Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Syifa Amin Widigdo menjadi penceramah Sabtu malam (08/03) di Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebelum tarawih berjamaah.
Dalam ceramahnya, Syifa mengangkat tema penting tentang spirit pembaharuan Islam yang digagas oleh Muhammad Abduh, seorang ulama reformis asal Mesir pada akhir abad 19 dan awal abad 20, serta resonansinya dalam konteks Indonesia dan Malaysia.
Syifa memulai ceramahnya dengan menegaskan bahwa pembaharuan (tajdid) merupakan salah satu pilar utama Muhammadiyah, yang tercermin dalam keberadaan Majelis Tarjih dan Tajdid. Ia mengutip landasan kuat dari Al-Qur’an, yakni Surah Ar-Ra’ad ayat 11.
Ayat tersebut berbunyi, “Innallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bi-anfusihim” (Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri). Ayat ini, menurutnya, menegaskan peran aktif manusia dalam menciptakan perubahan, bukan sekadar berserah pada takdir atau seleksi alam.
Ia juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, “Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap seratus tahun seseorang yang akan memperbarui agamanya.” Hadis ini menjadi dasar bahwa pembaharuan adalah bagian dari dinamika Islam yang terus berjalan sepanjang zaman.
Inspirasi dari Muhammad Abduh
Syifa menyoroti sosok Muhammad Abduh sebagai pelopor pembaharuan Islam yang muncul di tengah tantangan besar umat Islam pada masanya, yakni kolonialisme dan keterpurukan intelektual. Ketika bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris menjajah wilayah Muslim, termasuk Indonesia dan Malaysia, umat Islam menghadapi kemerosotan.
Di sisi lain, intelektual Prancis seperti Ernest Renan pada 1883 menyebut Islam sebagai penghambat kemajuan sains dan teknologi, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh Abduh.
Bersama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa untuk menawarkan pandangan bahwa Islam justru mendorong kemajuan ilmu pengetahuan.
Bersama muridnya, Rasyid Ridha, ia juga menghasilkan karya monumental seperti Risalah Tauhid, majalah Al-Manar, hingga tafsir Al-Qur’an yang menekankan pembersihan akidah dari takhayul, bidah, dan khurafat (TBC).
Abduh menegaskan harmoni antara akal dan wahyu, menolak taklid buta, serta mendorong ijtihad dan amal saleh sebagai wujud tanggung jawab manusia.
Spirit pembaharuan Abduh menyebar hingga Asia Tenggara, menginspirasi tokoh-tokoh seperti Syekh Tahir Jalaluddin dari Minangkabau. Setelah belajar di Mesir dan berinteraksi dengan karya Abduh, ia menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura pada awal abad 20, yang mengusung agenda serupa: pembersihan akidah, penggunaan akal, dan amal saleh.
Murid-muridnya, seperti Syekh Jamil Jambek dan Abdul Karim Amrullah, melanjutkan gagasan ini di Indonesia dengan mendirikan majalah Al-Munir.
Dari sinilah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pada 1912, terinspirasi. Ia mengadopsi ide pembaharuan dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan berbagai amal usaha, serta memadukan sains dalam praktik keagamaan, seperti penggunaan kompas untuk menentukan kiblat.
Gagasan ini juga diterima di Malaysia, khususnya di Perlis, meski tak lepas dari pertentangan di beberapa wilayah.
Tantangan Masa Kini
Syifa mengajak jemaah untuk merefleksikan tantangan zaman sekarang. Jika para pendahulu berhasil mengidentifikasi masalah seperti kolonialisme dan TBC, ia mempertanyakan apa yang menjadi “tahayul baru” di era modern—mulai dari ketergantungan pada teknologi hingga praktik yang menyimpang dari akidah murni.
Ia menekankan pentingnya generasi muda untuk menjadi mujaddid (pembaharu) baru yang mampu menawarkan solusi bagi umat, bangsa, dan agama.
“Para pendahulu kita telah menunjukkan jalan. Sekarang tugas kita adalah mengidentifikasi masalah zaman ini dan bertindak dengan amal saleh. Ramadan ini adalah momentum untuk mentransformasi diri menjadi calon mujaddid,” tutup Syifa.
Sumber: Muhammadiyyah.or.id