Dalam poin kedua Ushulul ‘Isyrin, Hasan al-Banna menegaskan:
وَالْقُرْآنُ الْكَرِيمُ وَالسُّنَّةُ الْمُطَهَّرَةُ مَرْجِعُ كُلِّ مُسْلِمٍ فِي تَعَرُّفِ أَحْكَامِ الْإِسْلَامِ، وَيُفْهَمُ الْقُرْآنُ طِبْقًا لِقَوَاعِدِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ تَكَلُّفٍ وَلَا تَعَسُّفٍ، وَيُرْجَعُ فِي فَهْمِ السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ إِلَى رِجَالِ الْحَدِيثِ الثِّقَاتِ.
“Al-Qur’an yang mulia dan Sunnah yang suci merupakan rujukan setiap Muslim dalam mengenal hukum-hukum Islam. Al-Qur’an dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab tanpa dipaksakan dan tanpa penyimpangan. Sedangkan dalam memahami Sunnah yang suci, rujukannya adalah para ahli hadis yang terpercaya.”
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Rujukan Utama
Pernyataan Hasan al-Banna ini menegaskan prinsip yang telah disepakati oleh seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu bahwa sumber utama hukum dan pedoman hidup umat Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59)
Berkenaan dengan hal ini Imam al-Syafi’i dalam Al-Risalah menegaskan bahwa tidak ada jalan lain bagi seorang Muslim dalam mengetahui hukum agama kecuali dengan kembali kepada wahyu yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ﷺ.
فَلَا سَبِيلَ إِلَى أَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَعْلَمَ عِلْمَ الْخَاصَّةِ فِي شَيْءٍ مِنْ دِينِ اللَّهِ إِلَّا بِطَلَبِ ذَلِكَ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَفِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فِي السُّنَّةِ فِي أَثَرٍ عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ أَوْ الْقِيَاسِ.
“Tidak ada jalan bagi siapa pun untuk mengetahui ilmu yang khusus dalam perkara agama Allah kecuali dengan mencarinya dari Kitab Allah. Jika tidak menemukannya, maka dari Sunnah Rasulullah ﷺ. Jika tidak menemukannya dalam Sunnah, maka dari atsar para sahabat Rasulullah atau melalui qiyas (analogi).” [1]
Memahami Al-Qur’an Sesuai Kaidah Bahasa Arab
Hasan al-Banna mengingatkan bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an harus berlandaskan kaidah bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas (QS. Yusuf: 2). Ulama tafsir seperti Imam Ibn Katsir menyatakan:
وَمَنْ أَرَادَ تَفْسِيرَ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ يُطْلَبُ أَوَّلًا مِنَ الْقُرْآنِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَمِنَ السُّنَّةِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَمِنْ أَقْوَالِ الصَّحَابَةِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَمِنَ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ، فَإِنَّ الْقُرْآنَ نَزَلَ بِلِسَانِ الْعَرَبِ.
“Barang siapa ingin menafsirkan Al-Qur’an, hendaklah ia mencarinya terlebih dahulu dari (penjelasan) Al-Qur’an itu sendiri. Jika tidak menemukannya, maka dari Sunnah. Jika tidak menemukannya, maka dari perkataan para sahabat. Jika tidak menemukannya, maka dari bahasa Arab, karena sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab.” [2]
Oleh sebab itu, penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa Arab (takalluf, memaksakan makna) atau dengan pendekatan yang tidak ilmiah (ta‘assuf) akan menimbulkan penyelewengan terhadap maksud ayat.
Rujukan dalam Memahami Sunnah kepada Ahli Hadis
Bagian terakhir dari poin ini menekankan pentingnya kembali kepada para ulama hadis yang terpercaya dalam mengambil hadis dan memahami Sunnah. Hadis harus diambil dari periwayat yang tsiqah (terpercaya) melalui sanad yang sahih. Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazar menjelaskan:
مَصْدَرُ الْحَدِيثِ أَنْ يُرْوَى عَنْ عُدُولٍ ضَابِطِينَ مِثْلِهِمْ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُونُ فِيهِ شُذُوذٌ وَلَا عِلَّةٌ
“Sumber hadis yang benar adalah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil dan kuat hafalannya, dari orang yang serupa dengan mereka hingga sanadnya bersambung, tanpa ada kejanggalan dan tanpa cacat.”[3]
Para ulama hadis bukan hanya menyampaikan teks (matan), tetapi juga menjelaskan derajat keotentikan hadis dan makna yang benar sesuai dengan konteksnya.
Poin kedua ini pada hakikatnya adalah pegangan metodologis: bahwa jalan untuk memahami Islam harus dimulai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dengan pemahaman yang benar sesuai kaidah bahasa Arab dan bimbingan para ahli ilmu. Dengan cara ini, seseorang akan terhindar dari penafsiran yang salah dan penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
Catatan Kaki:
[1] Al-Syafi‘i, Al-Risalah, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 1979), 19-20.
[2] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Dar Thayyibah: Riyadh, 1999), Juz 1, halaman 14.
[3] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazar fi Tawdih Nukhbat al-Fikar, (Mu’assasah al-Risalah: Beirut, 1997), 41.