terkait kritikannya terhadap keputusan Hasan Al-Banna yang menuntut pembubaran partai-partai politik saat itu (tahun 40an) yang mengakibatkan ketegangan dan kebuntuan politik dengan pemerintah serta hubungannya dengan gaya perpolitikan kontemporer yang sangat mempertimbangkan sisi diplomasi dalam permainan politik yang dinamis.
Menurut An-Nafisi, problem utama Mesir tahun 40an adalah kolonialisme Inggris. Ikhwan sendiri memiliki pasukan sukarelawan semi militer yaitu Nizham Khas atau Tanzim Sirri yang tugas utamanya adalah melawan imperialisme Inggris terutama di provinsi Kanal, bukan pembunuhan tokoh-tokoh negara sebagaimana yang diframing oleh lawan-lawan politiknya. Nizham Khas melakukan beberapa operasi menyerang markas dan kepentingan Inggris di Mesir sebagaimana mereka juga ikut terlibat dalam perang Arab-Israel tahun 1948 dan perang Kanal mengusir penjajah Inggris tahun 1951.
Sayangnya ketika sayap militer Ikhwan ini mulai tercium dan visi Ikhwan pun mulai komprehensif, merekapun mulai ‘diperhitungkan’ oleh partai-partai politik yang menjadi lawan mereka dan dekat dengan Inggris. Lalu dibunuhlah dan terbunuhlah beberapa tokoh politik saat itu seperti Ahmed El-Khazendar, Muhammad Fahmi Naqrasyi dan Amin Osman. Lampu sorot pun mulai difokuskan ke Tanzim Sirri dan Ikhwan secara umum lalu mereka diframing sebagai organisasi teroris.
Terkait pertanyaan apakah memburuknya hubungan Ikhwan dengan para perwira bebas (para perwira militer yang melakukan revolusi Juli tahun 1952) karena memang ada niat tersembunyi dari awal oleh Dhubbat Al-Ahrar untuk menghabisi Ikhwan atau memang memburuknya hubungan tersebut karena ketidakmampuan Ikhwan dalam mengelola hubungan mereka dengan Dhubbat Al-Ahrar? An-Nafisi menjelaskan bahwa perlu diketahui bahwa dewan tertinggi militer yang melakukan revolusi Juli tahun 1952 mayoritas mereka sudah terpengaruh dengan pemikiran Ikhwan, sudah ada take and give antara mereka dan Ikhwan, bahkan sebagian mereka sudah membai’at Ikhwan seperti Gamal Abdul Nasir, Kamaluddin Husein, Abdul Latif Al-Baghdadi, Husein As-Syafi’i. Semua mereka sudah membai’at Ikhwan dan mereka sudah menjadi anggota dalam organisasi. Maka, sebagai amanah sejarah, saya (An-Nafisi) harus mengatakan dengan jujur bahwa meletusnya konflik tersebut sebenarnya justru dari kesalahan sikap Ikhwan sendiri. “……Katakanlah: ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’……” (Q.S Ali Imran: 165).
Menurut An-Nafisi, Ikhwan salah dalam menentukan sikap. Ketika mereka melihat kehati-hatian dan kecenderungan Dewan Revolusi untuk bernegosiasi dengan Ikhwan, mereka meyakini bahwa Dewan Revolusi takkan mampu bergerak dan melangkah lebih jauh tanpa dukungan dan support dari Ikhwan. Karenanya, Ikhwan mulai bersikap ‘meninggi’, mereka mulai mewanti-wanti bahwa Dewan Revolusi tidak boleh memutuskan satu keputusan apapun tanpa persetujuan lebih dulu dari Maktab Irsyad Ikhwan dan tanpa dipelajari dulu oleh Maktab Irsyad.
Presenter Ali Al-Sanad kemudian membandingkan kesalahan Ikhwan dalam menentukan sikap terhadap Dhubbat Al-Ahrar di tahun 50an dengan sikap Ikhwan yang memutuskan untuk terjun dalam pemilu presiden tahun 2012 pasca tumbangnya Husni Mubarak, apakah hal tersebut juga termasuk dari kesalahan Ikhwan dalam memutuskan bagaimana bersikap dan mengambil keputusan?
An-Nafisi menceritakan bahwa pada tahun 2012 ia terbang ke Kairo dan meminta untuk bertemu dengan Presiden Muhammad Mursi. Mursi yang saat itu akan bertemu dengan Menlu Iran dan agenda padat lainnya akhirnya mengutus Emad Abdul Ghofar (penasehat Mursi) untuk bertemu dengan An-Nafisi. Dr. An-Nafisi menjelaskan bahwa sebagaimana ia dulu mewanti-wanti agar Ikhwan jangan mencalonkan wakilnya dalam pemilu presiden (meski akhirnya tetap dicalonkan dan Mursi menang), beliau kembali mewanti-wanti Ikhwan agar jangan masuk dalam pemilu yang akan digelar. Beliau mewanti-wanti Ikhwan agar jangan memikul tanggung jawab besar dan berat pemerintahan sendirian dengan menguasai lembaga-lembaga legislatif. Biarkan Ikhwan tetap eksis bergerak dari bawah tanpa terlihat nyata di permukaan. Jangan memikul beban sendiri dan jangan samakan politik dengan elektabilitas dan kepopuleran. Karena bisa jadi sebuah partai atau organisasi memiliki elektabilitas dan kepopuleran yang tinggi namun posisinya lemah secara politik. Saat itu, An-Nafisi berfirasat kuat bahwa Ikhwan akan jatuh dan gagal dalam ujian tersebut.
Kesalahan dalam menentukan sikap itu terjadi setidaknya dua kali; dengan Dhubbat Al-Ahrar di tahun 1952 dan dengan militer tahun 2012 saat Arab Spring. Ali Al-Sanad kemudian mempertanyakan sampai kapan kesalahan dan kegagalan menentukan sikap dan posisi ini akan terus terjadi dalam sebuah organisasi besar seperti Ikhwan dan menuntun jama’ah kepada kehancuran?
Dr. An-Nafisi menjelaskan bahwa yang mengambil keputusan sebenarnya adalah Maktab Irsyad sedangkan Presiden Mursi hanya menjalankan keputusan yang sudah diputuskan oleh Maktab Irsyad. Disini, ada celah yang salah (menurut An-Nafisi). Pertama, bahwa Maktab Irsyad yang (kalau tidak salah) terdiri dari 13 orang adalah generasi tahun 70an yang rata-rata sudah pernah mendekam selama 20 tahun atau 15 tahun dalam penjara dimana mereka tidak mengetahui apa saja yang terjadi di masyarakat. Karenanya, pembacaan mereka terhadap isu-isu politik sangat minim. Akibatnya, langkah-langkah dan keputusan Maktab Irsyad dan Presiden Mursi (banyak) yang keliru.
Demikian menurut An-Nafisi.