Istilah “mencerdaskan kehidupan bangsa” di dalam Konstitusi Negara Indonesia tidak semata-mata bersifat rasio-instrumental semata, tetapi melibatkan pembangunan akal budi, iman, dan takwa yang bersumber dari nilai-nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa.
Di dalam Konstitusi, acuan ini dibakukan pada ayat 3 dan ayat 5 Pasal 31 UUD 1945. Di mana pada ayat tersebut unsur iman, takwa, akhlak mulia, dan nilai-nilai agama secara integral dimasukkan dalam maksud “mencerdaskan kehidupan bangsa” bersama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Jadi pendidikan Indonesia itu memang harus punya basic nilai iman, takwa dan membangun akhlak mulia yang arahnya dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah yang disebut sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang bersifat holistik, bukan hanya kognisi kepandaian, penguasaan keahlian, tapi juga seluruh dimensi kehidupan manusia yang utuh,” ingat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Dalam pidato di Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR), Selasa (17/1), Haedar mengatakan bahwa pendidikan nasional Indonesia memiliki dua orientasi yang sifatnya holistik, yaitu orientasi mendasar jangka panjang, dan orientasi pragmatis jangka pendek.
Orientasi jangka panjang berupa akal budi yang sumbernya nilai-nilai utama dari agama dan kebudayaan luhur bangsa, sedangkan orientasi jangka pendek adalah keterampilan berdasar kebutuhan pasar. Dua orientasi ini kata dia tidak boleh dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, atau bahkan direduksi salah satunya.
“Maka menjadi disorientasi dari konstitusi manakala pendidikan kita didesain hanya untuk mengambil jangka pendek semata-mata yang seolah-olah bahwa pendidikan adalah proses fabrikasi. Di ayat kelima lebih jelas lagi, pemerintah memajukan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan nasional untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia,” terang Haedar.
Di lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah, acuan konstitusi ini diterjemahkan dengan penguatan kurikulum Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK). Haedar lantas berpesan agar pengambil kebijakan di dunia pendidikan seksama memperhatikan acuan konstitusi agar arah pendidikan nasional tidak salah arah.
“Jadi kementerian pendidikan nasional harus meletakkan nilai-nilai agama dan persatuan bangsa itu sebagai hal yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan penyelenggaraan strategi pendidikan nasional. Itu amanat konsittusi,” tegasnya.
“Jadi kalau ada suara yang terus menyampaikan agar Pendidikan Nasional, Peta Jalan Pendidikan Nasional, Indonesia Emas 2045 harus menjunjung tinggi nilai agama, itu bukan priomordialisme. Itu bukan radikalisme, itu konstitusi dan itulah Indonesia. Cuma mungkin sebagian tidak baca, atau lupa membaca,” kritik Haedar.
“Maka tidak ada ruang dalam pendidikan nasional kita untuk sekularisme, menjauhkan agama dari negara dan pendidikan nasional. Tapi juga catatan penting bagi umat beragama agar pemahaman, konstruksi, sistem keyakinan, dan praktek beragama itu memang harus mendalam, luas dan membawa rahmatan lil alamin. Bukan agama yang dikonseptualisasi dengan pandangan yang bias, sempit, ghuluw, tatharuf, ekstrim karena nanti akan menimbulkan pandangan negatif tenang agama,” pungkasnya. (afn)