Cara-cara halus dan kasar telah dilakukan kaum musyrikin Quraisy untuk menghambat dakwah Islam; namun semuanya selalu kandas. Cahaya Islam terus memancar. Hal ini membuat mereka semakin risau dan murka. Terlebih lagi, Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib bersikeras untuk melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apapun resikonya.
Kaum Quraisy kemudian berkumpul di kampung Bani Kinanah yang terletak di lembah al-Mahshib untuk membuat kesepakatan berisi tekanan kepada Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib. Mereka bersepakat untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibunuh. Kesepakatan itu ditulis oleh Baghidl bin ‘Amir bin Hasyim di atas sebuah shahifah yang kemudian digantungkan di dinding Ka’bah.
Mengetahui hal itu, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib—baik yang masih kafir maupun yang sudah beriman—selain Abu Lahab, tetap bersikukuh untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi’tsah (diutusnya beliau sebagai Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut.
Sesuai kesepakatan pemboikotan itu, maka kaum musyrikin selalu berupaya menahan makanan agar tidak sampai kepada Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib sehingga kondisi mereka semakin payah. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit atau memakan makanan yang didatangkan secara sembunyi-sembunyi. Merekapun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.
Selama masa pemboikotan, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan beliau untuk berbaring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Dan manakala orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera-putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara beliau diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.
Pada masa itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin tetap keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam.
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut. Diantara tokoh yang kontra terhadap kesepakatan itu adalah Hisyam bin ‘Amru dari suku Bani ‘Amir bin Lu-ay. Dialah yang secara sembunyi-sembunyi sering menyuplai bahan makanan kepada Bani Hasyim.
Suatu saat Hisyam menemui Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzumiy yang merupakan anak dari ‘Atikah binti ‘Abdul Muththalib, untuk mengajaknya melakukan upaya pembatalan pemboikotan. Ditemuinya pula Muth’im bin ‘Adiy yang menyepakati pula hal itu, namun ia meminta tambahan orang, maka Hisyam menemui Abu al-Bukhturiy bin Hisyam. Ia pun meminta tambahan orang, maka Hisyam menemui Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad dan mengajaknya pula untuk melakukan pembatalan pemboikotan. Mereka semua kemudian bersepakat untuk berkumpul esok hari di pintu Hujun dan berjanji akan melakukan pembatalan terhadap shahifah.
Ketika paginya, mereka pergi ke tempat perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu mengelilingi ka’bah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak seraya berkata: “Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan rahim dan zhalim ini dirobek!”.
Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut: “Demi Allah! engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!”.
Lalu Zam’ah bin al-Aswad memotongnya: ”Demi Allah! justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika ditulis waktu itu”.
Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya”.
Berikutnya, giliran al-Muth’im yang menambahkan: “Mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis didalamnya”.
Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang menimpali seperti itu pula.
Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal: ”Urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu!”.
Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut Masjidil Haram. Dia datang ke tempat itu atas dasar pemberitahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya bahwa Allah Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan semua tulisan shahifah yang berisi pemboikotan kecuali tulisan nama Allah Ta’ala di dalamnya. Abu Thâlib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan hal ini. Dia berkata: “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap kami”.
Orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Kalau begitu, engkau telah berbuat benar”.
Setelah itu berdirilah al-Muth’im bin Adiy menuju shahifah untuk merobeknya. Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan “Bismikallah” (dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.
Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh Allah: “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata:”(Ini adalah) sihir yang terus menerus”. (Q.S. 54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari kekufuran ke kekufuran yang lebih lagi.
Ibrah:
- Allah Ta’ala akan selalu menguji kesabaran dan daya tahan hamba-hamba-Nya di medan perjuangan. Sehingga mereka semakin kuat dan lebih tangguh.
- Diperbolehkannya memanfaatkan perlindungan non muslim yang tidak memusuhi dakwah dan memanfaatkan semangat kesukuan mereka untuk menjauhkan rintangan yang menghalangi jalan dakwah.
- Setiap muslim harus selalu menanamkan tsiqah (kepercayaan) yang utuh kepada Allah Ta’ala. Pertolongan-Nya pasti datang jika sifat-sifat kelayakan untuk mendapatkan pertolongan itu telah terpenuhi. Allah Ta’ala berkuasa menggerakkan hati siapapun untuk menjaga kaum muslimin. Dia pun memiliki junud (pasukan), yang tidak diketahui dan disadari oleh siapa pun yang bekerja untuk membantu kaum muslimin, seperti yang dilakukan rayap terhadap shahifah pemboikotan.
- Secara tersirat, lintasan sirah ini menggambarkan bahwa ahlul batil harus dihadapi dengan argumentasi dan bukti, tidak boleh menyikapi siksaan dengan siksaan, makian dengan makian.
Wallahu A’lam.