Oleh: Prof Sudarnoto Abdul Hakim
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional
Perbuatan keji dan menjijikkan “Genosida” Israel terhadap warga Gaza Palestina masih berlangsung hingga hari ini dengan korban hampir 50 ribu orang meninggal pascaserangan 7 Oktober 2023 lalu. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kebijakan politik militer Israel tak ubahnya seperti perilaku gerombolan manusia primitif yang dengan bengis menghancurkan, merampas, menista, dan membunuh.
Misi Israel memang menghancurkan dan meluluhlantakkan. Tampak dari sikap nyata Israel yang menginjak-injak hukum internasional dan banyak konvensi PBB. Bahkan, Amerika pun dengan lantang membiarkan dan bahkan membela penghancuran Israel terhadap kedaulatan institusional PBB, kehormatan dan keadilan hukum internasional, kemanusiaan, dan perdamaian dunia, khususnya penghancuran terhadap Gaza.
Nafsu angkara Israel kini dibalut dengan political superiority and supremacism, melalui keputusan afirmatif ekonomi Amerika yang dijadikan pembenaran terhadap teror dan aksi-aksi agresif Israel terhadap warga Gaza. Itulah sebabnya, hingga akhir 2024 pembantaian terus dilakukan dengan sangat mudah oleh Israel.
Jadi, untuk menghentikan kekuatan agresi militer dan politik imperialistik Israel haruslah menghentikan kepongahan supremasisme Amerika. Spirit Amerika ini menjadi sumber atau faktor penting yang melemahkan kedaulatan institusional PBB. Sepanjang supremisisme ini dibiarkan, maka veto Amerika akan tetap berlaku. Hal ini akan mengakibatkan kesimbangan politik secara global (global political equilibrium) tidak akan pernah terwujud.
Inilah ketidakadilan global yang tercipta secara sistimatik. Ketidakadilan global ini merupakan gambaran pengkhianatan cita-cita awal didirikannya PBB. Di samping itu, ketidakadilan ini juga mendorong lahirnya kekuatan-kekuatan imperialisme baru (istilah Soekarno Presiden pertama Indonesia; Neokolim) yang sangat agresif dan sistemik dalam bentuk ketergantungan kuat kepada lembaga-lembaga ekonomi kapitalisme dunia.
Terjadi perdagangan bebas yang hanya menguntungkan negara-negara besar, ketidakadilan dan kemiskinan permanen, rasisme-rasialisme yang sejalan dengan praktik-praktik budaya diskriminasi, segregasi dan apartheid yang berujung pada konflik, genosida dan penghancuran. Inilah wajah dunia saat ini, ada luka peradaban dunia yang sudah menganga lebar.
Tragedi Gaza bukanlah tragedi geografis di wilayah kecil yang namanya Gaza. Tragedi Gaza adalah tragedi kemanusiaan di mana kedaulatan dan hak-hak paling mendasar manusia yang dilindungi oleh PBB dan agama telah dinistakan oleh Israel. Peristiwa di Gaza bukanlah soal Hamas dan pemerintah Israel. Ini adalah soal pelanggaran dan pelecehan terhadap banyak konvensi PBB dan hukum internasional yang terbiarkan.
Persoalan Gaza adalah soal bagaimana kemanusiaan dilindungi, apartheid dihapuskan, dan persoalan bagaimana masyarakat internasional menjadi bagian penting membela dan mendukung sekaligus memerdekakan Palestina sebagai negara yang berdaulat penuh. Tragedi Gaza adalah soal perjuangan universal menghapus penjajajan dan mewujudkan kemerdekaan. Oleh karena itu, harus ada pembelaan dan pengakuan internasional terhadap Palestina.
Narasi sesat dan busuk yang dikembangkan oleh Israel, Amerika dan kekuatan-kekuatan zionisme internasional antara lain menegaskan “perlawanan Palestina adalah terorisme”, “Palestina tidak pernah ada sebagai negara”, “Israel adalah korban”, dan “Palestina tidak pernah menginginkan perdamaian” sangatlah membahayakan.
Narasi itu haruslah dilawan dengan baik dengan mengembangkan dan memperkuat gerakan literasi terutama di kalangan anak-anak muda. Gerakan literasi yang dilaksanakan secara terus menerus dengan menggunakan sumber-sumber yang otentik sangatlah penting disamping untuk menjaga agar tidak terprovokasi oleh pemikiran dan gerakan agen-agen Zionisme.
Berbagai cara atau pendekatan harus dilakukan untuk terus membela Palestina melawan Israel. Pembelaan terhadap Palestina adalah abadi sepanjang Palestina masih terjajah. Upaya atau perjuangan politik, diplomasi, hukum, militer dan kemanusiaan perlu untuk terus dioptimalkan pada 2025.
Berbagai langkah tersebut sebetulnya sudah dilakukan selama ini, termasuk tentu saja oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dalam tingkat tertentu, sudah membuahkan hasil akan tetapi memang belum sempurna. Di antara keberhasilan yang sudah tercapai adalah tersisihnya Israel dan Amerika dalam konteks diplomasi dan politik global. Hal ini ditandai dengan adanya pengakuan lebih dari 2/3 negara anggauta PBB kepada Palestina dan dukungan global masyarakat sipil lintas agama, kultural, bangsa, dan golongan terhadap pejuangan Palestina.
Keberhasilan lainnya ialah dikeluarkannya perintah ICC untuk menangkap Netanyahu dan diterbitakannya advicory opinion ICC terkait dengan okupasi dan genosida Isarel terhadap warga Gaza, kendati belum diputuskan di DK PBB.
Peran Indonesia pada 2025 ini semakin dibutuhkan melanjutkan kegigihan pembelaan Indonesia pada periode sebelumnya. Pidato Presiden Prabowo dan Ketua MPR RI pada saat pelantikan, pidato Wakil Menteri Luar Negeri Anis Matta, dan Pidato Presiden Prabowo saat KTT-D8 sangat penting karena menegaskan komitmen Indonesia untuk membela Palestina.
Bahkan, ajakannya kepada OKI misalnya untuk semakin bersatu padu mengkonsolidasi diri melawan Israel membela Palestina adalah sinyal kuat bahwa Indonesia harus menjadi main player dalam penyelesian Palestina ini.
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa persatuan di kalangan negara D-8 sangat diperlukan agar bisa membela Palestina merupakan suatu kebenaran. Sehubungan dengan itu, di internal Indonesia sendiri, engagement pemerintah-masyarakat sipil harus dipekuat sehingga meyakinkan semua elemen bangsa untuk benar-benar membela Palestina.