Ekonomi yang memburuk dan pasokan listrik yang semakin berkurang membuat warga Suriah kembali pada cara-cara lama untuk mendapatkan listrik.
Homs, Suriah – Abu Mohamed, seorang pria Suriah berusia enam puluhan, berjalan di Jalan Al-Hamedya Homs membawa kompor minyak tanah lawas, yang menurutnya perlu segera diperbaiki. Ketika dia sampai di toko tempat dia membeli alat itu belum lama ini, dia diberitahu alasan alat itu berhenti bekerja: penggunaan yang berlebihan dan bahan bakar berkualitas buruk.
Warga Suriah, yang sedang mengalami kesulitan ekonomi terburuk sejak negara mereka dilanda perang lebih dari satu dekade kebelakang, semakin bergantung pada peralatan dan cara lama untuk mengatasi kekurangan bahan bakar dan pemadaman listrik yang berlangsung lama.
Tanpa tenaga listrik, lebih dari 90 persen warga Suriah telah jatuh di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka tidak dapat menyalakan alat penghangat, memasak, ataupun mencuci. Sebagai gantinya, mereka harus kembali ke toko barang-barang antik yang sudah lama mereka abaikan.
“Sebelum 2010, pelanggan kami adalah turis Barat atau Arab yang membeli barang-barang ini sebagai suvenir dan membayarnya dalam dolar. Waktu itu adalah masa-masa kemakmuran bagi pasar dan kami menjalaninya dengan sangat baik,” kata Abu Khaled kepada Al Jazeera. Dia juga mengatakan bahwa dia mewarisi kerajinan tangan dari nenek moyangnya.
Saat kekerasan melanda Homs, pasar hancur parah dan bisnis terhenti, kata Abu Khaled.
“Kami kembali dan membuka kembali toko kami pada tahun 2015, dan sejak itu, basis klien kami telah berubah dan begitu pula pendapatan kami. Pelanggan sejak itu adalah warga Suriah yang miskin yang kebanyakan ingin memperbaiki kompor kuningan mereka yang sudah lama terlupakan,” katanya.
“Perbaikan yang sering dilakukan”, tambah dia, “adalah mengganti kepala tungku, yang dapat menelan biaya sekitar 10.000 hingga 15.000 lira”, nilai tersebut setara dengan $2,55 hingga $3,8 jika mengacu pada nilai tukar saat sekarang, ini merupakan jumlah yang kecil dibanding dengan penjualan yang dilakukan pedagang di pasar pada masa yang lalu, katanya.
Pengurangan dan pemadaman
Empat dari 14 pembangkit listrik Suriah telah rusak parah akibat pertempuran. Hal ini membuat produksi listrik Suriah 18 persen lebih sedikit daripada sebelum perang. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Suriah telah memberlakukan skema penjatahan listrik untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Menurut skema, wilayah di seluruh Suriah hanya mendapatkan satu jam listrik untuk setiap lima atau 10 jam pemadaman listrik. Ini telah melumpuhkan rumah tangga dan membuat mereka mencari alternatif.
Amira Youssef, ibu dari sembilan anak yang tinggal di Bab Touma di ibu kota Damaskus, menyesal pernah menyingkirkan kompor minyak tanahnya.
“Saya pikir waktunya sudah habis karena kehidupan kami membaik sebelum perang. Saya akhirnya merasa terganggu karena menempati ruang kecil yang dibutuhkan di rumah dan memutuskan saya tidak lagi membutuhkannya, ”katanya kepada Al Jazeera melalui telepon.
Youssef menjelaskan bahwa dengan situasi ekonomi yang memburuk, dan memiliki begitu banyak anak – dan 13 cucu – untuk memasak, dia harus membeli kompor lain seharga 60.000 lira.
“Saya tidak bisa memasak dengan kayu bakar seperti yang dilakukan orang lain di pedesaan karena saya tinggal di sebuah flat di kota. Kompor minyak tanah ini adalah satu-satunya pilihan saya untuk meletakkan makanan di atas meja,” tambahnya.
Di pedesaan Suriah, bola-bola kotoran hewan yang dijemur dicampur dengan jerami, selain kayu bakar, telah menjadi bahan bakar umum untuk kompor dan oven di luar ruangan, karena tabung gas memasak sering membutuhkan waktu tiga bulan untuk dikirim, dan hanya bertahan 20 hari.
Di musim dingin yang membekukan, keluarga-keluarga berkerumun di sekitar api unggun yang dinyalakan oleh kotoran hewan untuk kehangatan yang sangat dibutuhkan.
Tapi, jika di kota, alternatif seperti itu bukanlah pilihan.
Keluarga Abdelrazek Toulaimat biasa menjual lampu minyak tanah dan kompor puluhan tahun lalu.
“Tetapi ketika listrik masuk ke rumah-rumah dan pipa-pipa gas memasak yang dialirkan ke setiap rumah tangga, kami kemudian menyimpan apa yang tersisa dari barang-barang itu,” kata pemilik Toko Toulaimat.
Namun, ketika kesulitan diesel semakin meningkat di negara ini, mulai tahun 2014, permintaan terhadap lampu dan kompor berbahan bakar minyak tanah yang lebih murah dan lebih mudah untuk didapat semakin meningkat, jelas Toulaimat.
“Seperti toko lain, kami mengembalikan stok yang telah kami lupakan, dan dengan cepat terjual habis. Jadi kami membuat lebih banyak, dalam berbagai ukuran, dan menjualnya dengan harga lebih tinggi. Kompor dijual seharga 4.000 lira, dan harga sebuah lampu sekitar 20.000,” katanya, seraya memberikan catatatan bahwa pasar barang bekas juga semakin populer.
Mencari cahaya
Pemerintah Suriah menyalahkan United States’ Caesar Act karena menyebabkan kekurangan bahan bakar yang parah di negara itu. Tindakan tersebut memberlakukan sanksi ketat yang telah mengganggu pengiriman impor sejak diberlakukan pada 2019.
Warga Suriah di seluruh dunia telah merasakan efeknya, meskipun AS bersama dengan oposisi Suriah, mengatakan bahwa tindakan itu diperlukan untuk menghukum Presiden Suriah Bashar al-Assad dan sekutunya secara finansial.
Terkait pemadaman listrik yang disebabkan oleh skema penjatahan listrik nasional, Lo’ay al-Mohamed, ayah dari tiga anak di Homs, mengatakan bahwa gangguan pada jaringan listrik bisa memakan waktu berhari-hari untuk diperbaiki, ini membuat warga berada dalam kegelapan.
“Kami harus mengeluarkan lentera tua berbahan bakar minyak tanah. Kami memilikinya sebagai hiasan di rumah kami, tetapi kami mengembalikannya ke tujuan semula karena alat ini hanya membutuhkan sedikit minyak tanah atau mazut untuk dapat menyala selama berjam-jam, ”katanya.
Nagham Qasem, seorang mahasiswa teknik, mengatakan lilin pernah dikaitkan dengan romansa dan suasana hati yang lembut. “Tetapi ketika Anda dipaksa untuk menggunakannya selama berjam-jam, kecantikan mereka akan memudar,” kata mahasiswa berusia 23 tahun di Universitas al-Ba’th di Homs.
“Lilin telah menjadi lambang dari sebuah perang yang tidak akan mereda tanpa memakan korban,” kata Qasem. “Tetapi, saya dan teman-teman saya, dan semua pelajar yang saya kenal, tetap optmis. Kami tidak menyerah pada kegelapan, kami tetap belajar walaupun dengan cahaya lilin.”
Sumber: https://www.aljazeera.com/features/2022/5/3/blackouts-force-syrians-return-old-ways-keep-lights-on