Jaminan Kehidupan yang Layak bagi orang-orang tua dan kalangan miskin dari Non Muslim
Islam memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi orang-orang non Muslim yang berdiam di daerah kekuasaan kaum Muslimin, juga keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Sebab mereka adalah rakyat negeri Islam dan menjadi tanggungannya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya…” (HR. Bukhari)
Akad Jaminan Khalid bin Walid
Hal seperti itu berlangsung di masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun dan sesudah mereka. Misalnya dalam akad dzimmah yang ditulis Khalid bin Walid untuk penduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani disebutkan:
“Saya tetapkan bagi mereka—setiap orang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit atau tadinya ia kaya kemudian jatuh miskin sehingga teman-temannya dan para penganut agamanyamemberinya sedekah—maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah, dan untuk selanjutnya ia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi tanggungan Baitul Mal (Kas Negara) kaum Muslimin.”[1]
Hal tersebut berlangsung di masa kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan dengan diketahui sejumlah besar para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalid menulis surat kepada Abu Bakar tentang hal itu, dan tidak seorang pun mengajukan keberatan. Keadaan seperti ini dianggap sebagai suatu ijma’.
Kebijakan Jaminan Kehidupan Layak bagi Non Muslim di Zaman Umar
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya di kala ia masih muda, kemudian menelantarkannya kala ia telah lanjut usia!”[2]
Pada saat melewati desa Jabiyah, dekat Damaskus, Umar melihat beberapa orang Nasrani yang menderita penyakit kusta. Ia memerintahkan agar mereka diberi bagian dari uang sedekah dan ditetapkan bagi mereka tunjangan tertentu untuk memenuhi keperluan makanan dan kebutuhan mereka lainnya secara teratur.[3]
Jaminan Sosial Islam
Dengan itu berlangsunglah ‘jaminan sosial’ dalam Islam sebagai suatu konsep umum yang meliputi seluruh anggota masyarakat, Muslim ataupun non-Muslim. Tidak dibenarkan adanya seorang manusia dalam lingkungan masyarakat Islam yang tidak memperoleh kecukupan makanan, pakaian, kediaman, dan pengobatan, sebab menghilangkan kemudhorotan dari seorang Muslim atau non-Muslim adalah suatu kewajiban islami yang pasti.
Dalam bukunya Al-Minhaj, Imam Nawawi menyebutkan bahwa termasuk di antara fardhu kifayah untuk mencegah kemudharatan atas masyarakat Muslim dengan cara memberi pakaian kepada orang yang tidak berpakaian atau memberi makanan kepada yang lapar, terutama apabila uang zakat dan Baitul Mal tidak cukup untuk mengatasinya.
Kemudian As-Syaikh Syamsuddin Ar-Ramli As-Syafi’i menjelaskan bahwa ahludz-dzimah sama kedudukannya dengan kaum muslimin dalam kewajiban ‘pencegahan kemudharatan’ atas diri mereka. Kemudian As-Syaikh Ar-Ramli membahas ketentuan arti ‘pencegahan kemudharatan’ sebagai berikut:
“Apa yang dimaksud dengan ‘pencegahan kemudharatan’ atas orang-orang tersebut ialah memberi mereka makanan sekadar mencegah kematian ataukah yang sesuai dengan kecukupan? Terdapat dua pendapat, yang lebih shahih ialah yang kedua (yakni memberi mereka kecukupan). Maka dalam memberi mereka pakaian haruslah yang dapat menutupi seluruh tubuh dan yang sesuai dengan keadaan cuaca musim panas dan dingin. Di samping makanan dan pakaian, juga segala sesuatu yang dianggap perlu seperti biaya dokter, harga obat, pelayan sementara dan sebagainya.”
Selanjutnya ia berkata: “Di antara hal-hal yang termasuk ‘pencegahan kemudharatan’ dari kaum Muslimin dan Dzimmiyyin (non-Muslim) ialah upaya melepaskan mereka dari tawanan.”[4]
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam bukunya Al-Khiraj, hal. 44.
[2] Ibid, hal. 126
[3] Futuh Al-Buldan, Al-Baladzuri, hal. 177, Cetakan Beirut
[4] Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Ar-Ramli, jilid VIII, hal. 46.