Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
Secara umum, masyarakat Sudan adalah masyarakat Sunni yang sejak ratusan tahun terwarnai oleh taṣawwuf. Pada awal abad ke-20, pemahaman Salafi (Wahabi) masuk melalui organisasi Anṣār as-Sunnah, lalu menyusul gerakan Islam (Ikhwān al-Muslimīn) yang datang memberikan warna baru dalam keberagamaan di Sudan. Tiga kelompok besar tersebut kemudian terpisah oleh berbagai ṭarīqah, loyalitas, dan partai—dari yang ekstrem kiri hingga ekstrem kanan. Sebagai contoh, gerakan Islam saja terpecah menjadi tidak kurang dari tujuh partai dan faksi.
Selama tiga dekade pertama setelah kemerdekaannya dari Mesir, pemerintah Sudan cenderung menganut ideologi sosialis-komunis dan menjadikan Uni Soviet sebagai kiblatnya. Untuk menghadapi musuh bersama, gerakan Islam kemudian membentuk koalisi yang dinamakan Jabhat Mīthāq al-Islāmī pada tahun 1968. Koalisi ini cukup unik karena merupakan gabungan dari tiga kelompok besar Islam, yaitu Ikhwān al-Muslimīn, Salafiyyīn, dan Ṣūfiyyah Tijāniyyah.
Uniknya lagi, pada akhir pemerintahan Ja‘far Numairi, gerakan Islam berhasil membujuk Numairi pada tahun 1983 untuk mengaplikasikan Syariat Islam di Sudan. Dua tahun kemudian, tokoh Partai Republik, Maḥmūd Ṭāhā, yang disinyalir berideologi kiri, dihukum mati setelah difatwakan murtad. Fatwa ini didukung oleh Rābiṭah al-‘Ālam al-Islāmī dan Majma‘ al-Buḥūṯ al-Islāmiyyah al-Azhar.
Pasca tumbangnya Numairi dan kekuasaan jatuh ke tangan Ṣādiq al-Mahdi, Omar Hasan al-Basyir melakukan kudeta terhadap pemerintahan al-Mahdi pada tahun 1989 dan menangkap tokoh gerakan Islam Sudan, Dr. Hasan at-Turabi. Di kemudian hari, al-Basyir membebaskan at-Turabi yang ternyata adalah arsitek dan otak di balik penggulingan al-Mahdi. Al-Mahdi sendiri merupakan kakak ipar dari at-Turabi.
Selama tiga puluh tahun berkuasa, al-Basyir relatif berhasil menerapkan Syariat Islam (yang bahkan dipuji oleh banyak ulama seperti Syaikh Wahbah az-Zuḥailī). Ia juga berhasil menjaga kekuasaannya di tengah berbagai pemberontakan masyarakat Sudan yang multi-etnis. Namun, al-Basyir kemudian berselisih dengan gurunya, at-Turabi. Karena beberapa fatwanya yang dianggap nyeleneh, at-Turabi dikafirkan oleh sejumlah tokoh gerakan Islam dan Salafiyyīn. Kekuasaan dan dunia yang fana akhirnya memecah belah gerakan Islam.
Sudan adalah potret sebuah negara yang sempat berhasil dipegang oleh gerakan Islam dengan penerapan syariatnya, tetapi gagal dalam menyejahterakan rakyatnya. Kegagalan ekonomi ini, selain disebabkan faktor internal seperti pemberontakan dan korupsi, juga disebabkan faktor eksternal dari negara-negara Barat, bahkan sebagian negara Arab sendiri yang memberlakukan embargo terhadap Sudan dan mendukung pemberontak di Selatan serta Darfur.
Omar al-Basyir, yang menjuluki dirinya sebagai khādim al-Qur’ān wa as-Sunnah (pelayan al-Qur’an dan Sunnah), memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Selain penerapan syariat, Sudan di masanya menjadi tempat penampungan bagi para aktivis Islam dan mujāhidīn eks perang Afghanistan yang ditolak negara asal mereka. Osama bin Laden, misalnya, pernah menghabiskan tahun-tahun yang damai di rumahnya di Syāri‘ Sittīn, Khartoum.
Sudan juga merupakan negara terdepan dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. Pada tahun 1967, Khartoum menjadi tuan rumah KTT Liga Arab yang menghasilkan Resolusi Khartoum yang terkenal dengan “The Three No’s” (tidak mengakui Israel, tidak berunding, dan tidak berdamai). Para pengungsi Palestina hidup aman dari generasi ke generasi di Sudan. Selain dukungan politik bagi Palestina, Sudan juga pernah menyalurkan senjata kepada para pejuang di Gaza pada era al-Basyir dan Mursi melalui Mesir, yang menyebabkan Israel menyerang kompleks senjata Yarmuk di Sudan pada tahun 2012.
Ketika revolusi Suriah meletus, al-Basyir membuka tangan bagi seluruh pengungsi Suriah. Mereka diterima dengan sangat terbuka. Cukup menunjukkan paspor Suriah, maka Sudan menjadi tanah air kedua bagi mereka. Mereka diizinkan bekerja, membuka usaha, bahkan diberikan kewarganegaraan Sudan. Setelah al-Basyir jatuh, pemerintahan sekuler Abdallah Hamdouk mencabut kewarganegaraan tersebut pada tahun 2020, menyebabkan banyak pengungsi Suriah terpaksa meninggalkan Sudan. Selain itu, al-Basyir juga membuka tangan bagi para pengungsi dan ulama Yaman yang melarikan diri dari kekejaman Houthi.
Salah satu kebijakan baik rezim al-Basyir yang patut dicatat adalah sikap netral negara terhadap perbedaan aliran keagamaan. Kaum Wahabi dan Ṣūfiyyah boleh berdebat keras, tetapi jika sampai menggunakan kekerasan, negara akan turun tangan. Hal unik lainnya adalah bahwa mustasyār (penasihat) PCI NU Sudan justru seorang Ikhwani, yaitu Dr. Syaikh Muḥammad al-Fātiḥ ‘Ali Ḥasanain—guru Erdogan dan penasihat Presiden pertama Bosnia, Alija Izetbegović.
Namun, salah satu kesalahan terbesar al-Basyir mungkin adalah keputusannya menggunakan jasa milisi Janjaweed (Rapid Support Forces / RSF) untuk menumpas pemberontakan di Darfur pada tahun 2003, yang menewaskan ratusan ribu warga sipil dan menyebabkan dirinya dicari Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang.
Selama 30 tahun pemerintahan al-Basyir, setelah konflik dengan at-Turabi dan perpecahan antara al-Ḥarakah al-Islāmiyyah dan Ikhwān al-Muslimīn, gerakan Islam di Sudan terpecah menjadi beberapa partai dan faksi: Ḥizb al-Mu’tamar al-Waṭanī (al-Basyir), al-Mu’tamar asy-Sya‘bī (at-Turabi), Ikhwān al-Muslimīn at-Tanzhīm al-‘Ālamī, Ikhwān al-Muslimīn as-Sūdāniyyah, al-Ḥarakah al-Islāmiyyah as-Sūdāniyyah, Ḥarakat al-Iṣlāḥ al-Ān, dan lainnya.
Perpecahan ini kadang tidak diketahui oleh sebagian besar warga Sudan sendiri, apalagi oleh non-Sudan. Namun, secara umum masyarakat Sudan menyebut mereka semua sebagai Islāmiyyūn, atau dengan istilah khas: Kizān. Kadang semuanya disamaratakan dan dianggap sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin. Padahal, sepanjang pemerintahan al-Basyir, Ikhwanul Muslimin sendiri tidak bisa dikatakan berkoalisi dengan pemerintahannya.
Perlu dicatat, Sudan adalah negara yang relatif aman ketika Arab Spring meletus pada tahun 2011. Bahkan Duta Besar Indonesia untuk Sudan saat itu mengakui bahwa Khartoum termasuk kota yang sangat aman. Namun, kemiskinan, kelangkaan roti dan BBM, inflasi parah, serta korupsi pejabat memicu demonstrasi besar pada tahun 2019. Al-Basyir turun, kekuasaan diambil alih oleh militer, dan jabatan perdana menteri sementara diserahkan kepada Abdallah Hamdouk.
Selama masa pemerintahan Hamdouk, Partai Republik (yang tokohnya pernah dihukum mati) dan para aktivis liberal diberi panggung sebebas-bebasnya. Masih segar dalam ingatan ketika Menteri Olahraga Sudan, Wala’ al-Busyī (perempuan), mengizinkan liga sepak bola wanita di tengah masyarakat Sudan yang sangat konservatif. Al-Busyī bersitegang dengan beberapa ulama besar Sudan seperti Dr. ‘Abdul Ḥayy Yūsuf (saya sempat menghadiri khutbah-khutbah beliau di masjidnya pada tahun 2019). Sebagian ulama lain memilih hijrah ke Qatar atau Turki, seperti Syaikh ‘Iṣhām al-Basyir ḥafiẓahullāh.
Pada tahun 2020, Sudan akhirnya resmi melakukan normalisasi dengan Israel. Pesawat-pesawat Israel pun bebas melintas di wilayah udara Sudan untuk pertama kalinya. Namun, apakah militer Sudan sungguh-sungguh mendukung normalisasi itu? Ataukah hanya pengalihan isu? Apakah militer Sudan benar-benar sudah bersih dari pengaruh rezim al-Basyir dan loyalisnya yang berkuasa selama tiga dekade?
Dalam sebuah diskusi ringan bersama teman-teman alumni Sudan, saya pernah mengatakan: jika SAF (Sudanese Armed Forces) bersedia menyerahkan al-Basyir ke ICC (International Criminal Court), maka besar kemungkinan SAF telah benar-benar bersih dari rezim lama. Namun, jika mereka bersikeras mengadilinya di dalam negeri, maka bisa jadi sisa-sisa rezim al-Basyir dan kelompok Islam masih kuat di tubuh SAF — dan begitulah kenyataannya.
Kelompok liberal yang menggaungkan kebebasan kemudian melahirkan Undang-Undang Tafkīk Niẓām Inqāẓ tahun 2021, yang melarang seluruh aktivitas partai-partai Islam. Para aktivis Islam ditahan, gedung dan aset mereka disita atau dibakar. Slogan “kebebasan” kaum sekuler ternyata hanya menjadi slogan murahan yang tidak boleh dinikmati oleh kaum Islāmiyyūn. Kelompok liberal juga menuntut agar para pelanggar HAM, termasuk milisi Janjaweed, diadili—yang kemudian membuat SAF dan RSF bersama-sama menggulingkan pemerintahan Hamdouk tahun 2021.
Konsolidasi yang dilakukan gerakan Islam pasca jatuhnya Hamdouk membuat para Zionis Arab di Abu Dhabi kebakaran jenggot. Maka, pada tahun 2023, milisi Janjaweed yang disokong UEA tiba-tiba menyerang pos-pos SAF, menduduki istana kepresidenan dan bandara Khartoum, Omdurman, serta sejumlah provinsi lain. Rakyat Sudan, khususnya di ibu kota yang sudah lama gerah dengan sepak terjang Janjaweed, akhirnya banyak yang bergabung secara sukarela dengan SAF. Sejumlah ulama Sudan, seperti Syaikh Muḥammad Amīn Ismā‘īl, bahkan mengenakan seragam tentara sebagai bentuk dukungan kepada SAF. Perlahan namun pasti, dengan bantuan persenjataan dari sejumlah negara termasuk Iran, Khartoum berhasil diamankan oleh SAF. RSF pun terdesak ke barat dan selatan.
Beberapa tahun belakangan, pemberontak Darfur dari Ḥarakah Taḥrīr as-Sūdān serta Ḥarakah al-‘Adl wa al-Musāwah—yang di era al-Basyir memusuhi pemerintah—berbalik berkoalisi dengan SAF. Namun pasukan gabungan ini dikalahkan oleh RSF di al-Fashir, dan dengan dendam serta kebiadaban yang sama, RSF kembali membantai ribuan warga sipil di kota tersebut.
Lalu, ke mana kita berpihak dan apa yang bisa kita lakukan?
Apakah bersama militer dan pemerintah Sudan yang sah, yang didukung oleh mayoritas ulama? Ataukah bersama milisi haus darah yang didukung oleh Zionis Arab (UEA) dan kelompok madkhaliyyīn Sudan seperti Muzammil Faqiri cs.?
“Oh, saya netral. Saya bersama rakyat.”
Tahukah Anda bahwa mayoritas rakyat Sudan justru mendukung militer dan mengangkat senjata bersama mereka menentang para perampok Janjaweed?





