Karakter da’i sejati berikutnya tersimpul dalam kata at-tilawah (membaca). Yakni at-tilawatul Qur’an. Oleh karena itu, hendaknya kita berupaya agar jangan sampai ada hari yang kita lalui tanpa menjalin hubungan dengan Al-Qur’an. Demikianlah salafu shalih mencontohkannya kepada kita. Mereka curahkan waktunya untuk Al-Qur’an, sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam turun tangan untuk melarang mereka yang berlebih-lebihan di dalamnya, seperti termuat dalam hadits dimana Nabi menyuruh Abdullah bin Amru bin ‘Ash untuk mengkhatamkan Al-Qur’an cukup sekali dalam sebulan, sekali dalam 20 hari, atau sekali dalam seminggu, tidak boleh kurang dari seminggu,
“Karena sesungguhnya istrimu mempunyai hak yang harus kau tunaikan, tamumu mempunyai hak yang harus kau tunaikan, dan jasadmu mempunyai hak yang harus kau tunaikan…” (HR. Bukhari Muslim)
Utsman bin Affan melakukan kebiasaan tilawah dengan bersungguh-sungguh, ia membuka malam Jum’at dengan membaca Al-Baqarah sampai Al-Maidah; malam Sabtu surat Al-An’am sampai surat Hud; malam Ahad surat Yusuf sampai Maryam; malam Senin surat Thaha sampai Al-Qashash; malam Selasa surat Al-Ankabut sampai Shad; dan malam Kamis mengkhatamkannya.
Mengulang membaca Al-Qur’an secara teratur dari awal hingga akhir adalah salah satu amalan yang paling dicintai Allah SWT. hal ini disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ : الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ – قَالَ : وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ؟ قَالَ الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ
.(رواه الترمذي : 2872 – سنن الترمذي – بَاب مَا جَاءَ أَنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ – الجزء : 10 – صفحة : 202)
Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi: 2872, Sunan Tirmidzi, Bab maa jaa-a annal-Qur’an unzila ‘alaa sab’ati ahruf, juz 10, hal.202)
Umar bin Abdul Aziz apabila disibukkan oleh urusan kaum muslimin, beliau mengambil mushaf dan membacanya walaupun hanya dua atau tiga ayat. Beliau berkata, “Agar saya tidak termasuk mereka yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan.”
Generasi salafu shalih senantiasa menyibukkan dirinya dengan membaca Al-Qur’an. Mereka membaca, memahami, menghafal, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Riwayat dari Abdul Rahman As-Sulamiy dari Ibnu Mas’ud, ia berkata:
كُنَّا نَتَعَلَّمُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ آيَاتٍ فَمَا نَعْلَمُ الْعَشْرَ الَّتِي بَعْدَهُنَّ حَتَّى نَتَعَلَّمَ مَا أُنْزِلَ فِي هَذِهِ الْعَشْرِ مِنْ الْعَمَلِ
“Kami dulu belajar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat, kami tidak mengetahui 10 ayat yang sesudahnya sehingga kami mempelajari pengamalan apa yang diturunkan dalam 10 ayat ini.” (Ath-Thohawi w. 321H/ 933M, Musykilul Atsar, juz 3 halaman 478)
Karena hidayah Al-Qur’an inilah kondisi masyarakat Arab berubah dari kejahiliyahan menuju Islam. Ajarannya mampu merubah sifat mereka yang suka peperangan, melakukan perampasan hak, kedustaan, khomer, perzinaan, pembunuhan, dan riba, menjadi masyarakat yang cinta perdamaian, persamaan hak, kejujuran, kasih sayang, dan keadilan.
Membaca Buku
Seorang aktivis dakwah yang ingin sukses dakwahnya, disamping tidak boleh berpisah dengan Al-Qur’an, juga tidak boleh berpisah dengan buku. Al-Jahidz berkata: “Buku adalah sebaik-baik teman dalam kesendirian.”
Membaca adalah kebutuhan aqliyah setiap manusia—terlebih lagi bagi seorang da’i, aktivis, dan mujahid dakwah yang memikul beban amanah untuk melakukan nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk Allah), nasyrul fikrah (menyebarkan fikrah), dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka harus banyak membaca ilmu syari’ah, mengkaji Al-Qur’an, tafsir, sunnah Nabi, sirah nabawi, tauhid, fiqih, dan akhlak; mereka juga harus membaca sejarah; mengenal bahasa dan sastra; mengetahui ilmu humaniora seperti ilmu jiwa, sosiologi, filsafat, pendidikan, dan geografi; memahami pengetahuan umum, termasuk wawasan tentang realitas kontemporer: realita dunia Islam, realita kekuatan internasional yang memusuhi Islam, realita agama-agama modern, realita aliran-aliran pemikiran modern, realita dakwah Islam kontemporer yang beragam, realita ideologi yang berlawanan dengan Islam, realita berbagai aliran sempalan dalam Islam, dan realita lingkungan sekitar dimana seorang aktivis dakwah itu hidup.
Membaca adalah pintu yang menghubungkan akal manusia dengan dunia pengetahuan, ideologi, dan keyakinan. Karena itu tidak heran Allah Ta’ala berkenan menjadikan membaca sebagai perintah yang diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an. Bahkan nama kitab suci kita berakar dari kata ‘Qa-ra-a’ (membaca).
1 comment
Masya Allah