Pendahuluan
Masa sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang disebut oleh Ahmad Syirbasyi sebagai periode kontemporer. Menurutnya, pada awal masa periode ini, perkembangan studi hadis hanya berkutat tanpa adanya sebuah kemajuan, hal ini mungkin yang menjadi penyebabnya ialah masyarakat Islam kala itu sudah terhegemoni dengan budaya eropasentris,sehingga umat Islam masih saja bersikap pasif terhadap kajian hadits.[1] Bahkan, menurut Musthafa Al-Khan dan Nuruddin Al-Itr, dalam rentang tiga abad—di awali dari abad 10 H—studi hadis mengalami deteriorasi (kemunduran atau penurunan mutu).[2]
Abad kesembilan belas juga merupakan periode gencarnya aktivitas para misionaris Kristen dan terjadinya perdebatan antar agama, terutama di India. Akhir abad kesembilan belas juga merupakan periode ketika orang muslim menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang bersikap kritis terhadap keauntetikan literature hadis. Dampak ini paling terasa di India.
Periode hegemoni barat di atas kelemahan politik dan agama masyarakat muslim berikutnya telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi, baik untuk mengakomodasi nilai-nilai barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Hal ini menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali hadis-hadis Nabi SAW tersebut. Meskipun peninjauan ulang hadis Nabi sebagai alat untuk beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang Muslim merasakan dampak langsung dari hegemoni Barat. Kecenderungan tersebut telah berlangsung sebelum dirasakannya tantangan reformis yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 yang mengadopsi sikap kritis terhadap warisan klasik dengan menolak sikap taqlid.
W. Brown menjelaskan, gerakan tersebut dapat dipetakan menjadi empat periodesasi:[3]
Periode pertama, yaitu periode gerakan reformasi abad ke-18. Selama abad kedelapan belas, gagasan kaum tradisional yang memahami bahwa sunnah seharusnya menjadi basis utama hukum Islam. Para reformis memandang pemahaman orang Islam yang telah banyak menyimpang dari sunnah Rasul Saw dan dipengaruhi oleh bid’ah dan taklid terhadap ajaran dan penafsiran hukum klasik. Obatnya adalah dengan kembali kepada al-Qur’an dan sunnah/ hadis. Di antara banyak ulama’ aktivis modernis yang dipengaruhi gagasan ini, dua di antaranya adalah Syah Waliyullah Ad-Dihlawi (1114-1176 H) dari India, dan Muhammad Ibn Ali Al-Syaukani (1172 H – 1250 H), dari Yaman.
Periode kedua, yaitu reformasi berbasis hadis pada abad ke-19 (kesembilan belas). Di India penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap hadis menjadi satu sekte reformis, yaitu Ahli Hadis yang langsung menggunakan tradisi Syah Waliyullah Ad-Dihlawi dan Imam asy-Syaukani
Bagi kelompok Ahli Hadis ini, keseluruhan tradisi klasik pengetahuan Islam diragukan. Hanya dalam sunnah, yang terwakili melalui hadis shahih, kemurnian Nabi Muhammad Saw terpelihara. Dalam pandangan mereka, kaum muslim harus berusaha agar bisa menyamai generasi pertama muslim, yaitu generasi salaf ash-shalih dan kembali mengambil Islam murni sebagaimana ajaran Rasulullah Saw. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara kembali kepada sumber dasar autoritas, al-Qur’an dan sunnah, karena hanya dari sumber inilah esensi Islam yang sesungguhnya dapat ditemukan kembali.
Periode ketiga, yaitu periode para Modernis Awal: Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905 M). Sayyid Ahmad Khan percaya bahwa hanya hadis yang berkaitan dengan masalah spiritual saja yang relevan dengan muslim kontemporer, dan hadis yang bertalian dengan hal-hal duniawi tidaklah mengikat.
Muhammad Abduh mulai menyatakan sikap skeptinya terhadap hadis pada sekitar masa yang sama dengan Sayyid Ahmad Khan, namun jauh lebih hati-hati. Bukti langsung sikap Abduh terhadap keauntetikan hadis terlihat dalam karyanya yang menyebutkan bahwa dia memandang bahwa hanya hadis mutawatir yang mengikat. Akan tetapi, dia tidak pernah menawarkan pendekatan sistematis terhadap kritisme hadis. Abduh lebih merasa akrab dengan masalah teologi daripada fiqih.
Periode keempat, Periode Skripturalisme Qur’ani, yaitu generasi setelah Ahmad Khan dan Abduh. Tanda pertama kecenderungan ini terlihat di Punjab pada awal abad kedua puluh dengan munculnya Ahli Qur’an. Gerakan ini berawal sebagai kelompok yang tak sepakat dengan Ahli Hadis. Kalau Ahli Hadis memandang taklid sebagai sumber penyimpangan dan perpecahan dalam Islam, Ahli Qur’an memandang mengikuti Hadis sebagai penyebab kemalangan Islam. Kalau Ahli Hadis mengklaim bahwa warisan autentik Rasulullah dapat diraih kembali hanya dengan kembali pada Hadis, Ahli Qur’an memandang bahwa Islam yang murni dapat ditemukan hanya dalam al-Qur’an. Al-Qur’an saja, menurut mereka, member landasan yang adil bagi keimanan dan tindak keagamaan.
Situasi dan kondisi tersebut di atas mempengaruhi bagaimana metodologi penulisan literatur pada masa itu.
Perkembangan Literatur Hadis di India
Kajian hadis di India dipelopori Syah Wali Allah al-Dihlawi (1114-1176 H). Sebagai seorang ahli hadis, berbagai kegiatan keagamaan dan penyebarannya dilakukan melalui majelis-majelis, baik di masjid, madrasah maupun di rumah-rumah. Selain itu, al-Dihlawi disibukkan dengan menyusun sejumlah karya bidang hadis, diantaranya al-Mushaffa fi Syarh al- Muwaththa’, dan al-Musawwa Syarh al- Muwaththa’.
Semasa dengan al-Dihlawi, ada al-Sind al-Kabir (w. 1138 H) yang juga produktif menyusun kitab hadis. Kitab-kitab yang dihasilkan diantaranya Fath al-Wadud bi Syarh Sunan Abi Daud dan Hasyiah al- Sindi ‘ala Sunan al-Nasa-i.
Perjuangan al-Dihlawi menyebarkan hadis –dalam konteks riwayah dan dirayah– di India diikuti oleh anak cucunya, diantaranya Syah ‘Abd al-‘Aziz (1159-1239 H), Syah Rifa’ al-Din (1163-1233 H), Syah ‘Abd al-Qadir (1167-1230 H), dan Syah ‘Abd al-Ghani (w. 1227 H). Sementara cucunya, Syah Muhammad Ishaq (w. 1262 H), Syah Isma’il Syahid, dan Syah Muhammad Ya’qub. Madrasah al-Dihlawi merupakan warisan ayahnya, ‘Abd al-Rahim yang bernama al-Madrasah al-Rahimiyah.
Perhatian ulama India terhadap pengembangan kajian hadis ditandai dengan maraknya penyusunan dan penerbitan kitab secara masif. Keadaan itu berlangsung sejak abad ke-13 H, tepatnya ketika Shiddiq Hasan Khan (1248-1307 H) membawa dan mengumpulkan naskah-naskah hadis dari Hijaz dan Yaman ketika ia berhaji dan berkunjung ke ulama berbagai negeri pada tahun 1285 H. Ia membawa salinan dari 25 naskah karya al- Shan’ani (w. 1182 H), Ibnu Taimiyah al- Jadd (w. 728 H), dan al-Syaukani (w. 1255 H).
Begitu besar usaha Shiddiq agar literatur Islam tersebar. Shiddiq juga mengarang kitab berkenaan dengan hadis, diantaranya Fath al-‘Allam Syarh Bulugh al-Maram, al-Siraj al-Wahhaj min Kasyf Mathalib, Nuzul Abrar fi Syarh Muntaqa al- Akhbar dan lainnya. Shiddiq sendiri telah mengarang 222 judul kitab dengan berbagai disiplin ilmu, di antaranya berbahasa Arab. Apabila di Bhopal ada Shiddiq sebagai ulama hadis, maka ‘Abd al-Hayy al-Luknawi merupakan ulama terkemuka di masanya yang mengarang sejumlah kitab dalam bidang hadis, diantaranya al-Ta’liq al-Mumajjad ‘ala al- Muwaththa’ Muhammad, al-Nafi’ al-Kabir Syarh Jami’ al-Shaghir, dan lain sebagainya.
Metode Penulisan Literatur Hadis Abad 13 H Hingga Masa Kini
Telah semakin luasnya wilayah Islam menunjang terjadinya akulturasi budaya yang berakibat pula pada perbendaharaan bahasa Arab yang makin menipis. Bahasa nabi yang lugas serta memiliki sastra yang tinggi, membuatnya sulit untuk dipahami oleh generasi yang hidup jauh setelah era kenabian. Oleh karenanya, di masa ini merujuk kepada kitab syarh dalam mengkaji Hadits seperti menjadi ritual wajib dan tidak terelakkan.[4]
Al-Kutub Al-Sittah menjadi objek kajian utama. Dalam hal ini, di masa itu para ulama hadis India memiliki peran yang cukup penting, yaitu (a) amanah dalam menyampaikan dan menyebarluaskan sunnah Nabi SAW; (b) upaya dalam ‘ihya al-sunnah agar terjaga; dan (c) sedapat mungkin menjaga agar terhindar dari kekeliruan terhadap maksud dari suatu hadis.[5]
Banyak sekali kitab-kitab syarah ditulis oleh para ulama India. Dapat ditelusuri Shahih al- Bukhari disyarah Syah Wali Allah al-Dihlawi judulnya Syarh Tarajim Abwab al-Bukhari; Ahmad ‘Ali bin Luthf Allah al-Saharanfuri (w. 1297 H) judulnya Hasyiah ‘ala Shahih al- Bukhari; Shiddiq Hasan Khan judul ‘Aun al- Bari fi Halli Adillah al-Bukhari; Muhammad Idris bin Muhammad Isma’il al-Kandahlawi (w. 1394 H) berjudul Tuhfah al-Qari bi Halli Musykalat al-Bukhari; Muhammad Zakariya bin Muhammad Yahya al-Kandahlawi (1315-1402) judul al-Abwab wa al-Tarajim min Shahih al-Bukhari.
Shahih Muslim disyarah oleh beberapa ulama, diantaranya Shiddiq Hasan Khan judul al-Siraj al-Wahhaj fi Kasyf al- Mathalib Shahih Muslim bin al-Hajjaj. Sunan Abi Daud disyarah oleh beberapa ulama, diantaranya Isyfaq al-Rahman al- Kandahlawi (w. 1377 H) berjudul Hasyiah ‘ala Sunan Abi Daud; Khalil Ahmad bin Majid ‘Ali al-Saharanfuri (1269-1346 H) judul Badzl al-Majhud fi Halli Sunan
Abi Daud. Sunan al-Nasa-i disyarah oleh beberapa ulama, diantaranya al-Hawasyi al-Jadidah ‘ala Sunan al-Nasa-i karya Abu ‘Abd al-Rahman al-Bunjabi al-Dihlawi (w. 1315 H) bersama Muhammad bin Kifayat Allah al-Syahjihanfuri (1292-1338 H); dan Isyfaq al-Rahman judul Hasyiah ‘ala Sunan al-Nasa-i. Sunan al-Tirmidzi disyarah oleh beberapa ulama, diantaranya Syarh ‘ala Jami’ al-Tirmidzi karya Siraj Ahmad al- Sirhindi (w. 1230 H); dan Tuhfah al-Ahwadzi fi Syarh Jami’ al-Tirmidzi karya ‘Abd al- Rahman bin ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri (1283-1353 H). Sunan Ibn Majah disyarah oleh beberapa ulama, diantaranya ‘Abd al- Ghani al-Mujaddidi al-Dihlawi (1235-1296 H) judul Injah al-Hajah Syarh Sunan Ibn Majah; dan Isyfaq al-Rahman berjudul Syarh Sunan Ibn Majah.
Shiddiq Hasan Khan berpendapat bahwa penulisan syarah terdapat tiga model, antara lain (1) syarah ditandai dengan kata aqulu, yaitu menyatukan letak matan dengan syarah. Untuk membedakannya, ditulis kata aqulu ketika mengawali syarah dan menulis qala atau qala al–mushannif untuk mengakhiri syarah; (2) syarah ditandai dengan kata qauluhu. Dimaksudkan untuk memisahkan matan dengan syarah, seperti matan berada di luar atau di atas garis pemisah, bagian-bagian yang akan disyarah dikutip, lalu mengawalinya dengan menulis kata qauluhu; dan (3) syarah mamzuj atau mazjan, yaitu menyatukan matan dengan syarah, sebagai pembeda ditulis huruf mim dan syin, terkadang syarah cukup ditulis pada bagian bawah matan.[6]
Latar belakang keilmuan ulama hadis di India berpengaruh terhadap karya hadis yang dihasilkan, seperti madzhab, aliran, madrasah, dan metode. Abi al-Hasan al- Nadwi (1914-1999 M) berpendapat, tidak jarang seorang syarih menonjolkan antara hadis dengan pendapat madzhabnya.[7]
Metode Syarah dengan Tiga Pendekatan
Metode syarah yang diaplikasikan ulama India dari kebanyakan karya yang lahir pada abad 12-14 H, dapat diklasifikasi pada tiga pendekatan yaitu, tahlili, ijmali dan muqarin. Tiga pendekatan ini secara historis berawal dari adopsi penulisan tafsir.
Pertama, tahlili, yaitu syarih menganalisa berkenaan dengan aspek yang terkandung di dalam hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimat, sabab al-wurud, munasabah hadis, dan pemahaman hadis dari kalangan sahabat, tabi’in, ataupun para ulama hadis, sesuai dengan kecenderungan dan keahlian syarih. Misalnya al-Sindi dalam sebagian kitab syarh-nya. Meski al-Sindi lebih cenderung pada pendekatan ijmali. Selain itu, ada al- Saharanfuri dengan Badzl al-Majhud dan lainnya.
Kedua, ijmali, yaitu syarih menjelaskan hadis sesuai urutan kitab hadis standar, secara umum, ringkas dan padat, dengan bahasa yang dipahami. Model kedua ini mirip dengan tahlili, hanya saja batasannya pada uraian. Model tahlili uraiannya sangat terperinci, sehingga syarih dapat menulis pendapat dan ide-idenya lebih banyak. Sementara, model ijmali sedikit ruang untuk menyampaikan pendapat dan ide-ide dari syarih. Misalnya Hasyiah al-Sindi ‘ala Sunan al-Nasa-i atau Sunan al-Nasa-i bi Syarh al-Suyuthi wa Hasyiah al-Sindi, al-Dihlawi dalam syarh-nya, Muhammad Syams al-Haq bin Amir ‘Ali al-Azhim Abadi (1273-1329 H) dengan ‘Aun al-Ma’bud ‘ala Sunan Abi Daud dan lainnya.
Ketiga, muqarin, yaitu syarih membandingkan antarhadis atau antarpendapat terkait hadis yang menjadi objek kajian mereka. Misalnya al-Azhim al-Abdi dalam Ghayah al-Maqshud, Tuhfah al- Ahwadzi fi Syarh Jami’ al-Tirmidzi karya al- Mubarakfuri dan lainnya.
Masterpiece Abad 13 H: Nail Al-Autar
Kitab Nail Al-Autar ditulis oleh Muhammad Asy-Syaukani (w. 1250 H) seorang ulama berasal dari Shana’a. Metode dan mazhabnya diterima luas di Yaman, kemudian tersiar di India lewat seorang muridnya yang bernama Abdul Haq al-Hindi.
Nail Al-Authar merupakan syarah daripada kitab Muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Ibnu Taimiyah (w. 728 H), kakek dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Muntaqa al-Akhbar sendiri merupakan kumpulan hadis-hadis sahih yang menjadi dalil masalah-masalah hukum. Jumlah hadis yang terdapat dalam kitab ini, paling banyak dibandingkan kitab kumpulan hadis hukum yang lain, yakni mencapai 4935 hadis. Hadis-hadis tersebut dipilih dari dalam Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan At-Turmuzi, dan Sunan Ibnu Majah. Sebagaimana hal itu dijelaskan sendiri oleh Ibnu Taimiyah dalam mukadimah kitab tersebut.
Dalam karyanya, Nail Al-Autar ini Asy-Syaukani menggunakan beberapa komponen metodologi fiqh al-hadis di antaranya adalah:
- Takhrij
- Jarh wa ta’dil
- Mutabi’at dan syawahid
- Mengkrompomikan hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan (at-taufiq baina al-ahadis)
- Istinbat hukum
- Memaparkan qaul ulama dan mazhab
- Menjelaskan kata-kata asing yang ada dalam redaksi hadis (garib al-hadis)
Kajian dan Literatur Hadis Abad 14 H
Pada awal abad ke 20, beberapa ulama Timur Tengah, seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh menyuarakan ide pembaharuan mereka untuk menganjurkan umat Islam “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” dengan kemasan modernisnya. Sejak itulah hadis mulai mendapatkan perhatian sendiri hingga kajian hadits menempati posisi kajian yang sangat penting.
Studi hadits kembali berkembang di era ini. Para pengkaji hadis dikalangan muslim banyak bermunculan, seperti Muhammad al-Ghazali, Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Syahrur, Mustafa al-Azami, dan Fazlur Rahman, mereka mencoba mengembangkan dan mengkritisi pemikiran tentang hadis. Sedangkan di kalangan non muslim muncul seperti Sprenger, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, ini merupakan bukti bahwa kajian pemikiran hadis mendapat respon yang sangat luar biasa dan senantiasa dikaji.
Pada masa modern-kontemporer ini kajian hadis lebih menitik beratkan pada kajian matan. Karena mau tidak mau perkembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu-ilmu social, antropologi, filsafat turut mewarnai akan kontekstualisasi hadis tersebut yang terfokus dalam pemahaman seputar kajian matan.
Menurut Howard M. Federspiel dalam hasil penelitiannya terhadap literatur Hadis pada tahun 1980-an, banyak temuan karya-karya yang berbasis kajian Hadits, dalam karya hadits tersebut paling tidak terdapat empat jenis (genre) literatur Hadis,
- Literatur ilmu Hadis yang berisi analisis terhadap autentitas dan valitidas Hadis yang berkembang pada masa awal Islam untuk menentukan autentitasdan validitasnya.
- Literatur terjemahan terhadap kitab-kitab Hadis yang disusun pada masa klasik (620-1250 H) dan masa pertengahan Islam (1250-1850 H).
- Antologi Hadis pilihan yang diambil dari kitab-kitab kompilasi Hadis
- Kompilasi Hadis yang digunakan sebagai sumber hukum.
Menurut pengamatan Federspiel, teks-teks tersebut dilihat dari sisi content tidaklah memuat hal-hal baru. Isinya hanya repetasi dari apa yang pernah dipelajari pada masa-masa sebelumnya. Selain dari sisi isi tidak memuat hal-hal baru, juga belum membahas kritik hadis secara tuntas. Teori kritik hadis yang dikemukakan hanya mencakup kritik sanad dan matn yang diarahkan untuk mengetahui secara teoritis belaka tingkat autentisitas dan validitas Hadis. Sedangkan pengembangan kritik matn yang diarahkan untuk fiqh al-hadith (interpretasi Hadis) belum mendapat perhatian.[8]
Kesimpulan
- Pada masa kontemporer (abad 13 H/19 M hingga masa kini), masyarakat Islam dalam kondisi terhegemoni dengan budaya eropa sentris, merebaknya misionaris kristen, dan munculnnya kaum orientalisme. Hal itu mendorong munculnya reformasi Islam dalam rangka mengakomodasi nilai-nilai barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Berawal dari gerakan reformasi abad ke-18 yang menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Diantara tokoh modernis di masa itu adalah Syah Waliyullah Ad-Dihlawi (1114-1176 H) dari India, dan Muhammad Ibn Ali Al-Syaukani (1172 H – 1250 H), dari Yaman. Selanjutnya pada abad ke-19, ide reformasi itu dilanjutkan oleh kelompok Ahli Hadis, dan pada abad ke-20 gagasan pembaharuan ini dibawa kaum modernis awal, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905 M).
- Perkembangan literatur hadis pada abad 13 H/19 M terutama marak terjadi di India, ditandai dengan maraknya penyusunan dan penerbitan kitab secara masif, tepatnya ketika Shiddiq Hasan Khan (1248-1307 H) membawa dan mengumpulkan naskah-naskah hadis dari Hijaz dan Yaman ketika ia berhaji dan berkunjung ke ulama berbagai negeri pada tahun 1285 H. Ia membawa salinan dari 25 naskah karya al- Shan’ani (w. 1182 H), Ibnu Taimiyah al- Jadd (w. 728 H), dan al-Syaukani (w. 1255 H). Bahkan Shiddiq Hasan Khan juga mengarang kitab berkenaan dengan hadis, diantaranya Fath al-‘Allam Syarh Bulugh al-Maram, al-Siraj al-Wahhaj min Kasyf Mathalib, Nuzul Abrar fi Syarh Muntaqa al- Akhbar dan lainnya. Di Lucknow ada ‘Abd al-Hayy al-Luknawi (1264-1304 H), ulama terkemuka di masanya yang mengarang sejumlah kitab dalam bidang hadis, diantaranya al-Ta’liq al-Mumajjad ‘ala al- Muwaththa’ Muhammad, al-Nafi’ al-Kabir Syarh Jami’ al-Shaghir, dan lain sebagainya.
- Pada masa kontemporer ini metode penulisan literatur yang muncul adalah kitab syarah hadis. Al-Kutub Al-Sittah menjadi objek kajian utama. Dalam hal ini para ulama hadis India berperan cukup besar. Banyak sekali kitab-kitab syarah ditulis oleh para ulama India. Syarah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa-i.
- Ada tiga model penulisan syarah: ditandai dengan kata aqulu, ditandai dengan kata qauluhu, dan syarah mamzuj atau mazjan, yaitu menyatukan matan dengan syarah, sebagai pembeda ditulis huruf mim dan syin, terkadang syarah cukup ditulis pada bagian bawah matan.
- Metode syarah yang diaplikasikan ulama India dari kebanyakan karya yang lahir pada abad 12-14 H, dapat diklasifikasi pada tiga pendekatan yaitu, tahlili, ijmali dan muqarin. Tiga pendekatan ini secara historis berawal dari adopsi penulisan tafsir.
- Diantara kitab syarah yang menonjol pada masa kontemporer ini adalah Kitab Nail Al-Autar ditulis oleh Muhammad Asy-Syaukani (w. 1250 H), ulama asal Shan’a Yaman. Dalam karyanya, Nail Al-Autar ini Asy-Syaukani menggunakan beberapa komponen metodologi fiqh al-hadis: Takhrij, Jarh wa Ta’dil, Mutabi’at dan Syawahid, at-taufiq baina al-ahadis, istinbat hukum, memaparkan qaul ulama dan mazhab, dan memaparkan garibul hadits.
- Pada awal abad ke 20 hadis mendapatkan kembali perhatian seiring munculnya ide pembaharuan Jamaluddin al-Afgani (1838-1897 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905 M). Di masa selanjutnya pengkaji hadis bermunculan di kalangan muslim maupun non muslim. Para pengkaji hadis dikalangan muslim, seperti Muhammad al-Ghazali, Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Syahrur, Mustafa al-Azami, dan Fazlur Rahman, mereka mencoba mengembangkan dan mengkritisi pemikiran tentang hadis. Sedangkan di kalangan non muslim muncul seperti Sprenger, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht. Pada masa modern-kontemporer ini kajian hadis lebih menitik beratkan pada kajian matan.
- Menurut Howard M. Federspiel dalam hasil penelitiannya terhadap literatur Hadis, pada masa ini karya hadits tersebut paling tidak terdapat empat jenis (genre): literatur Ilmu Hadis, literatur terjemahan hadis, antologi hadis pilihan, dan kompilasi hadis yang digunakan sumber hukum. Menurutnya, dalam sisi konten tidaklah memuat hal-hal baru. Isinya hanya repetasi dari apa yang pernah dipelajari pada masa-masa sebelumnya.
Referensi
Brown, D. W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung: Mizan: 2000
Hanif Luthfi, Model Penulisan Kitab Hadis, Rumah Fiqih Publishing, 2020, Jakarta
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj Al-Naqd Fi ’Ulum Al-Hadits. Suriah: Dar al-Fikr, 1981.
Lutfi Maulana, Periodesasi Perkembangan Studi Hadis, Esensia, Vol. 17, No. 1, April 2016
Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis (Bandung: Fasygil Grup, 2005).
Sayyid Shiddiq Hasan Khan Al-Qannuji, Al- Hiththah Fi Dzikr Al-Shihhah Al-Sittah, ed. ’Ali Hasan Al-Halabi, Beirut-Amman: Dar al-Jil-Dar Amar
Syirbasi, Ahmad. 1999. Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’anul Karim. Jakarta: Kalam Mulia.
Zulhendra, “Madrasah Hadits India-Pakistan Sejak Abad XII Hingga Abad XIV Hijri: Studi Analitis Perkembangan Ilmu Hadits Di Anak Benua India Abad XII-XIV H
Catatan Kaki:
[1] Syirbasi, Ahmad. 1999. Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’anul Karim. Jakarta: Kalam Mulia.
[2] ’Itr, Nur al-Din. Manhaj Al-Naqd Fi ’Ulum Al-Hadits. Suriah: Dar al-Fikr, 1981.
[3] Brown, D. W. (2000). Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung: Mizan.
[4] Model Penulisan Kitab Hadis, Hanif Luthfi, Rumah Fiqih Publishing, 2020, Jakarta
[5] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis (Bandung: Fasygil Grup, 2005).
[6] Sayyid Shiddiq Hasan Khan Al-Qannuji, Al- Hiththah Fi Dzikr Al-Shihhah Al-Sittah, ed. ’Ali Hasan Al-Halabi, Beirut-Amman: Dar al-Jil-Dar Amar
[7] Zulhendra, “Madrasah Hadits India-Pakistan Sejak Abad XII Hingga Abad XIV Hijri: Studi Analitis Perkembangan Ilmu Hadits Di Anak Benua India Abad XII-XIV H
[8] Periodesasi Perkembangan Studi Hadis, Lutfi Maulana, Esensia, Vol. 17, No. 1, April 2016