Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Benar bahwa kemenangan itu adalah hak preogratif Allah yang akan diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Namun, sunnatullah tetap berlaku. Kemenangan akan terwujud jika faktor-faktor yang mengantarkannya terwujud. Melanjutkan pembahasan sebelumnya, ada beberapa faktor, baik langsung maupun tidak yang berpengaruh pada kemenangan kaum Muslimin pada Perang Ahzab ini. Kita telaah bersama.
Perjanjian Tertulis Jauh Sebelum Perang Berlangsung
Di antara hal yang dilakukan Nabi saw ketika tiba di Madinah adalah membuat perjanjian tertulis. Perjanjian yang dalam sejarah dikenal dengan Mitsaqul Madinah (Piagam Madinah) ini memuat kesepakatan-kesepakatan antara umat Islam sendiri dan kesepakatan dengan kalangan Yahudi.
Mungkin bagi sebagian kalangan, perjanjian ini tidak penting. Toh, hanya kesepakatan yang tertuang dalam tulisan. Langkah kongkret itu yang lebih penting. Namun di sinilah kita pelihat kepiawaian Nabi saw dalam mengatur negara dan menancapkan pondasi kokoh untuk membangun sebuah peradaban besar. Beliau tak mau menyisakan peluang sekecil apa pun yang bisa menghambat dakwah.
Rasulullah saw menganggap pembuatan kesepakatan tertulis ini sama pentingnya dengan membuat bangunan fisik (seperti masjid), membangun basis sosial yang kokoh (melalui persaudaraan Anshar dan Muhajirin), membangun dan menguasai perekonomian Madinah (melalui penguasaan pasar oleh Muhajirin), serta mempersiapkan angkatan perang (melalui berbagai ekspedisi sebelum Perang Badar).
Strategi Nabi saw ini menuai hasil. Dengan kesepakatan Piagam Madinah ini, para pembangkang dan pengkhianat tak bisa berkelit. Satu persatu kalangan Yahudi dilenyapkan akibat melakukan pelanggaran. Yahudi Bani Qainuqa’ dieksekusi usai Perang Badar. Bani Nadhir diusir dari Madinah setelah berkhianat usai Perang Uhud. Yahudi Bani Quraizhah dihabisi begitu mereka berkhianat dalam Perang Ahzab ini. Hal itu tak mungkin bisa dilakukan kecuali ada kesepakatan hitam di atas putih yang sudah ditandatangani oleh masing-masing kedua belah pihak sebelumnya.
Konteksnya dengan zaman sekarang, umat Islam mesti terlibat aktif dalam pembuatan peraturan dan perundang-undangan di berbagai level. Umat Islam tak boleh melarikan diri dan menghindar dari gedung parlemen dimana di tempat itulah peraturah sebuah negeri dibuat dan disepakati.
Dalam tahapan dakwah, kita mengenal beberapa tahapan. Pertama, tahapan sosisalisasi ide. Hal ini dilakukan melalui seminar, diskusi, workshop, tulisan di berbagai media cetak dan opini-opini di media elektronik. Ini berfungsi agar nilai-nilai Islam diketahui oleh publik.
Setelah itu masuk tahapan kedua yakni tahapan legislasi. Ide-ide tadi akan menguap dan hilang begitu saja jika tidak dituangkan dalam sebuah peraturan dan perundang-undangan yang tertulis dan disepakati oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Peraturan dan kesepakatan tertulis itu berfungsi juga untuk mengontrol dan sebagai acuan jika ada yang melanggar. Lalu setelah itu, tahapan ketiga masuk ke tahapan eksekusi. Semua peraturan yang tertulis tadi mesti ada eksekutornya.
Di sinilah kita mendapatkan penjelasan mengapa umat Islam itu harus berada di semua lini kehidupan. Di antara umat Islam harus ada yang jadi dai, penceramah, dan penulis. Merekalah yang akan memberikan pencerahan dan menyebarkan ide-ide serta nilai-nilai Islam ke masyarakat.
Umat Islam juga harus ada yang masuk ke parlemen agar mereka bisa membuat peraturan yang berpihak pada umat. Lalu, umat Islam juga mesti ada yang jadi lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, dan presiden agar bisa mengeksekusi peraturan dan undang-undang yang telah disepakati sebelumnya dan tertuang secara tertulis.
Dengan cara inilah Nabi saw membangun peradaban Madinah.
Membumikan Cita-cita
Penggalian parit itu terpaksa dihentikan. Sebuah batu besar menghadang di depan mata. Meski sudah berkali-kali para shahabat Rasulullah saw menghantamkan pukulan, namun tak ada tanda-tanda batu itu retak apalagi hancur. Batu itu terlalu keras, tapi harus dihancurkan. Kalau tidak, parit yang akan menjadi benteng pertahanan kaum Muslimin dari ancaman pasukan Ahzab bisa terputus.
Beberapa shahabat segera menemui Rasulullah saw dan memberitahu perihal batu besar itu. Rasulullah saw pun datang sambil membawa sebuah beliung. Setelah membaca basmalah, beliau menghantamkan pukulan pertama. “Allahu Akbar! Aku diberi kunci pembuka negeri Syam. Demi Allah, aku melihat istananya yang merah,” ujar Rasulullah saw begitu melihat percikan sinar menyala akibat kerasnya pukulan beliau menghantam batu.
Lalu, Rasulullah saw menghantamkan pukulan kedua. “Allahu Akbar. Aku diberi negeri Persia. Demi Allah, aku melihat istananya yang putih,” ujar Rasulullah saw. Lalu, beliau menghantamkan pukulan ketiga. “Allahu Akbar. Aku diberi kunci negeri Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini. Aku diberitahu Jibril bahwa umatku akan menguasainya semuanya. Sampaikan berita ini kepada yang -lain,” ujar Rasulullah saw kepada para shahabat.
Berita itu segera mendapatkan cemoohan dari orang-orang munafik. “Muhammad hanya memberi angan-angan dan mimpi saja. Bagaimana mungkin dia melihat istana Romawi, Persia dan Yaman dari Madinah. Bagaimana mungkin kalian menguasai negeri sedangkan pekerjaan kalian hanya menggali parit dari ujung ke ujung,” ejek orang-orang munafik.
Allah segera menurunkan firman-Nya, “Katakanlah, wahai Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS Ali Imran: 26).
Ada beberapa hal yang menarik dari kisah di atas. Pertama, seorang Muslim harus mempunyai cita-cita tinggi. Teriakan Rasulullah saw ketika memukul batu besar itu, bukan slogan. Tapi, cita-cita! Beliau sengaja meneriakkan itu dengan suara keras agar cita-citanya diketahui para shahabat. Beliau ingin cita-cita itu bukan cita-citanya saja, tapi cita-cita kaum Muslimin. Terbukti, teriakan Rasulullah saw itu benar-benar membekas dalam jiwa para shahabat. Runtuhnya negeri Persia dan Romawi menjadi impian mereka. Impian itu terus menggelora dan membakar semangat mereka untuk berjuang. Sampai akhirnya beberapa puluh tahun kemudian, dua kerajaan besar itu takluk di bawah naungan Islam. Cita-cita itu tercapai. Abu Ayyub al-Anshari yang mendengar langsung teriakan Rasulullah saw kala itu, turut menjadi saksi bakal runtuhnya kerajaan Romawi. Makamnya hingga kini tetap abadi di antara bangunan di Konstantinopel (sekarang Istanbul).
Kedua, dalam mewujudkan cita-cita itu, kedua kaki harus tetap berpijak di bumi. Teriakan Rasulullah saw bahwa ia melihat kunci pembuka negeri Syam, Yaman, Persia dan Romawi adalah cita-cita beliau. Cita-cita kaum Muslimin. Adalah impian mereka untuk bisa menaklukkan Persia dan Romawi yang sedang berkuasa kala itu. Cita-cita mereka kala itu amat tinggi. Bagaimana mungkin mereka bisa menguasai Persia dan Romawi, sedangkan untuk menghadapi pasukan Ahzab saja kala itu kaum Muslimin harus bekerja keras. Jumlah mereka yang hanya sekitar 3000 orang harus menghalau pasukan gabungan yang nominalnya mencapai 10.000 tentara. Untuk itu, mereka harus menggali parit lebih dari separuh keliling Madinah.
Begitulah kenyataannya. Dengan demikian, tak heran kalau orang-orang munafik menertawakan ucapan Rasulullah itu. “Bagaimana mungkin kalian menguasai negeri Persia, Yaman dan Romawi, sedangkan pekerjaan kalian hanya menggali parit dari ujung ke ujung,” ejek orang-orang munafik. Tapi begitulah yang dilakukan Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Memang, cita-cita Rasulullah saw dan kaum Muslimin kala itu setinggi langit: mengalahkan Persia dan Romawi, tapi langkah konkret mereka tetap membumi: menggali parit untuk menghalau serangan pasukan Ahzab.
Itu yang harus diteladani kaum Muslimin saat ini. Tegaknya Khilafah Islamiyah dan berlakunya syariat Allah di muka bumi, harus menjadi cita-cita seluruh kaum Muslimin. Saat ini, cita-cita itu mungkin baru sekadar angan. Tegaknya khilafah ala manhaj nubuwah (khilafah berdasarkan manhaj Nabi) serta berlakunya syariat Islam secara menyeluruh, sangat sulit diwujudkan. Di berbagai negara, kaum Muslimin ditindas, diteror dan dituduh pelaku kejahatan.
Penindasan, teror dan tuduhan itu terus berlangsung tanpa bisa dihalau oleh kaum Muslimin. Sehingga, tegaknya khilafah seolah-olah hanya sekadar impian yang tak mungkin terwujud. Tapi, bagi kaum Muslimin tak ada yang tak mungkin terjadi. Apalagi kalau Rasulullah saw sudah menjanjikan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Baihaqi, Rasulullah saw menggambarkan periode perjalanan sejarah umat Islam. Di antara periode itu ada fase mulkan jabbariyan (fase raja-raja diktator). Setelah itu akan muncul fase khilafah ‘ala manhajin nubuwah. Fase inilah yang sedang kita tunggu. Fase inilah yang menjadi cita-cita kaum Muslimin. Kita yakin fase itu akan datang.
Berharap saja akan datangnya fase itu tidak cukup. Fase itu memang pasti datang. Runtuhnya sistem sekular dan demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Tapi bukan tugas kita untuk menunggu. Tugas kita adalah bertindak. Dan tindakan itu harus konkret, nyata dan membumi seperti langkah konkret Rasulullah saw menggali parit dan memecahkan batu untuk menghadapi musuh nyata mereka yang ada di depan mata.
Untuk mewujudkan cita-cita tinggi itu, tak cukup dengan slogan. Teriakan pemberlakuan syariat Islam dalam demonstrasi, seminar, dialog atau majelis-majelis khusus, akan percuma kalau tak diikuti tahapan-tahapan konkret yang membumi. Umat Islam harus berada di semua lini kehidupan masyarakat, termasuk melibatkan diri dalam percaturan politik di negeri ini. Namun, harus tetap ada juga yang terjun langsung ke masyarakat bawah. Sambil bekerja, kita juga tetap harus menjaga cita-cita itu agar tetap ada dalam jiwa, dalam aliran darah dan desah napas. Itulah yang akan menjadi bahan bakar perjuangan kita yang tak mungkin habis.
Menggunakan Strategi Perang Milik Orang Lain
Pengetahuan adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka lebih berhak mengambilnya daripada orang lain. Hal ini tercermin dari pengambilan strategi perang ala Persia yang Majusi itu. Umat Mukminlah yang paling berhak menggunakan segala ilmu dan teknologi dalam rangka menjalankan kekhalifahannya di muka bumi. Inilah yang menjadi spitrit (ruh) kaum Mukminin pada masa kejayaannya. Ini pula yang harusnya menjadi spirit kita saat ini untuk mengembalikan kemuliaan dan kejayaaan umat.
Di antara sarana perang yang digunakan oleh kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah penggalian parit. Perang dengan menggali parit ini merupakan peperangan yang pertama kali dikenal dalam sejarah bangsa Arab dan Islam. Karena taktik dan teknik peperangan seperti ini biasanya dikenal oleh bangsa Ajam (non-Arab). Seperti diketahui bahwa orang yang mengusulkan ide ini ialah Salman al-Farisi. Nabi saw sendiri mengagumi usulan ini dan segera mengajak para shahabatnya untuk melaksanakannya.
Ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang menunjukkan, “Pengetahuan adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka berhak mengambilnya daripada orang lain.“
Syariat Islam, sebagaimana melarang kaum Muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta, juga mengajukan kepada mereka untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan dan prinsip-prinsip yang bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang Muslim tidak boleh mengabaikan akal merdekanya dan pikiran cermatnya dalam segala perilaku dan urusan. Dengan demikian, dia tidak akan dapat dikuasai dan dibawa ke mana saja oleh sistem yang bisa diterima oleh akal sehat dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Sikap yang digariskan Allah kepada seorang Muslim ini hanya muncul dari sumber utama yaitu kehormatan yang ditetapkan Allah kepada manusia sebagai tuan (pemimpin) segenap makhluk. Ubudiyah kepada Allah dan kepatuhan terhadap syariat hanyalah jaminan untuk memelihara kehormatan dan kepemiminan tersebut.[1]
Pemimpin Bukan Penonton
Persamaan kedudukan antara pemimpin dan rakyat dalam menjalankan tugas bersama tercermin dari penampilan Rasulullah saw yang langsung turun bersama para shahabat untuk menggali parit. Ini pekerjaan berhari-hari yang sangat berat dalam suasana paceklik dan tanah Arab yang tandus.
Kerja para shahabat bersama Rasulullah saw dalam menggali parit merupakan pelajaran besar yang menjelaskan hakikat persamaan yang ditegakkan oleh masyarakat Islam bersama seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekadar slogan yang menarik untuk mengelabui masyarakat menjelang Pemilu dimana para pejabat berlomba-lomba turun ke masyarakat secara simbolis. Ketika menggali parit, Nabi saw benar-benar menggali persis seperti para shahabatnya yang lain. Bukan sekadar ‘meletakkan batu pertama’ lalu pergi.
Rasulullah saw tak memerintahkan kaum Muslimin menggali parit sementara dia sendiri pergi ke istana mengawasi mereka dari kejauhan. Beliau juga tidak datang kepada mereka dalam suatu pesta yang meriah untuk meletakkan batu pertama pertanda dimulainya pekerjaan kemudian setelah itu pergi meninggalkan mereka. Tetapi Rasulullah saw secara langsung berperan aktif menggali bersama para shahabatnya sampai pakaian dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah galian sebagaimana para shahabatnya.
Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung ria. Beliau pun ikut bersenandung menggairahkan semangat mereka. Mereka merasakan letih dan lapar, beliau pun paling letih dan lapar di antara mereka. Itulah hakikat persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan miskin, antara pemimpin dan rakyat jelata, yang ditegakkan oleh syariat Islam.
Tetapi tidaklah dapat hal ini disebut ’demokrasi’ dalam perilaku atau pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan demokrasi. Sumber keadilan dan persamaan dalam Islam ialah ubudiyah kepada Allah yang merupakan kewajiban seluruh manusia. Sedangkan sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan pendapat mayoritas atas orang lain, betapa pun wujud dan tujuan pendapat tersebut. Jadi, kesertaan Nabi saw ketika menggali parit bagian dari ibadah bukan bagian dari kampanye demokrasi.
Karena itu, Syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok tertentu betapapun motivasi dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan kepada Allah) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu. Semua sama di mata Allah. Tak ada yang lebih meskipun ia seorang pemimpin.
[1]Fihus Sirah Ramadhan al-Buthi (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Robbani Press) halaman 283