Pendahuluan
Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Hadis memiliki kedudukan yang penting karena ia menjadi penguat kandungan (murakkad), penjelas (mubayyin), dan menunjukkan suatu hukum yang tidak dijelaskan Al-Qur’an .
Maka, tanpa adanya kitab-kitab hadis yang berhasil dikodifikasikan oleh Muhadditsin, manusia generasi modern tentu akan mengalami kesulitan untuk memahami Al-Qur’an. Keberadaan kitab-kitab hadis sangatlah bermanfaat.
Diantara Imam Hadits yang banyak menghasilkan karya-karya bernilai.adalah Imam An-Nasa’i. Banyak karyanya yang sampai kepada kita dan diabadikan oleh pena sejarah, seperti As-Sunan al-Kubra, As-Sunan As-Sughra, Al-Kashais, dan al-Manasik. Karya Imam An-Nasa’i yang paling monumental adalah Sunan An-Nasa’i, yang menempati urutan kedua dari empat kitab Sunan yang terkenal.
Oleh karena itu, kita perlu membahas biografi, karir, sistematika karya, isi, ciri-ciri, kitab-kitab Islam, pujian, kritik, dan pembelaan Imam al-Nasayi.
Biografi An-Nasa’i
Al-Imam An-Nasa’i,[1] beliau adalah Ahmad bin Syu’aib bin ‘Aliy bin Sinan bin Bahr Al-Khurasaniy An-Nasa’iy, berkuniyah Abu ‘Abdirrahman. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H dan wafat pada tahun 303 H.
Beliau adalah seorang alim dari ulama hadis ternama. Pemilik kitab Sunan An-Nasa’i yang termasuk dalam daftar Kutubus Sunan yang diakui oleh para imam ahli hadis setelahnya. Berkata Adz-Dzahabi, “Beliau adalah seorang yang sangat berwibawa, tampan, berkulit putih, dan rambutnya beruban.”[2]
Imam An-Nasa’i hidup dan besar di daerah Nasa’. Sejak kecil beliau telah menghafalkan al-Quran dan mempelajari berbagai macam ilmu kepada beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah mencapai usia remaja, beliau kemudian melakukan perjalanan keilmuan, dan ketika usianya mencapai lima belas tahun, beliau melakukan lawatan ke beberapa daerah di antaranya Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan al-Jazair, serta banyak meriwayatkan hadis dari para ulama daerah-daerah tersebut sehingga beliau sangat mendalami hadis, sangat alim dan terpercaya serta mempunyai sanad (jalur periwayatan) yang luhur.[3]
Imam An-Nasa’i adalah seorang faqih bermadzhab Asy-Syafi’i, ahli ibadah, berpegang teguh pada sunnah, dan memiliki wibawa kehormatan yang besar.[4] Ia memiliki ingatan yang kokoh dalam menghafal hadis dan kualitas sanadnya sangat tinggi karena hadis-hadis tersebut didengar dari guru-gurunya al-Bukhari, diantaranya yaitu Ishaq ibn Rahawaih. Ia juga termasuk orang pandai yang mempunyai watak sabar dan penuh sopan santun dalam tutur sapanya.[5]
Ibnu as-Subhi berkata, “Guru Imam an-Nasa’i antara lain: Qutaibah bin Sa’id[6], Ishaq bin Rahawaih, Hisyam bin Amar, Isa bin Hammad, al-Husain bin Mansur as-Sulami an-Naisaburi, Amr bin Zurarah, Muhammad bin Nasr al-Marwazi, Suwaid bin Nasr, Abu Kuraib, Muhammad bin Rafi’, Ali bin Hujr, Abu Yazid al-Jirmi, dan Yunus bin Abdi al-A’la. Disamping mereka ini, masih banyak yang lain, baik mereka yang di Khurasan, Irak, Syam, Mesir, Hijaz, dan Jazirah”.[7]
Sedangkan murid An-Nasa’i sangatlah banyak, di antaranya adalah Abu al-Qasim al-Thabrani (pengarang kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan ibn al-Khidlir al-Suyuthi, Muhammad ibn Mu’awiyah ibn al-Ahmar al-Andalusi, dan Abu Bakar ibn Ahmad ibn Ishaq al-Sinni yang juga dikenal sebagai perawi kitab Sunan An-Nasa’i.
Imam An-Nasa’i dikenal berhati-hati dalam periwayatan hadis. Al-Hafizh Ibnu Thahir berkata, “Aku bertanya kepada Sa’ad ibn Aliy az-Zanjani mengenai seseorang yang dia anggap tsiqah (terpercaya) namun orang tersebut justru dianggap lemah oleh an-Nasa’i, lalu beliau menjawab, ‘Wahai anakku, sesungguhnya Abu Abdirrahman (an-Nasa’i) memiliki syarat-syarat khusus tentang penilaian seorang rawi yang lebih berat daripada yang disyaratkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.'”
Berkata adz-Dzahabi mengomentari ucapan tersebut, “Apa yang beliau sebutkan memang benar. Beliau (an-Nasa’i) menyatakan ada beberapa rawi yang menurut beliau kurang kuat, dari para perawi yang ada di kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim“.[8]
Al-Imam ad-Daruquthni ditanya, ‘Jika Ibnu Khuzaimah dan an-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits maka siapakah dari keduanya yang lebih dikedepankan’, beliau menjawab, “An-Nasa’i lebih dikedepankan, karena beliau lebih memahami tentang sanad. Aku tidak mendahulukan orang lain dalam bidang ini ketimbang beliau meskipun Ibnu Khuzaimah juga adalah seorang imam yang kuat yang tidak tertandingi.”[9]
Ibnu Mandah berkata, “Para imam yang telah mengeluarkan kitab shahihnya dan yang mampu memilah-milah antara hadits shahih dari yang cacat yang benar dari yang salah, ada empat orang, mereka adalah: al-Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Abu Abdirrahman an-Nasa’i.”[10]
Adapun karya An-Nasa’i banyak jumlahnya, diantaranya:
- Kitab al-Khasha’ish. Kitab ini berbicara tentang fadhilah (keutamaan) para sahabat. Yang dengan sebab kitab ini beliau mendapatkan beberapa bala dan ujian.
- Kitab Sunan al-Kubra. Kitab ini telah tercetak dan telah di-tahqiq oleh Dr. Abdul Ghaffar Sulaiman al-Badn dan Sayid Kasrawi Hasan.
- Kitab al-Mujtaba atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan an-Nasa’i. Kitab ini pun telah tecetak. Dan syarh (penjelasan) yang paling dikenal adalah syarah al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dengan hasyiah (catatan)nya as-Sindi. Ada juga sebagian ulama yang mensyarah tetapi belum terselesaikan seperti kitab Zhahinitul Uqba karya Syaikh Muhammad ibn Aliy ibn Adam.
- Tafsir an-Nasa’i. Kitab ini telah tercetak dan telah ditahqiq oleh Syaikh Shabri Abdil Khaliq asy-Syafi’i dan Sayyid Abbas al-Halimi.
Beliau juga memiliki beberapa kitab lain seperti yang disebut-sebut oleh Fuad Sazkin di dalam kitabnya Tarikh at-Turats, seperti kitab ad-Dhu’afa’ wal Matrukin, ‘Amalul Yaum wal Lailah, Kitabul Jum’ah, dan juga beberapa kitab lainnya.
Mengenai akhir hayatnya, Al-Imam ad-Daruquthni berkata, “Di akhir masa umurnya, an-Nasa’i pergi ke Makkah hendak menunaikan ibadah haji, namun setibanya di Damaskus beliau mendapatkan ujian, beliau berpesan untuk segera dibawa ke Makkah. sesampainya di Makkah akhirnya beliau meninggal dunia, dan dikuburkan di antara Bukit Shafa dan Marwah. Beliau meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun 302 H. Beliau adalah di antara ulama Mesir yang paling utama di zamannya dan yang paling memahami tentang ilmu hadits dan para rawinya.”
Adapun Abu Sa’id ibn Yunus berkata, “Abu Abdirrahman an-Nasa’i meninggal dunia di Palestina pada hari Senin tanggal 13 Shafar tahun 303 H.”
Berkata adz-Dzahabi, “Apa yang beliau katakan telah benar, karena memang beliau (Abu Sa’id ibn Yunus) adalah seorang hafizh yang terpercaya dan beliau adalah salah satu murid al-Imam an-Nasa’i, maka beliau yang lebih mengetahui tentang gurunya.”
Penamaan Kitab Sunan An-Nasa’i
Kitab An-Nasa’i yang paling populer adalah As-Sunan yang disusun seperti bab Fiqh. Dalam kitab ini, ia tidak meriwayatkan dari rawi yang disepakati oleh para pengeritik untuk meninggalkannya.[11]
Penamaan kitab-kitab itu dengan istilah sunan tidak lain adalah kitab itu berisi sunnah nabi. Selain itu penamaan ini juga disebabkan karena pembahasannya telah dibagi menurut pokok bahasan hukum-hukum fiqih seperti berbagai persoalan thoharoh, salat, zakat, haji, dan seterusnya yang bersumber dari Rasulullah.[12]
Dari segi kualitas hadisnya terdapat hadis shahih, hasan, dan dlaif. Imam al-Nasa’i memberi nama kitab itu As-Sunan Al-Kubra, kemudian diajukan kepada seorang Amir di Ramalah, kemudian beliau ditanya: “Apakah semua hadis di dalamnya shahih?” Beliau menjawab: “Di dalamnya ada yang shahih, hasan, dan yang menghampiri derajat keduanya”. “Tuliskan yang shahih saja dari padanya!” sahut Amir.
Maka beliau menyaring dari kitab itu hadis-hadis shahih saja yang kemudian disebut As-Sunan As-Sughra dan diberi nama Al-Mujtaba’ min As-Sunan dan kitab inilah sampai di tangan kita. Para ahli hadis banyak yang berpedoman periwayatan dari An-Nasa’i, ia bagian dari kitab induk enam yang sedikit kedlaifannya dan seimbang atau dekat dengan Sunan Abi Dawud kitab kedua dari 4 Sunan.[13]
Namun, berkenaan dengan kisah penyaringan As-Sunan Al-Kubra, Adz-Dzahabi mengatakan bahwa kisah (Imam An-Nasa’i dan penguasa Ramallah) ini tidak benar karena kitab al-Mujtaba sebenarnya adalah kitab hadis penyeleksian dari murid Imam al-Nasa’i yaitu Ibnu al-Sunni. Hal demikian juga diungkapkan oleh al-Sakhawi namun beliau menambahkan kemungkinan lain bahwa al-Mujtaba itu adalah hasil penyeleksian dari Ibnu al-Sunni berdasarkan perintah Imam al-Nasa’i.[14]
Perbedaan antara Sunan Al Kubra dan Sunan Al Shughra (Al Mujtabaa):
- Dalam Sunan Al-Kubra terdapat sekitar sebelas ribu hadis dan dalam Sunan As Sughra terdapat 5.758 hadis (menurut hitungan Abdul Fattah Abu Ghuddah).
- Dalam Sunan Al-Kubra ada sejumlah hadis yang diperselisihkan keshahihannya, sedangkan Al Mujatabaa, sesuai namanya adalah hadis-hadis pilihan dan semuanya shahih (menurut keilmuan beliau). Meskipun demikian, dalam kitab Al Mujtabaa tetap ada hadis-hadis yang dikritisi keshahihannya oleh ulama lain. Dan hadis-hadis yang dihapus dari Sunan Al Kubra tidak semuanya lemah.
- Sunan Al Kubra mencakup bab-bab selain hukum fikih tafsir, akidah, dan lain sebagainya. Adapun Sunan As Sughra hanya khusus bab-bab yang berkaitan dengan hukum fikih.
Metode Penyusunan Kitab
- Imam An-Nasa’i menyusun kitabnya sesuai bab-bab fikih, dimulai dengan kitab al-Ṭahārahdan ditutup dengan kitab al-Asyribah.
- Kadang kala beliau menjelaskan makna kalimat-kalimat yang asing pada matan hadis.
- Menetapkan siapa perawi yang dimaksud ketika disebutkan secara muhmal(tanpa disebutkan nama atau nasabnya secara lengkap). Seperti ketika beliau meriwayatkan dari jalur Bakr, Nasa’i mengatakan bahwa dia adalah Ibnu Muḍar.
- Beliau juga menjelaskan perawi yang mubham(tidak disebutkan namanya), atau yang hanya disebutkan kuniyah-nya, dan mengisyaratkan perawi yang muttafiq dan muf-tariq sehingga mengangkat kekeliruan pembaca yang mengira bahwa nama tersebut terdiri dari banyak perawi
- Imam An-Nasa’i berusaha untuk menyebutkan dan meriwayatkan hadis-hadis shahih dalam kitabnya, namun ketika dia tidak mendapatkan yang shahih maka beliau menyebutkan hadis-hadis dhaif yang para ulama tidak sepakat kedhaifannya. Kadangkala beliau menyebutkan hadis shahih lalu kemudian diikuti dengan hadis dhaif dikarenakan adanya tambahan lafaz atau matan yang tidak terdapat di dalam hadis shahih, namun tidak lupa untuk menjelaskan hadis yang paling kuat dalam bab tersebut.
- Beliau sering sekali mengulangi hadis di berbagai sub-sub dalam kitab seperti yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari. Hal yang menyebabkan demikian dikarenakan banyaknya rincian-rincian bab atau sub bab dalam kitab
- Beliau sangat memerhatikan tentang penjelasan ‘illah sebuah hadis, sehingga kitabnya memiliki kelebihan atau penjelasan tentang kekeliruan sebagian huffāẓ pada hadis yang tidak didapatkan di kitab-kitab yang lain.
- Memberikan perhatikan khusus dalam menjelaskan dan mengkritik sebagian perawi yang dhaif.
- Kadang kala beliau mencantumkan beberapa hadis dalam bab yang kelihatan saling bertentangan namun shahih menurut beliau, mengisyaratkan kepada pembaca bahwa dibolehkannya beramal dengan keduanya.[15]
Syarat dalam Periwayatan Hadis
Syarat yang beliau pegang dalam menuliskan kitabnya telah beliau jelaskan sendiri dan beliau mengatakan, “Ketika saya berazam untuk menuliskan kitab ini saya beristikharah kepada Allah terhadap beberapa perawi yang ada keraguan dalam hati tentang statusnya, lalu kemudian akhirnya aku memilih untuk meninggalkannya, sehingga saya meninggalkan beberapa hadis darinya yang di mana ada illah di dalamnya.”[16]
Asas yang mendasari Imam An-Nasa’i dalam menyeleksi hadis untuk dimuat pada kitab beliau al-Mujtaba atau Sunan al-Saghir ialah pantang memuat hadis yang dalam jajaran sanadnya terdapat seorang atau lebih perawi yang seluruh muhadditsin sepakat menolak riwayatnya. Imam An-Nasa’i berkata, “Dalam kitabku ini, aku akan meriwayatkan dari perawi hadis sepanjang para ulama’ ahli hadis tidak bersepakat untuk meninggalkannya”.
Abu Abdillah bin Rasyid berkata, ”Kitab karya Imam al-Nasa’i ini adalah kitab paling bagus dan paling teratur di antara kitab al-Sunan yang lain. Susunan dalam Sunan An-Nasa’i menggunakan metode penggabungan antara Imam al-Bukhari dan Imam Muslim ditambah banyak keterangan tentang ‘illat hadis.
Salah seorang perawi Imam An-Nasa’i yang bernama Muhamad bin Muawiyah al-Ahmar berkata, “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam Sunan An-Nasa’i ada yang shahih dan sebagian lagi mempunyai illat tanpa disertai keterangan. Sedangakan karya Imam An-Nasa’i yang bernama Al-Mujtaba, semua isinya adalah hadis shahih.”[17]
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa secara umum kitab imam An-Nasa’i merupakan kitab yang paling sedikit terdapat hadis dan perawi yang dhaif di dalamnya setelah kitab Ṣaḥiḥ Al-Bukhari dan Ṣaḥiḥ Muslim.[18]
Perhatian Ulama Terhadap Kitab Tersebut
Banyak kitab-kitab syarah yang ditulis untuk Sunan Ash-Shughraa An-Nasaa’iy, yang paling masyhur adalah syarh As-Suyuuthiy yang dinamakan Zahr Ar-Rabaa ‘alaa Al-Mujtabaa, sebagaimana ada haasyiyyah padanya karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Haadiy As-Sindiy, dan ada pula syarh Sunan dari audio Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbaad. Diantara syarah-syarah terbaik yang pernah dikumpulkan adalah “Dzakhiirah Al-‘Uqbaa fiy Syarh Al-Mujtabaa” karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Aliy bin Adam bin Muusaa Al-Atsyuubiy, dan ia adalah ulama kontemporer, dan kitab ini telah dicetak dalam 40 jilid, 5 juz pertama telah dicetak oleh Daar Al-Mi’raaj di Riyadh dan juz sisanya dicetak oleh Daar Aalu Baruum di Makkah Al-Mukarramah. Kitab tersebut juga tersedia di internet oleh Maktabah Al-Waqfiyyah dan yang lainnya.[19]
Kesimpulan
- Penulis kitab Sunan An-Nasa’I adalah Ahmad bin Syu’aib bin ‘Aliy bin Sinan bin Bahr Al-Khurasaniy An-Nasa’iy, berkuniyah Abu ‘Abdirrahman.
- Kitab Sunan An-Nasa’i atau al-Sunan al-Shughra merupakan ringkasan dari kitab al-Sunan al-Kubra.
- Metode penyusunan kitab hadis ini berdasarkan klasifikasi hukum Islam dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad saw saja, dengan jumlah hadis sebanyak 5.761 hadis, yang berasaskan pantang memuat hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang atau lebih perawi yang seluruh muhadditsin sepakat menolak riwayatnya.
- Sebagian ulama berkhidmat dengan men-syarah kitab ini, seperti: Zahru Ar Rabaa ‘ala Al Mujtaba karya As Suyuti, Hasyiyah As Sindi, Dzakhirah Al ‘Uqbaa fii Syarhi Al Mujtaba karya Muhammad Ali Adam, dan lain-lain.
Referensi
Ta’rifu ‘Am bi Kitabi Sunan An-Nasa’i As-Sughra, Muhammad Shalih Al-Munajjid, http://islamqa.info/ar/171895, 23/3/2024, pukul 11.29 WIB.
Abu Faiz Sholahuddin bin Mudasim, Al-Imam An-Nasa’i, Majalah Al-Furqon No. 160 Edisi 1 Th. Ke-15, 1436 H
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah. Diterjemahkan oleh Hasan Su’adi. Yogyakarta: Gama Media Offset.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2009
Badri Khaeruman, Ulum al-Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010
60 Biografi Ulama’ Salaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008
Nurkhalijah Siregar, Kitab Sunan An-Nasa’i, Jurnal Hikmah, Volume 15, No. 1, Januari-Juni 2018, hal. 58
Arya Syahputra Burhan, Sunan An-Nasa’i, markazusunnah.com, 23/3/2024, pukul 17.50 WIB
Catatan Kaki
[1] An-Nasa’i, dengan huruf “nun” di-fathah dan di-tasydiid, adalah nisbah kepada sebuah wilayah di negeri Khurasaan yang disebut “Nasaa” dengan huruf “nun” di-fathah. Lihat: Ta’rifu ‘Am bi Kitabi Sunan An-Nasa’I As-Sughra, Muhammad Shalih Al-Munajjid, http://islamqa.info/ar/171895, 23/3/2024, pukul 11.29 WIB.
[2] Abu Faiz Sholahuddin bin Mudasim, Al-Imam An-Nasa’i, Majalah Al-Furqon No. 160 Edisi 1 Th. Ke-15, 1436 H
[3] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah. Diterjemahkan oleh Hasan Su’adi. Yogyakarta: Gama Media Offset., hlm. 114.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 263.
[5] Badri Khaeruman, Ulum al-Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010, hlm 267.
[6] Guru pertama yang dijumpai ketika berusia 15 tahun dan beliau berguru kepada Qutaibah selama 1 tahun 2 bulan.
[7] Min A’lam As-Salaf, Eds. Terj. Masturi Irham, Asmu’i Taman, 60 Biografi Ulama’ Salaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008, hlm. 585.
[8] Siyar A’lam An-Nubala 14/131, dikutip oleh Abu Faiz Sholahudin bin Mudasim.
[9] Tahdzibul Kamal 1/334, dikutip oleh Abu Faiz Sholahudin bin Mudasim.
[10] Siyar A’lam An-Nubala 14/135, dikutip oleh Abu Faiz Sholahudin bin Mudasim.
[11] Badri Khaeruman, Op. Cit., hlm. 267.
[12] Nurkhalijah Siregar, Kitab Sunan An-Nasa’i, Jurnal Hikmah, Volume 15, No. 1, Januari-Juni 2018, hal. 58
[13] Abdul Majid Khon, Op. Cit., hlm. 264.
[15] Arya Syahputra Burhan, Sunan An-Nasa’i, markazusunnah.com, 23/3/2024, pukul 17.50 WIB
[16] Lihat: Syurūṭ al-Aimmah al-Sittah, h. 104
[17] Ibid, hlm. 583-584.
[18] Al-Nukat ‘alā Ibni al-Ṣalāḥ, 1/484
[19] Muhammad Shalih Al-Munajjid, http://islamqa.info/ar/171895, 23/3/2024, pukul 21.35 WIB.