Perang Ahzab: Produk Murni Orang Yahudi
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Perang itu ibarat api. Tak mungkin membara jika tak ada yang menyulutnya. Dalam bentangan sejarah, umat Islam tak pernah memantik api peperangan. Namun jika perang berkobar, kaum Muslimin pantang mundur. Pada Perang Khandaq, kaum Yahudilah penyulutnya.
Dari sekian banyak peperangan di masa Nabi saw, Perang Ahzablah yang paling banyak melibatkan semua sisi perang. Masa-masa kritis bagi kaum Muslimin juga terjadi dalam perang ini. Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri dalam karyanya ar-Rahiqul Makhtum menggambarkan: seandainya saja pasukan Ahzab berhasil menyerbu Madinah, bisa dipastikan riwayat umat Islam tamat.
Dari sisi jumlah, pasukan Ahzab berkali lipat. Tentara mereka yang mengepung Madinah dengan segala perlengkapan perang mencapai lebih dari 10 ribu orang. Hampir seluruh jawara kafir Quraisy keluar. Di antara mereka adalah Abu Sufyan bin Harb, Khalid bin Walid, Amr bin Abdul Wudd, Amr bin Ash dan Ikrimah bin Abi Jahal dan tokoh lainnya.
Sedangkan umat Islam hanya berjumlah 3000 orang. Angka 3000 ini bukan jumlah tentara yang siap perang, tapi termasuk anak-anak, wanita dan orang-orang tua. Kondisi umat Islam makin terjepit bukan semata karena jumlah yang jauh lebih sedikit. Di luar Madinah mereka dikepung, di dalam Madinah sendiri, berkeliaran orang-orang munafik dan Yahudi yang siap berkhianat.
Ya, Yahudi. Inilah sumber segala petaka dalam Perang Ahzab. Merekalah biang kerok perang Khandaq. Tak heran kalau Dr Munir Muhammad Ghadhban dalam karya al-Manhaj al-Haraki menyebut perang ini sebagai produk asli orang Yahudi. Bagaimana penjelasannya?
Ketika Nabi saw hijrah ke Madinah, kota itu dikuasai tiga kelompok Yahudi: Bani Qainuqa’, Bani Nadahir dan Bani Quraizhah. Akibat pengkhianatan mereka, satu persatu kelompok Yahudi ini dibasmi dan sebagian terusir dari Madinah. Riwayat Bani Qainuqa tamat setelah Perang Badar. Riwayat Bani Nadhir selesai setelah Perang Uhud. Kisah Bani Quaraizhah juga habis usai Perang Ahzab ini.
Nah, usai Perang Uhud, begitu terusir dari Madinah, kelompok Bani Nadhir melarikan diri ke Khaibar. Dari sinilah mereka ‘mengendalikan dunia’. Di Khaibar terdapat orang-orang yang memiliki perlengkapan dan keuletan tapi tidak memiliki tentara yang cukup. Maka, mereka menuju Makkah guna mengajak orang-orang Quraisy untuk memerangi Muhammad saw.
Dari tinjauan politik, ini sangat cerdik. ‘Musuh bagi musuh adalah teman.’ Demikian prinsip yang mereka gunakan. Yahudi Bani Nadhir mengetahui, di antara musuh yang begitu besar dendamnya kepada Muhammad saw dan pengikutnya adalah kafir Quraisy. Meski kekalahan mereka pada Perang Badar sedikit terobati dengan Perang Uhud, namun pada perjalanan sejarah selanjutnya, kafir Quraisy makin merasa terancam. Otak licik Bani Nadhir bekerja. Untuk membalaskan dendamnya kepada Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin, ia berniat membentuk Koalisi Besar. Sebuah pasukan gabungan yang terdiri dari orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin selama ini. Kafir Quraisy adalah kelompok pertama yang mereka hasut!
Tanpa membuang peluang, Bani Nadhir segera mengajak orang-orang Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. “Kami akan selalu bersama kalian untuk menghadapinya, hingga kita berhasil mengalahkannya,” ujar Huyay bin Akhthab dari Bani Nadhir.
“Hai orang-orang Yahudi, kalian ahli kitab yang pertama, dan mengetahui perkara yang kami perselisihkan dengan Muhammad. Manakah yang lebih baik antara agama kami dan agama yang dibawanya?” tanya seorang pemuka Quraisy.
Orang-orang Yahudi itu menjawab, “Agama kalian lebih baik dari agama Muhammad dan kalian lebih benar daripada dia.”
Tak cukup melobi kafir Quraisy, Yahudi Bani Nadhir mendatangi beberapa kabilah di sekitar Madinah. Bani Ghathafan diajak serta dalam barisan Ahzab. Mereka jelaskan kepada penduduk Ghathafan bahwa rencana besar ini didukung sepenuhnya oleh orang-orang Quraisy. Orang-orang Ghathafan pun sepakat dan bergabung dengan janji imbalan setengah keuntungan hasil panen di Khaibar jika kelak menang.[1]
Belum merasa cukup, kaum musyrikin terus mengadakan konsolidasi dengan kabilah lain yang jauh dari Makkah melalui korespondensi tertulis. Disebutkan, mereka mengirim surat kepada Bani Asad. Upaya ini tak sia-sia. Thalhah bin Khuwailid, pemimpin suku ini, menyambut baik ajakan mereka dengan semangat. Bani Asad termasuk suku yang paling membenci umat Islam di Madinah. Sebelumnya, Nabi saw pernah mengirimkan ekspedisi yang dipimpin Abu Salamah untuk membungkam perlawanan suku ini. Tidak salah kalau Huyay mengajaknya berkoalisi untuk menghabisi umat Islam di Madinah.
Setelah itu, berangkatlah orang-orang Quraisy dipimpin Abu Sufyan bin Harb, orang-orang Ghathafan dipimpin Uyainah bin Hishn dalam barisan Bani Fazarah, al-Harits bin Auf bin Abi Haritsah al-Murry dalam barisan Bani Murrah, Mis’ar bin Rukhailah dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Asyja.
Pasukan itu pun bergerak menuju Madinah. Dalam perjalanan, mereka sempat istirahat di Marru Zhahran sektiar empat kilometer dari Makkah. Di tempat inilah pasukan Quraisy bertemu dengan beberapa kabilah yang juga telah mengadakan kesepakatan dan menanti mereka untuk bergabung. Tercatat, mereka yang bergabung di tengah jalan ini antara lain Bani Sulaim, Bani Murrah, dan Bani Asyja’.[2]
Masing-masing mempersiapkan kekuatan lalu bergerak ke Madinah. Beberapa sumber menyebutkan, tentara Quraisy memberangkatkan hampir 60% dari seluruh kekuatan Pasukan Ahzab. Di antaranya, 4000 tentara invanteri, 1500 pengendara unta, dan 300 pasukan berkuda. Bendera dipegang oleh Utsman bin Thalhah dan pasukan dikomandoi langsung oleh Abu Sufyan bin Harb. Di dalam pasukan ini terdapat para pendekar tangguh yang tak terkalahkan. Di antaranya: Khalid bin Walid, Ikrimah bin Abu Jahal, Amr bin Ash dan Amr bin Abdu Wudd. Belakangan, mereka masuk Islam kecuali Amr bin Abdu Wudd yang terbunuh dalam duel satu lawan satu melawan Ali bin Abi Thalib para Perang Khandaq.
Tentara Bani Fazarah mengerahkan sekitar 10% atau 1000 orang dipimpin oleh Uyainah bin Hishn dan dilengkapi dengan 100 unta. Sebelumnya, Nabi saw sempat membuat perjanjian damai dengan Uyainah bin Hishn usai Perang di Dumatil Jandal. Tentara Bani Murrah sebanyak 400 orang dipimpin oleh Harits bin Auf. Tentara Bani Asyja’ sebanyak 400 orang dipimpin oleh Mis’ar bin Rukhailah. Tentara Bani Sulaim sebanyak 700 orang dipimpin oleh Sufyan bin Abdu Syams. Tentara Bani Asad dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid. Angka ini ditambah dengan tentara dari beberapa kabilah lainnya sehingga mencapai 10 ribu atau 11 ribu orang. Semuanya dilengkapi dengan senjata perang. Pasukan gabungan ini dikomandoi langsung oleh Abu Sufyan bin Harb, bangsawan Quraisy.[3]
Dengan berkumpulnya pasukan sekutu ini, mereka siap menyulut api peperangan dan menyerbu Madinah. Dugaan mereka, kali ini kaum Muslimin tak mungkin mampu bertahan. Orang Yahudi hampir bisa memastikan, mereka bisa mengusir kaum Muslimin dari Madinah. Pasukan Quraisy memastikan, dendam mereka akan terbalas.
Nah, realita sejarah itu dan kondisi harakah islamiyah sekarang, memaksa kita untuk berperang melawan Yahudi cepat atau lambat. Yahudi Bani Nadhir yang sebelumnya telah menyerahkan batang lehernya, ternyata masih memendam dendam dalam hati. Mereka mengkomandani orang-orang Arab untuk memerangi Islam dan kaum Muslimin. Mereka berjanji tidak hanya untuk mengalahkan Muhammad saw tapi menghabisi sampai ke akar-akarnya. Bahkan, Yahudi Bani Quraizhah yang semula masih setia menjalin ikatan dengan Nabi saw, dalam sekejap membelot akibat lobi Yahudi Bani Nadhir.
Kini kisah itu diputar lagi. Zionis Yahudi kembali ‘mencetak ulang’ produknya. Dalam perang Ahzab mereka bersekongkol dengan kafir Quraisy, Bani Ghathafan dan Bani Sulaim. Kini mereka menjalin persekongkolan secara rahasia dengan para pemimpin Arab untuk menggebuk harakah islamiyah di negeri mereka sendiri di bumi jihad Palestina.
Saat ini, ketika penjajah Zionis Israel membantai para mujahid di Palestina, mereka justru merasa aman dari sebagian negara Arab tetangganya. Muslim Palestina direnggut tanahnya, dibantai warganya, diperkosa kehormatan wanitanya dan dicabik-cabik masa depannya. Kota-kota dihancurkan, masjid-masjid dikubur bersama jamaahnya dengan tanah dan puing-puingnya hingga suara Islam tidak lagi berkumandang. Alangkah miripnya kejadian ‘kemarin malam’ (perang Ahzab) dengan malam ini!
Dalam dunia politik menghadapi Yahudi, prinsip-prinsip tak ada nilainya bagi kaum Muslimin. Yahudi sendiri merupakan bangsa yang paling banyak menentang prinsip-prinsip mereka sendiri saat punya kepentingan. Yang serupa dengan mereka adalah orang-orang Kristen dan kafir, bahkan lebih keras permusuhannya kepada Islam. Karena itu, mereka lebih memprioritaskan orang-orang musyrik paganis daripada kaum Muslimin yang beriman kepada Allah.
Orang-orang Yahudi itu mengetahui Muhammad utusan Allah. Meski demikian, mereka menyatakan keabsahan agama berhala orang-orang Quraisy dan menyatakan lebih utama dibanding agama Muhammad saw. Untuk mewujudkan ambisi, mereka tak segan memutar balikkan fakta. Sungguh nyata dan dunia pun tahu kalau Israillah yang merampas bumi Palestina. Tapi kini fakta mereka putarbalikkan. Mereka hilangkan Negara Palestina dari peta dunia dan mereka buat dengan jelas peta Negara Zionis Israel.
Seharusnya, kita tak perlu berbangga dengan sisi-sisi persamaan antara kita dan orang-orang Yahudi itu. Sebab, demi kepentingan semuanya bisa berubah. Prinsip-prinsip itu pun gugur dan mereka lemparkan jauh-jauh demi kepentingan sendiri.
Penyesatan pemikiran yang dipraktikkan Yahudi saat melawan Islam dan kaum Muslimin hampir memenuhi seluruh cakrawala. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran itu ke seluruh dunia atas nama apapun demi menumpas kaum Muslimin sampai ke akar-akarnya. Adanya organisasi, konsep kebebasan (Liberalisme), eksistensialisme, Marxisme, dan Sekularisme dan Pluralisme merupakan gambaran dari bentuk penyesatan itu. Mereka beriman kepada Jibt (sihir atau berhala) dan Taghut (setiap yang disembah dan ditaati selain Allah), lalu mengatakan kepada orang-orang kafir bahwa merekalah yang lebih mendapatkan petunjuk daripada orang-orang beriman.
Kendati pada mulanya peran yang mereka mainkan sedemikian hebat, tapi mereka tidak berhenti. Bahkan, bersama saudara-saudaranya dari kalangan Bani Quraizhah, mereka mulai mengobarkan api dendam dengan cara melanggar perjanjian di tengah kecamuk perang.
Huyay bin Akhthab berkata kepada Abu Sufyan bin Harb dan orang-orang Quraisy saat berjalan bersamanya, “Sesungguhnya, kaumku (Quraizhah) bersama kalian. Mereka ahli tempur yang terdiri atas 750 orang prajurit.” Hal ini dilakukan untuk memperkuat lobi mereka agar orang-orang Quraisy makin yakin.
Ketika sudah mendekati medan perang, Abu sufyan berkata pada mereka, “Datangkanlah kaummu itu agar mereka membatalkan janji bersama Muhammad.”
Huyay pun mendatangkan Bani Quraizhah. Padahal dulu, ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, beliau berdamai dengan Bani Quraizhah dan Bani Nadhir serta Yahudi lain. Ada yang mengatakan, beliau berdamai dengan mereka agar mereka mau membantu beliau dalam menghadapi orang yang hendak berniat jahat terhadap beliau. Juga agar semuanya berlindung pada benteng pertama mereka yang berada di antara Aus dan Khazraj.
Selanjutnya datanglah Ka’ab bin Asad, penanggung jawab perjanjian dan kesepakatan dari Bani Quraizhah. Orang-orang Bani Quraizhah tidak suka masuknya Huyay bin Akhthab ke perkampungan mereka lantaran ia sangat berambisi menjadi pemimpin. Orang itu mirip Abu Jahal di kalangan Quraisy. Karena itu, orang pertama yang ditemuinya adalah Azzal bin Samuel.
Huyay berkata kepadanya, “Aku datang membawa sesuatu yang dapat menentramkan Anda dari gangguan Muhammad. Itulah orang-orang Quraisy yang telah memasuki Lembah al-Aqiq, dan Ghathafan berada di az-Zaghabah.“
Azzal berkata kepadanya, “Demi Tuhan, Anda datang ke tempat kami membawa kehidupan sepanjang masa.”
Ia berkata, “Jangan berbicara seperti itu!”
Ketika Ka’ab mendengar suara Huyay bin Akhthab, ia menutup pintu bentengnya. Ia meminta izin kepadanya namun ditolaknya, “Persetan dengan kamu, hai Ka’ab! Bukakan pintu untukku!”
Ia menjawab, “Persetan kamu, hai Huyay. Kamu itu orang putus asa. Aku telah terikat perjanjian dengan Muhammad dan aku tidak akan membatalkan janji antara aku dan dia. Aku tidak melihatnya selain sebagai orang yang suka menepati janji dan jujur.”
Ia berkata lagi, “Persetan kamu! Bukakan pintu hingga aku dapat berbicara denganmu!”
Ka’ab menjawab, “Aku tidak akan melakukannya denganmu!”
Huyay berkata, “Demi Tuhan, kamu menutup pintu ini hanya khawatir kalau-kalau makananmu akan makan bersamamu.”
Ka’ab pun tersinggung lalu bersedia membukakan pintu.
Huyay berkata, “Sialan kamu, hai Ka’ab. Aku datang kepadamu membawa kebanggaan massa dan lautan keagungan. Aku datang bersama Ghathafan berikut para panglima dan pembesar-besarnya, dan aku tempatkan mereka kini di perkampungan Asyal. Aku juga datang bersama Quraisy berikut para panglima dan pembesar-pembesarnya, dan kini aku tempatkan di pinggiran Naqma dekat gunung Uhud. Semuanya telah berjanji dan bersepakat denganku untuk tidak berhenti hingga semua menghabisi Muhammad dan pengikutnya.”
Ka’ab berkata kepadanya, “Demi Tuhan, justru kamu datang kepadaku dengan membawa kehinaan dan dengan mendung tipis yang tiada membawa air, yang hanya menghadirkan guntur dan kilat, tapi tidak membawa apa-apa. Persetan kamu, hai Huyay.”
Huyay terus menerus merayu dan membujuk Ka’ab hingga ia mengizinkan dengan syarat ia memberikan janji dan sumpah atas nama Allah, yakni “Jika orang-orang Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak berhasil mengalahkan Muhammad, biarkan aku masuk ke bentengmu hingga aku mengalami derita sebagaimana yang kamu alami.”
Akhirnya, Ka’ab bin Asad pun membatalkan perjanjiannya dan melepaskan diri dari ikatan antara dirinya dan Rasulullah saw.
Selanjutnya ia mengundang para pemimpin yang di antaranya terdapat Zubair bin Batha, Nibasy bin Qais, Azzal bin Samuel, Uqbah bin Zaid dan Ka’ab bin Zaid. Ia memberitahukan kepada mereka perihal pembatalan perjanjian itu.
Seringkali kita mendengar para pelaku propaganda nasionalisme membedakan antara Zionisme dan Yahudi. Mereka memerangi Zionisme dan bukan memerangi Yahudi. Mereka bahkan menganggap bahwa Yahudi merupakan penolong. Mereka membatasi perang hanya melawan Zionisme di Palestina bumi yang mereka rampas. Jika sengketa tanah itu selesai dengan cara memerdekakannya atau mendapatkan pengakuan, tak ada lagi perbedaan antara nasionalisme dan judaisme.
Para penyeru nasionalisme itu adalah orang-orang sekular yang bukan anti agama atau komunitas agama, tapi anti terhadap para penyebar isu perampasan tanah Arab dan menyerahkannya kepada Yahudi. Bahkan kadangkala mereka bersekongkol dalam hal ini.
Namun sekuat apa pun Yahudi, tetap tak berdaya di hadapan kekuatan iman kaum Muslimin. Setelah mereka ditaklukkan pada Perang Khaibar, riwayat Yahudi tamat. Eksistensi militer mereka pun punah selama empat belas abad lamanya. Mereka tidak pernah tampil ke permukaan kecuali setelah khilafah Islam hilang dari permukaan bumi. Kini kondisi kembali seperti menjelang Perang Ahzab. Yahudi kembali membalas dendam atas kekalahan.
Ucapan semua orang Yahudi seragam. Yahudi Nadhir, Quraizhah dan Qainuqa’ sama berkeinginan untuk membumihanguskan eksistensi Islam. Mereka mengerahkan tentara, membentuk koalisi dan merapatkan barisan untuk memerangi kaum muslimin.
Karakteristik asli Yahudi tampak di saat musuh-musuh mereka berada dalam kondisi lemah. Di kala lemah dan hina, mereka menempati janji. Di kala mendapat kesempatan, mereka membatalkannya. Itulah watak asli Yahudi. Mereka pernah mengatakan, “Siapa Muhammad itu? Kami tidak terikat perjanjian dengan Muhammad.”
Itulah jawaban mereka ketika Sa’ad mengingatkan akan janji mereka dengan Rasulullah saw.
Kaum Muslimin tidak pernah mengalami kondisi pelik sebagai mana yang mereka alami dalam Perang Ahzab. Apa yang terjadi sekarang sama dengan apa yang terjadi pada hari itu. Mereka melanggar perjanjian pada saat genting. Meskipun ada potensi kebaikan dalam diri pemimpin mereka, Ka’ab tetaplah seorang Yahudi curang. Tak ada yang bisa memuaskannya selain menghabisi eksistensi Islam. Itu merupakan tujuan akhir bagi kaum Yahudi dan Nasrani meskipun mereka menampakkan keinginan damai dan kasih sayang secara zahir.
Allah berfirman, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah sesungguhnya, petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar) dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi dan penolong bagimu,”(QS al-Baqarah: 120).
Dengan fakta dan firman Allah itu, masihkah ada keraguan di hati kita? Atau, kita lebih percaya pada propagandis Yahudi itu daripada fakta dan penegasan dari Allah?
Baca risalah selanjutnya:
- Menelaah Faktor Kemenangan Kaum Muslimin dalam Perang Ahzab/Khandaq
- Senarai Pelajaran Usai Pengepungan Ahzab
Catatan Kaki:
[1] Fathul Bari VII/393
[2] Disarikan dari dari riwayat Ibnu Aqabah dalam Dalail kaarya Baihaqi dan Fathul Bari karya Ibnu Hajar
[3] Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid II/253