Salah satu prinsip fundamental yang ditekankan oleh Hasan al-Banna dalam risalah dakwahnya adalah urgensi menjaga kemurnian akidah. Dalam Ushulul ‘Isyrin—dua puluh prinsip dasar gerakan dakwah—beliau menulis pada poin keempat:
وَالتَّمَائِمُ وَالرُّقَى وَالْوَدَعُ وَالرَّمْلُ وَالْمَعْرِفَةُ وَالْكِهَانَةُ وَادِّعَاءُ مَعْرِفَةِ الْغَيْبِ، وَكُلُّ مَا كَانَ مِنْ هٰذَا الْبَابِ مُنْكَرٌ تَجِبُ مُحَارَبَتُهُ، إِلَّا مَا كَانَ آيَةً مِنْ قُرْآنٍ أَوْ رُقْيَةً مَأْثُورَةً.
Artinya: “Tamimah (jimat), ruqyah, wada‘ (kerang), raml (meramal dengan pasir), ma‘rifah (klaim pengetahuan mistik), kahin (dukun), dan mengklaim mengetahui hal ghaib, serta segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini adalah kemungkaran yang wajib diperangi, kecuali jika berupa ayat dari Al-Qur’an atau ruqyah yang ma’tsurah (bersumber dari Nabi).”
Pernyataan ini merupakan kritik tajam terhadap maraknya praktik-praktik perdukunan, sihir, dan bentuk lain dari kesyirikan yang dibungkus dengan spiritualitas. Hasan al-Banna menegaskan bahwa seluruh bentuk pengalihan ketergantungan dari Allah kepada selain-Nya adalah bentuk penyimpangan yang wajib diberantas.
Larangan Menisbahkan Ilmu Ghaib kepada Selain Allah
Dalam Surah Al-Jinn [72]: 26-27 Allah SWT berfirman:
“عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا * إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ…”
“(Allah adalah) Yang Mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.”
Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bantahan terhadap para kahin (dukun) dan ‘arraf (peramal) yang mengklaim memiliki akses terhadap perkara ghaib. Ibn al-‘Arabi dalam Ahkam al-Qur’an juga menegaskan bahwa pengakuan mengetahui perkara ghaib adalah bentuk pendustaan terhadap wahyu dan pelanggaran terhadap prinsip tauhid.[1]
Tamimah dan Ruqyah: Antara Syar‘i dan Syirik
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud menyebut:
“مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ“
“Barang siapa menggantungkan tamimah (jimat), maka sungguh ia telah berbuat syirik.”[2]
Dalam syarah hadis ini, al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi menjelaskan bahwa tamimah adalah benda yang digantungkan untuk menangkal bala atau mendatangkan manfaat. Jika seseorang meyakini bahwa jimat tersebut memberi pengaruh tanpa izin Allah, maka ini adalah bentuk syirik besar. Jika ia meyakini bahwa hanya sebagai sebab, maka tetap termasuk dalam syirik kecil karena tidak ada dalil yang mensyariatkannya.[3]
Adapun ruqyah, Nabi SAW memberikan batasan yang jelas. Dalam hadis Muslim disebut:
“اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا“
“Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.”[4]
Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim menyatakan bahwa ruqyah yang dibolehkan harus memenuhi tiga syarat: memakai lafaz yang dapat dipahami, tidak mengandung unsur syirik, dan diyakini bahwa kesembuhan berasal dari Allah semata.[5]
Wada‘, Raml, Ma‘rifah, dan Kahanah: Modus Kuno yang Terus Berulang
Al-wada‘ adalah praktik meramal nasib menggunakan kerang atau benda lainnya. Al-raml merujuk pada ilmu nujum atau ramalan dengan pasir. Ma‘rifah dalam konteks ini adalah klaim mistik bahwa seseorang memiliki “pencerahan” atau “mata batin” untuk mengetahui nasib orang lain. Sedangkan kahanah adalah bentuk klasik dari perdukunan. Semua bentuk ini telah dikenal luas di masa jahiliah dan secara eksplisit dilarang dalam Islam.
Dalam hadis disebutkan:
“مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ”
“Barang siapa mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”[6]
Ibn Taymiyah dalam Majmu‘ al-Fatawa menjelaskan bahwa kepercayaan kepada dukun atau peramal adalah bentuk penghinaan terhadap Al-Qur’an. Hal ini karena Al-Qur’an telah menyatakan bahwa ilmu ghaib adalah hak eksklusif Allah.[7]
Perspektif Aqidah: Syirik dalam Dimensi Sosial
Ulama aqidah seperti al-Safarini dalam Lawami‘ al-Anwar al-Bahiyah membagi syirik menjadi syirik akbar (besar) dan syirik asghar (kecil). Penggunaan jimat, mempercayai ramalan, dan praktik-praktik yang disebut dalam poin ini, tergolong syirik kecil jika tidak meyakini efek independen, tetapi dapat berujung pada syirik besar jika disertai keyakinan bahwa selain Allah memiliki kekuatan gaib.[8]
Relevansi Kontemporer
Meskipun kita hidup di era modern, praktik-praktik seperti jimat digital, ramalan astrologi online, hingga “pengobatan alternatif spiritual” yang tidak jelas sumbernya justru semakin marak. Semangat dari poin keempat Ushulul ‘Isyrin adalah peringatan keras bahwa kebangkitan umat Islam harus dimulai dari tauhid yang bersih dari noda khurafat dan kesyirikan.
Hasan al-Banna menekankan bahwa tugas dakwah adalah memerangi kemungkaran ini, bukan hanya karena penyimpangan akidah, tetapi karena ia membuka pintu bagi kehancuran mental umat: dari ketergantungan, kelemahan, hingga manipulasi oleh pihak yang mengambil keuntungan dari kebodohan masyarakat.
Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, juz 19, hlm. 32-33.
[2] HR. Ahmad, no. 17440; Abu Dawud, no. 3883.
[3] Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, juz 8, hlm. 299.
[4] HR. Muslim, no. 2200.
[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, juz 14, hlm. 227.
[6] HR. Ahmad, no. 9532; Abu Dawud, no. 3904.
[7] Ibn Taymiyah, Majmu‘ al-Fatawa, juz 19, hlm. 32.
[8] Al-Safarini, Lawami‘ al-Anwar al-Bahiyah, juz 1, hlm. 161.