Mu’awiyah bin Abu Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay Al-Qurasyi Al-Umawi. Ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf.
Panggilannya: Abu Abdurrahman; julukannya: Khalul Mu’minin (paman orang-orang yang beriman), Katibu wahyi Rabbil ‘Alamin (pencatat wahyu Tuhan semesta alam)
Masuk Islamnya Mu’awiyah
Mu’awiyah masuk Islam bersama ayah dan saudara lelakinya, Yazid, beserta semua orang Quraisy dalam Fathu Makkah. Riwayat lain menyebutkan bahwa Mu’awiyah masuk Islam dalam peristiwa Umrah Qadha pada tahun 7 H, tetapi ia merahasiakan keislamannya.
Juru Catat Nabi
Muawiyah diangkat menjadi juru catat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atas permintaan ayahnya. Hal ini disebutkan dalam riwayat berikut,
حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ قَالَ نَعَمْ قَالَ عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abdul Adhim Al Anbari dan Ahmad bin Ja’far Al Ma’qiri keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami An Nadhr yaitu Ibnu Muhammad Al Yamami Telah menceritakan kepada kami Ikrimah Telah menceritakan kepada kami Abu Zumail Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas dia berkata; ‘Dulu kaum muslimin tidak menghargai dan tidak memberikan kedudukan yang layak bagi Abu Sufyan. Oleh karena itu, pada suatu hari ia (Abu Sufyan) berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; ‘Ya Rasulullah, berilah aku tiga permintaan! Rasulullah menjawab: ‘Ya.’ Abu Sufyan melanjutkan pembicaraannya; ‘Pertama, saya mempunyai seorang puteri yang terbaik dan tercantik di negeri Arab, yaitu Ummu Habibah. Saya ingin menikahkannya dengan engkau.’ Rasulullah menjawab: ‘Ya.’ ‘Kedua, lanjut Abu Sufyan; ‘Saya berharap engkau menjadikan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai juru tulis engkau yang selalu mendampingi engkau.’ Rasulullah menjawab: ‘Ya.’ Abu Sufyan mengakhiri permintaannya; ‘Ketiga, saya harap engkau menugaskan saya untuk bertempur di medan perang melawan orang-orang kafir, sebagaimana dulu -sebelum masuk Islam- saya memerangi kaum muslimin.’ Rasulullah pun menjawab: ‘Ya.’ Abu Zumail berkata; ‘Seandainya saja Abu Sufyan tidak meminta hal tersebut kepada Rasulullah, maka Rasulullah pasti tidak akan memberikannya. Karena, bagaimana pun juga, Rasulullah tidak pernah menjawab selain ‘ya’ jika beliau diminta tentang sesuatu.’ (HR. Muslim)
Mengikuti Berbagai Pertempuran
Mu’awiyah turut serta dalam jihad Pada Masa Abu Bakar, diantaranya adalah pertempuran Yamamah. Bersama Yazid, kakaknya, Mu’awiyah berjasa dalam menaklukkan negeri Syam, khususnya kota-kota pesisir: Akka, Shur, dan Caesaria (lihat: Futuhul Buldan, Al-Baladzuri). Mu’awiyah juga berjasa dalam penaklukkan Siprus pada masa Utsman bin Affan.
‘Gubernur Kesayangan’ Umar bin Khattab
Umar bin Khattab menggabungkan seluruh wilayah Syam di bawah kekuasaan Mu’awiyah karena Umar menilai Mu’awiyah sebagai orang yang kompeten menjalankan tugas, kuat menjaga pertahanan, dan bertanggung jawab. (Tarikh khalifah bin Khayyath, 8: 124; Al-Awashim minal Qawashim, hal. 80; Al-Ishabah, 9: 232; Al-Bidayah wan Nihayah, 8: 124 dan Siyar A’lam Nubala, 3: 132)
Seorang sahabat nabi, Umair bin Sa’ad dicopot jabatannya sebagai Walikota Homs oleh Umar bin Khattab karena hendak menggabungkan wilayah itu ke wilayah Syam. Orang-orang pun menggunjingnya, namun Umar berkata: “Jangan sebut-sebut Mu’awiyah kecuali dengan kebaikan, karena aku pernah mendengar Rasulullah berdo’a: ‘Ya Allah, berilah petunjuk melaluinya’.”
Karakter dan Kedudukan Mu’awiyah
Pasca perdamaian antara Mu’awiyah dan Al-Hasan pada tahun 41 H (peristiwa amul jama’ah), Mu’awiyah disambut menjadi Khalifah.
Ia adalah seorang yang cakap dalam memimpin, karena berpengalaman menjadi gubernur bagi wilayah Syam lebih dari 20 tahun. Ibnu Ath-Thuqthuqa (sejarawan syiah) menyebutkan beberapa karakter Mu’awiyah diantaranya: Cerdas dalam berbagai urusan dunia, berpengetahuan luas dan pandai menahan amarah; memiliki kemampuan orasi yang baik; dermawan; menyenangi dunia kepemimpinan; menghormati para tokoh (Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar, Aban bin Utsman bin Affan) yang kerap datang ke Damaskus untuk mengkritiknya.
Hal senada diungkapkan oleh Al-Ya’qubi dan Al-Mas’udi. Disebutkan bahwa Mu’awiyah banyak memberikan pemberian kepada kalangan yang berpotensi menjadi rivalnya: Al-Husain, Bani Hasyim, keluarga Az-Zubair, dan lain-lain.
Ibnul Atsir dalam kitabnya Usudul Ghabah fi Ma’rifatis Shahabah menyebutkan perkataan Ibnu Umar: “Aku tidak pernah melihat seorang pun setelah Rasulullah yang lebih agung daripada Mu’awiyah.” Ada yang bertanya, “Bagaimana dengan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali?” Ia menjawab: “Demi Allah, mereka lebih baik dan lebih utama daripada Mu’awiyah, tetapi Mu’awiyah lebih agung.”
Yang dimaksud ‘lebih agung’ disini adalah lebih dermawan, lebih pandai menahan amarah, dan lebih banyak memberikan harta.
Ibnu Abbas berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih siap secara alami untuk menjadi penguasa daripada Mu’awiyah.” (Tarikh At-Thabari, 5: 337)
Mujahid berkata: “Andaikan kalian hidup di masa Mu’awiyah, tentulah kalian berkata, ‘Orang ini adalah Al-Mahdi’.” (Minhajus Sunnah Nabawiyah, hal. 185)
Diakui Sebagai Faqih
Ibnu Abbas mengakui Mu’awiyah sebagai orang yang faqih. Hal ini disebutkan dalam Riwayat berikut,
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا الْمُعَافَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ أَوْتَرَ مُعَاوِيَةُ بَعْدَ الْعِشَاءِ بِرَكْعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْلًى لِابْنِ عَبَّاسٍ فَأَتَى ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah bercerita kepada kami [Al Hasan bin Bisyir] telah bercerita kepada kami [Al Mu’afiy] dari [‘Utsman bin Al Aswad] dari [Ibnu Abu Mulaikah] berkata; “Mu’awiyah melaksanakan shalat witir setelah ‘Isya’ sebanyak satu raka’at sementara itu di sebelahnya ada maula Ibnu ‘Abbas. Lalu maula ini menemui Ibnu ‘Abbas. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata; “Biarkanlah dia, karena dia telah mendampingi (bershahabat) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (HR. Bukhari)
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ هَلْ لَكَ فِي أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ مُعَاوِيَةَ فَإِنَّهُ مَا أَوْتَرَ إِلَّا بِوَاحِدَةٍ قَالَ أَصَابَ إِنَّهُ فَقِيهٌ
Telah bercerita kepada kami [Ibnu Abu Maryam] telah bercerita kepada kami [Nafi’ bin ‘Umar] telah bercerita kepadaku [Ibnu Abu Mulaikah]; “Pernah ditanyaan kepada Ibnu ‘Abbas, apakah anda punya pendapat tentang amirul mu’minin, Mu’awiyah, yang tidak shalat witir kecuali satu raka’at?”. [Ibnu ‘Abbas] menjawab; “Dia benar, karena dia seorang yang faqih (faham agama) “.
Gaya Kepemimpinan Mu’awiyah
Mu’awiyah memuliakan para sahabat senior beserta putra-putri mereka, terutama Bani Hasyim. Sehingga pada masanya tidak terjadi perlawanan, kecuali terjadinya kasus pembunuhan atas sahabat nabi Hujr bin Adi atas perintah Mu’awiyah karena tuduhan keterlibatan dalam kerusuhan. Pembunuhan terhadap Hujr bin Adi ini menyebabkan Mu’awiyah dicela oleh Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Pada masa kepemimpinannya, ia fokus memperkokoh keamanan di seluruh wilayah Islam. Untuk itu ia menugasi orang-orang cerdas, kompeten, disiplin, dan berpengalaman.
Bagimana Mu’awiyah Menata waktu untuk mengawasi segala urusan masyarakat?
Ba’da shubuh Muawiyah duduk untuk mendengar juru cerita hingga ceritanya usai. Dilanjutkan membaca Al-Qur’an, lalu masuk ke rumahnya untuk memberikan perintah atau larangan. Dilanjutkan shalat 4 rakaat dhuha.
Selanjutnya ia hadir di majelisnya dan mempersilahkan para pejabat khusus untuk bertukar pikiran. Para menteri juga menghadapnya dan melaporkan keperluan mereka sepanjang hari itu.
Setelah itu ia kembali ke rumahnya untuk menerima pengaduan kaum dhuafa, orang-orang dusun, anak-anak, perempuan, dan lain-lain.
Berikutnya Muawiyah hadir lagi di majelisnya untuk menerima dan melayani orang-orang secara umum, ini berlangsung hingga waktu dhuhur.
Setelah shalat dhuhur ia memanggil para pejabat dan menteri untuk memberikan instruksi-instruksi. Setelah itu duduk untuk menunggu waktu Ashar. Selesai shalat Ashar ia mempersilahkan para pejabat untuk pulang.
Setelah shalat maghrib ia kembali ke rumahnya hingga masuk waktu isya. Setelah itu ia memanggil para pejabatnya untuk memberikan instruksi-instruksi tentang apa yang harus dilakukan malam itu.
Kegiatan selanjutnya adalah Muawiyah menyimak sejarah bangsa Arab, non Arab, kebijakan-kebijakan politik, strategi perang mereka, dan kisah umat-umat dahulu. Setelah itu tidur.
Di sisa sepertiga malam ia bangun, lalu mengambil catatannya untuk mengulang pelajaran. Lalu ia berangkat shalat shubuh.
(Bersambung)