Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menyadari bahwa musyrikin Quraisy –dan semua kelompok yang sejenis dengannya- tidak akan pernah membiarkan umat Islam begitu saja memperoleh kebebasan beragama mereka di kota Yatsrib. Maka, umat Islam pun mempersiapkan segalanya. Di kota Madinah mereka berlatih agar mereka tidak lagi dilecehkan, dan dapat menggetarkan musyrikin sehingga mereka tidak menyerang umat Islam di kota Madinah. Lebih dari itu, hal ini agar masyarakat Quraisy faham bahwa orang-orang Muhajirin yang selama ini lari dari tekanan penindasan bukanlah pada posisi yang lemah dan hina; kini mereka telah berubah menjadi satu komunitas yang kuat yang mampu mengegetarkan dan patut diperhitungkan.
Latihan dan Persiapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera melatih para sahabatnya dan mengutus mereka untuk melakukan pengintaian di sekitar kota Madinah secara berkala. Tujuannya adalah sebagai latihan, eksplorasi, dan persiapan peperangan. Beberapa tugas yang pernah beliau delegasikan kepada para sahabat antara lain:
- Pasukan yang dipimpin oleh Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Mereka sebanyak 30 orang penunggang dari kalangan Muhajirin. Mereka diutus hingga daerah Al ‘Iish di tepi laut.
- Pasukan yang dipimpin oleh ‘Ubaidah bin Harits. Mereka sebanyak 60 orang penunggang dari kalangan Muhajirin sampai ke daerah Raabigh.
- Pasukan yang dipimpin oleh Sa’d bin Abi Waqqash dengan kekuatan pengintai berjumlah 80 orang Muhajirin dan bertugas sepanjang jalan yang menghubungkan Makkah dan Madinah.
- Perang Wuddan. Pasukan dibawah pimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah 200 orang penunggang dan pejalan kaki berjalan hingga daerah Wuddan. Pada peperangan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjanjian dengan Bani Dhamrah. Salah satu tujuan peperangan ini adalah untuk membangun sebuah aliansi dengan kabilah-kabilah yang selama ini menguasai jalur yang menghubungkan antara kota Makkah dan Madinah.
- Perang ‘Usyairah. peperangan dengan jumlah pasukan sebanyak 200 orang penunggang dan pejalan kaki di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tujuan dari peperangan ini adalah untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin di hadapan orang-orang musyrikin serta membangun kesefahaman dengan kabilah-kabilah yang terdapat di daerah jalur perdagangan orang Quraisy di antara kota Makkah dan Madinah.
- Perang Buwaath. Peperangan dengan jumlah pasukan sebanyak 200 orang penunggang dan pejalan kaki di bawah kemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tujuannya adalah untuk bisa sampai ke daerah Buwaath dari sisi gunung Radhwa ke jalur perdagangan Quraisy di antara kota Makkah dan Madinah, selain untuk menekan kegiatan perdagangan mereka.
Latar Belakang Perang Badar Kubra
Pertama, pengusiran kaum muslimin dari kota Makkah serta perampasan harta benda mereka. Contoh: Quraisy merampas dan menguasai harta benda Shuhaib sebagai imbalan diizinkannya ia untuk berhijrah ke Madinah. Quraisy juga menduduki rumah-rumah dan peninggalan kaum muslimin yang ditinggal oleh pemiliknya.
Kedua, penindasan terhadap umat Islam.
Penindasan yang dilakukan orang Quraisy terhadap umat Islam ternyata tidak hanya ketika mereka berada di kota Makkah. Di bahwa pimpinan Kurz bin Habbab al Fihri, mereka memprovokasi kaum Musyrikin lainnya untuk menyerang, menteror, dan menguasai harta benda milik kaum muslimin yang ada di kota Madinah, sebagaimana terjadi pada perang Badar Shughra. Tak lama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di kota Madinah, orang-orang Musyrikin di bawah pimpinan Karz bin Jabir al Fihry melakukan penyerangan terhadap ladang pengembalaan hewan milik orang Madinah dan merampas beberapa ekor unta dan kambing milik kaum muslimin. Rasulullah SAW pun segera bergerak untuk mengusir agresor tersebut dan merebut kembali unta maupun kambing milik kaum muslimin yang sempat mereka rampas. Pasukan perang kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW ketika itu bergerak sampai ke daerah Wadi Sufyan, dekat dengan Badar. Namun demikian mereka tidak dapat mengejar agresor musyrikin sehingga mereka pun harus kembali tanpa ada peperangan.
Ketiga, memberi pelajaran kepada Quraisy dan mengembalikan harta benda milik umat Islam
Oleh karena itu, begitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar bahwa kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb dan ‘Amr bin al ‘Ash bersama 40 orang bergerak dari Syam membawa harta orang-orang Quraisy yang keseluruhannya mencapai seribu ekor unta, maka beliau pun segera mengajak kaum muslimin untuk bergerak mendatanginya.
Kilas Sejarah Perang Badar Kubra
Ibnu Ishaq berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi pada beberapa malam di bulan Ramadhan bersama sahabat-sahabatnya.” Ibnu Hisyam berkata,”Beliau pergi pada hari Senin setelah delapan hari dari bulan Ramadhan. Beliau mengangkat ‘Amr bin Ummi Maktum (dalam riwayat namanya adalah ‘Abdullah bin Ummi Maktum) untuk menjadi Imam di Madinah, dan mengangkat Abu Lubabah sebagai pemimpin sementara kota Madinah.
Jumlah pasukan kaum muslimin pada saat itu hanyalah 313 orang. Dua ratus empat puluh sekian orang dari kalangan Anshar, sementara sisanya dari kalangan Muhajirin. Mereka membawa dua ekor kuda dan tujuh puluh ekor unta. Sementara panji kaum muslimin di bawa oleh Mus’ab bin ‘Umair. Peristiwa Badar sendiri meletus pada hari jum’at pagi tanggal 17 Ramadhan.[1]
Abu Sufyan mendengar kabar dari beberapa orang yang ditemuinya bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memobilisasi sahabat-sahabatnya untuk mencegat rombongan yang sedang membawa harta perdagangan. Mendengar hal ini, ia pun segera berhati-hati dan mengambil jalur perjalanan yang lain. Ia kemudian menyewa Dhamdham bin ‘Amr al Ghifari agar segera menemui orang-orang Quraisy dan memberitahu mereka situasi yang tengah terjadi. Setelah mendapat kabar, semua orang-orang Quraisy pergi kecuali Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib. Ia mengirim Al ‘Ash bin Hisyam bin al Mughirah sebagai pengganti.
Sementara itu, Abu Sufyan ternyata berhasil menghindar dari incaran kaum muslimin. Kafilah dagangnya pun berhasil diselamatkan. Maka ia meminta pasukan Quraisy untuk kembali ke Makkah. Tapi Abu Jahal berkata, ”Demi Tuhan! Kita tidak akan kembali kecuali setelah sampai di Badar dan tinggal di sana selama 3 hari. Kita akan memotong hewan sembelihan, makan-makan, menuangkan khamr, dan mendengarkan lagu dari para biduan. Dan orang-orang arab pun akan mendengar ekspedisi dan perkumpulan kita ini. sehingga mereka akan senantiasa segan kepada kita untuk selama-lamanya.”.[2]
Kekuatan Dua Pasukan
Pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah 313 orang. Bersama mereka terdapat 2 ekor kuda, satu milik Zubair bin ‘Awwam dan seekor lainnya milik Miqdad bin ‘Amr[3] serta tujuh puluh unta yang mereka tunggangi secara bergantian.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Ketika perang Badar, setiap tiga orang dari kami menungganngi seekor unta. Abu Lubabah, ‘Ali, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergantian menaiki unta. Ketika giliran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjalan kaki, keduanya berkata, ’Kami akan menggantikanmu untuk berjalan kaki.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Kalian berdua tidaklah sekuat diriku, dan aku tidak lebih membutuhkan pahala dari kalian berdua.” [4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan panji berwarna putih kepada Mush’ab bin ‘Umair. Sementara di hadapan beliau sendiri terdapat dua buah bendera. Di sebelah kanan beliau terdapat Zubair bin al ‘Awwam, dan di sebelah kiri terdapat Miqdad bin al Aswad, serta di belakangnya terdapat Qais bin Abi Sha’sha’ah.
Sementara itu kekuatan musyrikin berhasil memobilisasi 950 orang yang kebanyakan mereka berasal dari Quraisy. Bersama mereka terdapat 200 ekor kuda dan unta dalam jumlah yang sangat banyak sekali untuk mereka tunggangi sekaligus membawa perbekalan dan makanan mereka selama di perjalanan.
Orang-orang musyrikin tidak memiliki seorang pemimpin umum. Hanya saja di antara mereka terdapat dua orang terpandang yaitu ‘Utbah bin Rabi’ah dan Abu Jahal beserta sekian orang pemuka Quraisy lainnya.
Pihak Muslimin Melakukan Aktivitas Intelijen
Rasulullah SAW mengutus Basbas bin ‘Amr dan ‘Ady bin Abi Zaghba. Mereka pun pergi hingga sampai ke wilayah Badar. Mereka singgah di sebuah bukit dekat dengan sumber air. Disana mereka mendengar dua orang anak perempuan dari penduduk sekitar saling berselisih seputar air. Salah seorang dari mereka berkata, ”Besok akan datang rombongan dan aku akan bekerja untuk mereka kemudian aku akan mengganti hari yang seharusnya jadi milikmu.” Mereka berdua kemudian memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk memberikan analisa atas informasi tersebut.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib, Zubair bin al ‘Awwam, dan Sa’d bin Abi Waqqash dalam satu regu untuk pergi ke sumber air di Badar sambil mencari informasi. Mereka pun berhasil menawan beberapa orang Quraisy yang bertugas untuk mengambil air. Mereka membawanya kepada Nabi untuk diintrogasi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyai keduanya. Diantaranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ”Berapa jumlah mereka?” keduanya menjawab, ”Banyak, kami tidak tahu berapa jumlahnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, ”Berapa banyak unta yang mereka sembelih untuk dimakan?” keduanya menjawab, ”Sembilan, dan hari lainnya sepuluh.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Mereka sekitar sembilan ratus sampai seribu orang.”
Rasulullah Terjun Langsung Melakukan Aktivitas Intelejen
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama Abu Bakar untuk melakukan pengintaian dan pengumpulan informasi. Beliau berjumpa dengan seorang badui yang sudah tua dan bertanya kepadanya tentang Quraisy, Muhammad serta para sahabatnya, dan semua berita yang berhubungan dengan mereka.
Orang tua itu pun menjawab, ”Aku tidak akan memberitahu kalian sebelum kalian mengatakan siapa diri kalian berdua?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Jika engkau memberitahu kepada kami terlebih dahulu, maka kami pun akan mengatakannya kepadamu.”
Orang tua itu berkata, ”Aku dengar bahwa Muhammad dan sahabatnya keluar pada hari anu. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka telah sampai di tempat anu (yaitu di tempat di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu berada). Dan aku mendengar bahwa Quraisy keluar pada hari anu. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka telah sampai di tempat anu (yaitu tempat dimana pasukan Quraisy berada.)”
Setelah selesai berbicara orang tua itu pun bertanya, ”Dari mana kalian berdua?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Kami dari Maa` (air)” kemudian ia pergi meninggalkannya. Orang tua itu kembali bertanya, ”Apa itu Maa`? Apakah Maa` yang ada di Iraq?”
Syuro
Setelah mengetahui berbagai informasi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melakukan syuro tentang pensikapan terhadap kondisi waktu itu. Hal ini perlu dilakukan karena beberapa hal:
- Tujuan pertama kaum muslimin adalah untuk mencegat rombongan kafilah dagang, dan bukan untuk berperang.
- Minimnya persiapan dan jumlah kaum muslimin ketika itu.
- Perjanjian yang mengikat antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Anshor pada saat itu adalah memberikan pertolongan di kota Madinah, bukan di luar wilayah tersebut.
Kaum muhajirin, yaitu Abu Bakar dan Umar menyampaikan pendapatnya. Begitu pun Miqdad bin ‘Amr, ia bangkit seraya berkata, ”Wahai, Rasulullah! sesungguhnya kami benar-benar telah beriman kepadamu. Maka laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Tuhanmu dan kami akan bersamamu. Demi Allah! Kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang telah dikatakan oleh para pengikut Musa kepadanya, ’Pergilah engkau bersama Tuhanmu! Dan berperanglah kalian berdua. Kami akan duduk menunggu di sini.’ Namun kami akan mengatakan, ’Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua. Sesungguhnya kami akan berperang bersama kalian.’ Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran! Seandainya engkau pergi bersama kami ke wilayah Barkil Ghimaad (di ujung Yaman), niscaya kami akan berperang bersamamu menghadapi orang yang menghalangimu hingga engkau sampai ke sana.”
Setelah kaum Muhajirin menyampaikan pendapatnya, Rasulullah kembali meminta pendapat, ”Wahai sekalian orang, berikanlah masukan kepadaku!” Seakan-akan beliau memintanya dari kalangan Anshar. Ia ingin mendengar pendapat mereka tentang apa yang sedang dihadapainya saat itu.
Sa’d bin Mu’adz berdiri dan berkata, ”Demi Allah, wahai Rasulullah! sepertinya engkau menginginkan kami,?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tepat.” Sa’d berkata, ”Kami benar-benar telah beriman kepadamu kami membenarkanmu dan bersaksi bahwa engkau membawa kebenaran. Kami berikan untuk semua itu janji dan kesetiaan kami untuk mendengar dan taat. Maka laksanakanlah apa yang engkau mau. Dan kami akan bersamamu. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran! Seandainya saja di hadapan kami terdapat lautan, niscaya kami akan menyelaminya bersamamu. Tak seorang pun dari kami yang akan tinggal. Kami tidak enggan untuk bertemu musuh esok hari. Kami adalah kaum yang sabar dalam berperang dan menetapi ketika bertemu musuh. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu dari kami apa yang dapat menenangkan pandanganmu. Maka pergilah dengan penuh keberkahan dari Allah!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa gembira. Lalu beliau berkata, ”Pergilah kalian dengan penuh keberkahan dari Allah dan berbahagialah karena sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu dari kedua rombongan tersebut. Demi Allah! Seakan-akan sekarang aku sedang melihat kematian mereka.”[5]
Syuro Tentang Posisi Strategis sebelum Peperangan
Sebelum perang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan pasukan Muslimin pada suatu posisi. Hubbab bin Mundzir bin Jamuh kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah tempat ini adalah wahyu yang Allah turunkan sehingga kami tidak punya hak untuk bergeser maju ataupun mundur. Ataukah ia hanyalah pendapat pribadi, dan peperangan adalah tipu daya dan strategi?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, ia hanyalah pendapat pribadi, dan peperangan adalah tipu daya dan strategi.” Hubbab kembali berkata, ”Wahai Rasulullah, ini bukanlah lokasi yang tepat. Pergilah bersama beberapa orang hingga kita sampai lebih dekat dengan sumber air, lalu kita singgah di sana. Kemudian kita gali beberapa sumur dan sebuah kolam, lalu kita isi air. kemudian kita perangi mereka. Sehingga kita dapat minum dan mereka tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Engkau benar-benar telah memberikan pendapatmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bangkit beserta beberapa orang sahabatnya. Ia pun pergi hingga mendekati sumber air suatu penduduk dan singgah di sana. Lalu beliau memerintahkan sahabatnya untuk membuat sumur dan sebuah kolam besar pada sumur tempat ia singgah serta mengisinya dengan air. Kemudian mereka lemparkan ke dalamnya tempat air. Mereka pun akhirnya mendapatkan sumber air, sementara kaum musyrikin tidak mendapatkannya.
Persiapan
Kaum muslimin mendirikan sebuah podium sebagai tempat untuk pemimpin yang dijaga dengan ketat. Barisan pasukan mulai di atur. Kalimat “Ahad, Ahad” dipilih sebagai bahasa sandi di antara sesama muslim. Hal ini untuk menghindari kesemerawutan, dimana pasukan muslim menghantam saudaranya sendiri ketika perang sedang berkecamuk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi komando, ”Jika mereka menyerang kalian, maka lemparlah mereka dengan anak panah, jangan kalian bergerak menyerang mereka sampai aku mengizinkannya.”
Duel
Ketika kedua pasukan telah saling berhadapan. Munculah Al Aswad bin ‘Abdul Asad al Makhzumi. Ia berkata menantang, ”Aku berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan meminum dari kolam mereka, atau aku akan menghancurkannya, atau aku akan mati karenanya.” Ia pun menyerang kolam tersebut.
Hamzah bin ‘Abdul Muththalib segera bergerak. Ia ayunkan pedangnya hingga menebas setengah dari kaki bagian bawah Al-Aswad sebelum ia sempat sampai ke kolam tersebut. Namun demi keangkuhan sumpahnya ia merayap. Hamzah pun langsung menenggelamkannya di dalam kolam.
‘Utbah bin Rabi’ah terpancing emosinya. Ia ingin menunjukkan keberaniannya. Tampil pula bersamanya saudaranya, Syaibah dan anaknya Walid. Ia pun menantang untuk berduel. Tiga orang pemuda dari kalangan anshor gugur di hadapan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kembali menjawab tantangan mereka. Maka majulah ‘Ubaidah bin al Harits, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib, kesemuanya adalah dari keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Ubaidah (prajurit yang paling muda) berhadapan dengan ‘Utbah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah, sementara ‘Ali berhadapan dengan Walid bin ‘Utbah.
Hamzah berhasil membunuh Syaibah. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh ‘Ali terhadap Walid. Berbeda dengan ‘Ubaidah, baik ia maupun ‘Utbah sama-sama terluka. ‘Ali dan Hamzah pun segera mengayunkan pedang mereka hingga ‘Utbah tersungkur mati. Lalu keduanya membawa ‘Ubaidah ke perkemahan pasukan untuk diobati.
Istighastah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Ia pun berdoa memohon kepada tuhannya, ”Ya, Allah , orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongannya. Mereka ingin mendustakan rasul-Mu. Ya, Allah , aku bermunajat memohon janji-Mu. Ya,Allah , tunaikanlah apa yang telah menjadi ketetapanMu. Ya, Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya, Allah , jika kelompok yang kecil dari umat ini binasa sekarang, maka Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.”[6]
Demikianlah beliau terus bermunajat memohon kepada Allah Ta’ala sambil mengangkat kedua tangannya sampai sorbannya jatuh dari atas pundaknya. Abu Bakar pun mendatanginya dan meletakkan sorban itu pada kedua pundaknya. Lalu ia berkata dari belakangnya, ”Wahai Rasulullah, cukuplah apa yang telah kau minta kepada Tuhanmu, karena sesungguhnya Ia akan memberikan apa yang telah dijanjikannya kepada-Mu.”
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhenti berdoa kecuali setelah Allah SWT menurunkan firman-Nya,
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّى مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ الْمَلٰٓئِكَةِ مُرْدِفِينَ وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِۦ قُلُوبُكُمْ ۚ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”Ingatlah ketika kalian ber-istighatsah (meminta pertolongan) kepada Tuhan kalian. Maka Ia pun mengabulkannya bagi kalian. Sesungguhnya Aku benar-benar membantu kalian dengan seribu malaikat yang berada di belakang. Dan Allah tidaklah menjadikan hal tersebut kecuali sebagai sebuah kabar gembira dan agar hati-hati kalian bisa tenang dengannya. Dan tidaklah kemenangan itu kecuali hanya datang dari Allah . sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[7]
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Bergembiralah wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah SWT telah datang. Ini Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Pada giginya terdapat debu.”[8]
Tahridh (Mengobarkan Semangat)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun turun ke tengah-tengah barisan pasukan dan memberikan khutbah (orasi) militer sebelum peperangan dimulai untuk menumbuhkan optimisme dan menguatkan hati mereka.
“Demi zat yang jiwaku berada di antara kedua tangan-Nya. Tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian ia terbunuh dengan penuh kesabaran dan mengharap keridhaan dari Allah , maju dan tidak lari dari peperangan niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam syurga. Bangkitlah kalian menuju syurga yang lebarnya selebar lapisan langit dan bumi!”
‘Umair bin Himam al Anshari berkata, ”Wahai Rasulullah , syurga yang lebarnya selebar lapisan langit dan bumi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ya.” ‘Umair menimpali, ”Bakh …bakh … (aku ridho … aku ridho)” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Mengapa engkau mengatakan bakh …?” ‘Umair menjawab, ”Tidak, demi Allah , wahai Rasulullah, aku hanya berharap agar aku akan menjadi penghuninya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Engkau akan menjadi penghuninya.”[9] Kemudian ‘Umair mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempat anak panahnya yang terbuat dari kulit. Ia pun mulai memakannya satu persatu, lalu berkata, ”Seandainya aku masih hidup hingga aku memakan seluruh kurma ini, tentu itu adalah kehidupan yang sangat panjang sekali.” Kemudian ia pun melemparkan kurma-kurma yang ada di tangannya dan berkata,
“Berpacu menuju Allah tanpa perbekalan. Kecuali takwa dan amal untuk hari akhir. Serta bersabar di dalam jihad karena Allah. Semua perbekalan pasti akan habis, kecuali takwa, kebaikan dan keteguhan.”
Peperangan Dimulai
Musyrikin menggunakan cara konvensional di dalam berperang, yaitu strategi “hit und run” menyerang dan kemudian mundur ke belakang, Mereka berperang tanpa ada pengaturan strategi yang baik. Semuanya berdasarkan atas fanatisme, kebencian, dan serba semerawut.
Sementara itu, kaum muslimin tetap diam sambil menembaki mereka dengan anak panah. Mereka tidak melakukan penyerangan, menunggu perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga banyak pasukan musyrikin yang tewas berjatuhan terkena anak panah kaum muslimin. Hal ini pulalah yang membuat semangat mereka semakin lemah dipenuhi rasa takut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun di tengah-tengah pasukannya untuk melihat persiapan terakhir mereka sebelum melakukan penyerangan, sekaligus untuk memimpin sendiri peperangan tersebut. Kemudian beliau memerintahkan pasukannya untuk bergerak maju menghadapi pasukan Quraisy. Mulailah hunusan pedang umat islam menebas satu persatu kepala orang-orang kafir yang selama ini melakukan pembangkangan penuh kesombongan.
‘Ali bin Abi Thalib berkata, ”Ketika keadaan semakin genting dan pandangan mata memerah, maka kami pun berlindung di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak seorang pun yang berani lebih dekat dengan musuh selain dirinya. Aku melihat sendiri ketika perang Badar kami berlindung di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh di antara kami.
Abu Jahal Terbunuh
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ”Ketika perang Badar aku benar-benar berada di tengah barisan. Tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiriku muncul dua orang pemuda yang masih sangat belia sekali. Seakan-akan aku tidak yakin akan keberadaan mereka. Aku berharap seandainya saat itu aku berada di antara tulang-tulang rusuk mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku sambil berbisik, ‘Paman, tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal.’ Kukatakan kepadanya, ‘Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya?’ Pemuda itu kembali berkata, ‘Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah. Aku pun berjanji kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati di tangannya.’ Aku pun tercengang kaget dibuatnya. Lalu yang lainnya langsung memelukku dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Seketika itu aku melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang. Aku berkata, ”Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi.’ Mereka pun saling berlomba menghayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal.”
Selain terbunuhnya Abu Jahal, peperangan Badr pun menyisakan kepahitan bagi para pemuka dan pembesar Quraisy: ‘Utbah, Syaibah, dan Walid sebagaimana telah disebutkan. Demikian pula Jam’ah bin al Aswad, Nabih dan Munabbih, dan Umayyah bin Khalaf serta Abu Al Buhturi.
Antara Aqidah dan Ikatan Emosional
Selama perang Badar tidak sedikit kaum muslimin (demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang harus mendapati keluarga mereka berada di tengah barisan kaum musyrikin. Antara akidah dan perasaan pun saling berhadap-hadapan. Namun perasaan dan ikatan emosional harus lebur dan tunduk di hadapan akidah dan keyakinan yang sudah tertanam begitu kuat.
“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai wali jika ternyata mereka lebih mencintai kekafiran daripada keimanan. Dan barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai walinya maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”[10]
Sebagai contoh Abu Hudzaifah bin ‘Utbah yang berada di barisan kaum muslimin sementara orang tuanya ‘Utbah bin Rabi’ah berada di pihak orang musyrik. Abu Hudzaifah mengajak ayahnya untuk memenuhi seruan kebenaran. Namun sang ayah yang sudah begitu jauh terjebak di dalam kejahiliahan tetap kukuh di dalam kesesatan sampai akhirnya kesesatan tersebut mengantarkannya kepada ujung kehidupan yang sangat buruk sekali. Ia tewas di tangan kaum muslimin di tengah peperangan.
Tawanan Perang
Pada peperangan ini, kaum muslimin berhasil membunuh 70 orang dari kalangan orang-orang musyrikin dan menahan sekitar 70 orang. Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh dua orang tawanan karena permusuhan dan kebencian mereka yang sudah di luar batas, yaitu Nadhr bin al Harits dan Uqbah bin Mu’ith. Mereka berdua adalah orang yang paling banyak melakukan kalaliman. Status keduanya lebih tepat disebut sebagai penjahat perang, bukan lagi sebagai tawanan perang.
Maka dilakukanlah syura mengenai tawanan perang ini. Umar mengajukan pendapatnya, ”Wahai, Rasulullah, mereka telah mendustakan, memerangi, dan mengusirmu. Menurutku sebaiknya kau izinkan aku untuk menebas leher fulan (yaitu kerabatnya sendiri). Dan kau izinkan Hamzah untuk membunuh ‘Abbas, dan ‘Ali membunuh ‘Uqail. Begitulah agar orang tahu bahwa tidak ada kecintaan sedikitpun di dalam hati kami terhadap orang-orang yang musyrik. Aku melihat bahwa engkau tidak perlu menjadikan mereka sebagai tawanan. Tebaslah semua leher mereka. Prajurit, para pemimpin, dan pemuka mereka.” Usulan ini disetujui oleh Sa’d bin Mu’adz dan ‘Abdullah bin Rawahah.
Abu Bakar memiliki pendapat berbeda, ia berkata: ”Wahai Rasulullah , mereka itu adalah kaum dan keluargamu juga. Allah Ta’ala telah menganugerahkan kemenangan kepadamu. Menurutku sebaiknya engkau biarkan saja mereka sebagai tawanan dan kau minta dari mereka tebusan. Sehingga tebusan tersebut dapat menjadi sumber kekuatan kita untuk menghadapi orang-orang kafir. Dan semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk-Nya kepada mereka melalui dirimu sehingga mereka pun akan menjadi pembelamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pendapat Abu Bakar. Beliau pun membagi-bagikan sisa tawanan (68 orang) kepada sahabat-sahabatnya sambil berpesan, ”Perlakukanlah para tawanan itu dengan baik” kemudian beliau menerima tebusan dari para tawanan tersebut. Orang kaya akan membayar satu orang tawanan sebesar sekitar 1.000 hingga 4.000 ribu dirham. Sementara orang-orang miskin, sebagian mereka dibebaskan begitu saja tanpa dimintai tebusan. Beliau pun menuntut dari para tawanan yang memiliki ilmu untuk mengajarkan kepada anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis sebagai tebusan bagi diri mereka.
Kemudian turunlah wahyu Allah Ta’ala berkenaan dengan hal ini,
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal: 67)
Hukum Tawanan Perang
Surat Al-Anfal ayat 67 ini sebagai teguran terhadap tindakan Rasulullah bahwa tidak patut bagi seorang Nabi dalam suatu peperangan menahan para tawanan dan menunggu putusan, apakah mereka akan dibebaskan begitu saja atau dengan menerima tebusan dari keluarga mereka, kecuali bila keadaan muslimin sudah kuat, kedudukannya sudah kokoh dan musuhnya tidak berdaya lagi.
Keadaan kaum muslimin sebelum perang Badar masih lemah dan kekuatan mereka masih terlalu kecil dibanding dengan kekuatan kaum musyrikin. Bila para tawanan itu tidak dibunuh, malah dibebaskan kembali meskipun dengan membayar tebusan, sedang mereka adalah pemuka dan pemimpin kaumnya, tentulah mereka akan pergi untuk berperang lagi, dan mengumpulkan kekuatan yang besar untuk menyerang kaum Muslimin. Hal ini sangat berbahaya bagi kedudukan kaum Muslimin yang masih lemah.
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh firman-Nya, “Dan sesudah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” (QS. Muhammad ayat 4)
Ghanimah
Para Sahabat mendapatkan banyak ghanimah yang diproleh dari tangan musuh yang melarikan diri, terbunuh atau yang tertawan. Di sini muncul permasalahan baru, yaitu cara pembagian ghanîmah, karena para Sahabat terbagi menjadi tiga kelompok. Ada yang berkonsentrasi menyerang dan memukul mundur musuh, ada yang berkonsentrasi mengumpulkan harta rampasan dan ada pula yang berkonsentrasi menjaga Rasulullah agar terhindar dari serangan musuh. Setiap kelompok merasa berhak mendapatkan bagian dengan alasan masing-masing.
Perselisihan ini terjadi karena pada saat itu belum ada syari’at tentang aturan pembagian ghanîmah. Ubadah bin Shamit menjelaskan, “Lalu Allah Azza wa Jalla mengambil alih permasalahan ini dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membagikannya kepada kaum muslimin. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ ۖ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan Rasul , oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal ayat 1)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikannya sama rata kepada semua Sahabat yang ikut serta dalam perang Badar.
Di antara hadits yang menunjukkan pembagian ghanimah kepada para Sahabat yang turut serta dalam perang Badar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya unta yang diambilkan dari seperlima yang merupakan bagian Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memberikan ghanîmah kepada para peserta perang, tapi beliau juga membagikannya kepada para Sahabat yang ditugaskan di Madinah atau yang tidak ikut berperang karena suatu alasan yang dibenarkan. Seperti Utsman yang tidak berangkat karena mengurusi istrinya yang sedang sakit, atau `Abdullah ibnu Ummi Maktum, Abu Lubabah yang mendapatkan tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap di Madinah.
Begitulah akhir dari kisah pembagian ghanimah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil seperlimanya, kemudian sisanya beliau bagikan kepada para Sahabat secara sama rata. Pembagian ghanîmah ini dilakukan di daerah Shafra’ dalam perjalanan pulang menuju Madinah. Para Sahabat Radhiyallahu anhum semuanya taat kepada keputusan yang diambil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga perselisihan dalam masalah pembagian ghanîmah ini hilang begitu saja. Dan begitulah sikap para Sahabat dalam setiap permasalahan yang diputuskan hukumnya oleh Allah atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [11]
Hasil dari Perang Badar
- Umat islam semakin kuat sehingga bangsa Arab memperhitungkannya. Islam muncul ke permukaan dengan rambu-rambu akidah dan prinsip-prinsip dasar yang dibawanya.
- Tergoncangnya kedudukan Quraisy di mata orang Arab serta kegalauan penduduk Makkah di hadapan tamparan yang tak diduga tersebut.
- Tampilnya umat islam sebagai sebuah kekuatan yang memiliki arti dan pengaruh. Hal ini menyebabkan banyak kabilah yang tinggal di sepanjang jalur Makkah dan Syam membuat perjanjian kesepakatan dengan mereka. Dengan demikian kaum muslimin sudah berhasil menguasai jalur tersebut.
- Sebelum perang Badr meletus, kaum muslimin mengkhawatirkan keberadaan orang-orang non muslim yang tinggal di kota Namun setelah mereka kembali ternyata kenyataannya justru sebaliknya.
- Semakin bertambahnya kebencian orang-orang yahudi terhadap umat islam. Sebagian mereka mulai menunjukkan permusuhannya secara terang-terangan. Sementara yang lainnya menjadi agen yang membawa berita perihal kaum muslimin kepada orang-orang Quraisy serta memprovokasi mereka untuk menyerang umat islam.
- Aktivitas perdagangan Quraisy menjadi semakin sempit. Akhirnya mereka terpaksa menapaki jalur Iraq melalui Najd karena takut apabila dikuasai oleh orang-orang Islam. Dan jalur ini merupakan jalur yang panjang.
*****
Catatan Kaki
[1] . Ar-Raudh al Anf ; 2/32-38
[2] Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 156
[3] . Pada zaman jahiliah, Miqdad menjalin sebuah pertalian khusus dengan Al Aswad bin ‘Abd Yaghuts az-Zuhri. Ia pun mengangkatnya sebagai anak sehingga Miqdad dipanggil Miqdad al Aswad. Namun ketika turun firman Allah SWT “panggillah mereka sesuai dengan nama bapak-bapak mereka,” maka ia pun dipanggil Miqdad bin ‘Amr.
[4] . Dinukil dari Sirah Nabawiah Fii Dhoui al Quran wa as-Sunnah, 2/99
[5] . Lihat Sirah Ibnu Katsir 2/391juga Ar-Raudh Al anf ‘ala Sirah Ibnu Hisyam 3/33
[6] . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[7] . Surah Al Anfal 9-10
[8] . Sirah Nabawiah, Ibnu Hisyam 1/627
[9] . Diriwayatkan oleh Imam Muslim 2/139
[10] . At Taubah 23.
[11] Lihat: https://almanhaj.or.id/3756-ghanimah-dan-tawanan-perang-badar.html