Pada tulisan sebelumnya dijelaskan alasan Nabi saw mengutus Sa’ad bin Muadz untuk memutuskan perkara Yahudi Bani Quraizhah. Maka, Sa’ad pun memutuskan:
Untuk memberikan keputusan atas orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang telah berkhianat pada Perang Ahzab, Nabi saw mengutus seorang sahabatnya Sa’ad bin Muadz. Mengapa perlu Sa’ad bin Muadz yang memberikan kata akhir bagi para pengkhianat itu? Mengapa tidak beliau sendiri?
Pasukan Islam tiba di perkampungan Bani Quraizhah. Kala itu waktu Isya. Para shahabat berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Di antara mereka ada yang sudah shalat dan ada yang belum.
Menjelang Subuh, Nabi saw menyiapkan para pemanah. Beliau memobilisasi para shahabat untuk mengepung benteng Yahudi itu. Kaum Muslimin melemparkan anak panah dan batu, sementara Yahudi juga melemparkan anak panah dari dalam benteng hingga sore hari. Pada malamnya, mereka menginap di sekitar benteng.
Nisbasy bin Qais datang menghadap Rasulullah saw dan berkata kepada beliau agar memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan terhadap Bani Nadhir. Yakni, membiarkan mereka keluar dari Madinah. Dengan demikian, beliau akan mendapatkan harta senjata, darah mereka terjaga, dan mereka keluar dari Madinah dengan istri-istri dan anak gadis. Ia pun minta agar diizinkan membawa senjata.
Rasulullah saw menolak saran itu kecuali jika mereka mau menerima hukum beliau. Nisbasy pun kembali dengan tangan hampa.[1]
Demikianlah babak pertama perang itu berlalu. Kita selalu mendapatkan fakta: orang-orang Yahudi tak pernah mau melakukan pertempuran. Mereka selalu kalah karena ketakutan. Sebelumnya, pada Perang Bani Qainuqa’, mereka lemah dan hina setelah dikepung. Orang-orang Yahudi mengira, pengepungan ini sama dengan sebelumnya, dimana jiwa mereka terselamatkan. Namun, kali ini tak ada keselamatan bagi mereka. Rasulullah saw menolak perundingan. Beliau juga tidak menerima selain penyerahan total. Sebab, seandainya mereka menang tentu akan menghabisi kaum Muslimin.
Seorang Mukmin tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali. Perang Khandaq merupakan karya asli Yahudi. Kalau berhasil, mereka akan membumihanguskan kaum Muslimin. Lalu, pantaskah orang seperti ini diberikan napas untuk berkhianat lagi?
Dalam kondisi ini, mereka berada dalam dua pilihan: menyerah tanpa syarat atau mati kelaparan dan kehausan, sebagaimana dikatakan Usaid bin Hudhair, “Wahai musuh-musuh Allah, kami tidak akan meninggalkan benteng kalian hingga kalian mati kelaparan. Sekarang, kalian seperti seekor rubah yang berada dalam lubangnya.”
Mereka pun mengingatkan perjanjian dan berkata, “Hai anak Hudhair, kami adalah sekutu-sekutu Anda selain Khazraj.”
Mereka melemah dan Usaid pun berkata, “Tidak ada janji dan sumpah antara aku dan kalian.”
Karenanya mereka mengutus Nisbasy bin Qais untuk memohon: agar mereka diperlakukan sebagaimana Bani Nadhir, yakni Rasulullah mendapatkan harta benda dan persenjataan, sedangkan darah mereka terpelihara; mereka keluar dari Madinah dengan istri-istri, anak, dan apa yang dapat dibawa unta-unta mereka selain senjata.
Barangkali ide ini dari Huyav bin Akhthab, pemimpin Bani Nadhir, yang mengira siasat serupa akan berulang. Namun jawaban Rasulullah saw sangat tegas. Beliau menolak! Mereka harus menerima keputusan beliau!
Orang Yahudi mempelajari kondisi ini. Ka’ab bin Asad, pemimpin Quraizhah, dendamnya tidak sebesar Huyay bin Akhthab. Kadang ia tidak dikendalikan oleh dendam dan permusuhan itu, namun lebih melihat sisi kemaslahatan.
Pandangannya sangat jeli ketika berkata Huyay, “Kamu ini orang yang putus asa. Kamu datang dengan membawa kehinaan sepanjang masa dan dengan mendung tipis yang tidak membawa air, ia hanya memiliki guntur dan kilat.”
Apa gunanya penyesalan. Sungguh tiada guna penyesalan pada saat seperti ini. Ia melihat kembali aset hidup yang dimilikinya sebelum dan sesudah datangnya Nabi Muhammad saw serta mengundang para panglima Yahudi berikut tokoh-tokoh mereka. Untuk menghadapi keteguhan Muhammad saw dalam pengepungan itu, Ka’ab bin Asad mengajukan tiga opsi.
Ka’ab berkata, “Kalian sedang mengalami nasib sebagaimana kalian pilih. Saya mengajukan tiga pilihan: kita ikuti orang itu dan membenarkannya. Demi Tuhan, telah jelas dalam Kitab kalian bahwa ia seorang nabi yang diutus dan dialah yang dimaksudkan dalam Kitab kalian itu. Dengan itu, darah kalian aman.”
Mereka menjawab, “Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat sama sekali dan tidak akan menggantinya dengan kitab lain.“
Ka’ab berkata lagi, “Jika kalian menolak pilihan ini, kita bunuh anak-anak dan istri, kemudian kita keluar untuk menghadapi Muhammad saw beserta para shahabatnya sebagaimana layaknya orang laki-laki yang bersenjatakan pedang dan kita tidak meninggalkan beban di belakang kita hingga Tuhan akan memutuskan perkara-Nya antara kita dan Muhammad. Jika kita menang, demi Tuhan, kita akan mendapatkan wanita-wanita dan anak-anak.“
Mereka menjawab, “Kita bunuh orang-orang lemah itu? Sungguh, tidak ada lagi kebaikan hidup sepeninggal mereka.”
Ka’ab berkata, “Jika kalian tetap menolak, sekarang malam Sabtu. Barangkali Muhammad dan para shahabatnya memberi keamanan kepada kita. Karenanya, turunlah kalian semua. Mudah-mudahan kita dapat mengalahkan Muhammad dan para shahabatnya secara tiba-tiba.”
Mereka berkata, “Haruskah kita merusak hari Sabtu dengan melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan orang-orang sebelum kalian kecuali mereka ditimpa musibah sebagaimana yang kamu ketahui, yakni pemusnahan?”
Ka’ab berkata, “Tak seorang pun di antara kalian satu malam pun yang bisa bersikap tegas sejak dilahirkan ibunya.”[2]
Ka’ab bin Asad memahami benar konsekuensi sebuah peperangan. Ia juga mengetahui bahwa posisinya tidak menguntungkan, bahwa kesediannya untuk mengikuti keputusan Muhammad berarti pembumihangusan total bagi mereka, sedangkan melawan hanyalah tindakan bodoh. Karenanya, ia mencari jalan selamat dan ternyata tidak menemukan selain dalam Islam itu sendiri. Islamlah yang dapat memelihara darahnya berikut seluruh Bani Quraizhah.
Ide Ka’ab untuk masuk Islam walaupun bermotif kemaslahatan menunjukan bahwa dirinya memiliki dendam lebih sedikit daripada Huyay bin Akhthab. Jika Huyay bin Akhthab bisa disamakan dengan Abu Jahal dalam hal dendam dan kekafirannya, maka Ka’ab mungkin bisa disamakan dengan Utbah atau Syaibah, dua pemimpin Bani Umayyah. Mereka sangat memahami sisi kemaslahatan, namun tidak dapat merealisasikannya karena tunduk kepada kaum Quraisy.
Adalah Abdullah bin Salam, seorang mantan pendeta Yahudi, yang mampu melewati fanatismenya dan menyambut seruan Rabbnya, tapi Ka’ab tak mampu melakukannya sebab kekuasaan baginya merupakan tujuan yang tidak boleh dilupakan. Ia mengetahui bahwa Muhammad berada pada pihak yang benar dan bahwa keteguhannya kepada Judaiesme merupakan pembangkangan.
Ia melihat kesempatan yang tepat untuk menggiring kaumnya menuju Islam walau sekadar untuk melindungi darah, harta, wanita, dan anak-anak. Namun, kadang para pengikut itu memiliki fanatisme yang lebih kental daripada pemimpinnya, khususnya orang-orang Yahudi, sebagaimana yang diturunkan oleh Allah dari langit dan bumi dengan firman-Nya, “…. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu ( kecintaan menyembah) anak sapi …… “ (QS al-Baqarah [2]:93)
Kecintaan untuk menyembah anak sapi telah merasuk hingga ke dalam darah dan perut mereka lalu meresap dan berbaur dalam urat nadi. Karenanya, jawaban orang Yahudi itu jelas, “…Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat sama sekali dan tidak menggantinya dengan kitab lainnya.”
Ka’ab menyadari bahwa permasalahan Judaisme lebih dekat kepada permasalahan fanatisme daripada aqidah. Karena itu, ketika ditawarkan kepada mereka untuk masuk Islam, mereka pun menolak. Ka’ab ingin memosisikan mereka pada konsekuensi-konsekuensi aqidah.
Selanjutnya, ia menawarkan kepada mereka pilihan membunuh anak-anak dan istri agar perang nanti berlangsung sedemikian sengit dan mereka tidak diresahkan oleh harta, istri, dan anak; agar dalam perang nanti ketenteraman mereka tidak terusik oleh ditawannya wanita-wanita mereka di tangan kaum Muslimin. Namun bangsa Yahudi memang melihat kehidupan lebih mahal daripada kehormatan dan anak-anak. Apa enaknya hidup tanpa anak dan istri?
Demikianlah, orang-orang Bani Quraizhah itu tidak akan meninggalkan agama mereka dan tidak pula mengorbankan wanita-wanita, anak-anak, dan nyawa mereka sendiri. Karenanya, tidak ada pilihan lagi selain alternatif ketiga: menyerang kaum Muslimin secara mendadak pada malam Sabtu. Namun ide itu pun gagal karena mereka beralasan tidak mau merusak dan mencemari hari Sabtu, hari suci mereka.
Begitulah watak asli orang-orang Yahudi. Mereka menolak semua usul pimpinanny. Akhirnya, tak ada solusi lain kecuali mati kelaparan dan kehausan atau menerima keputusan Muhammad. Adapun untuk berperang demi kehormatan, atau bertempur dengan gagah berani, atau membela diri sebagai pahlawan, semua ini tak ada dalam logika dan kamus bangsa Yahudi!
Nah, betapa pentingnya kita mengenal karakter ini. Utamanya ketika peperangan antara kita dan mereka tengah berlangsung. Mengenal kejiwaan musuh akan memberikan sumbangan berharga dalam menentukan bentuk konfrontasi apa yang harus kita lakukan.
Ironisnya, kita sekarang ini tampaknya seakan-akan sedang berhadapan dengan corak manusia baru hingga semua orang Arab takut kepada orang Yahudi. Masyarakat Arab yang jumlahnya kini lebih dari 150 juta orang begitu lemah di hadapan Yahudi.
Kini, semuanya asyik membicarakan perdamaian. Kini, para pemimpin mereka lebih banyak berbicara tentang solusi damai atau menyerah daripada tentang keimanan kepada Allah. Padahal, inilah yang diinginkan Yahudi. Mereka tak pernah menang dalam medan pertempuran. Sebalilknya, umat Islam selalu kalah di meja perundingan.
Setelah perang tahun 1973 melawan Yahudi, selesailah konsep perang dan konfrontasi dalam benak orang-orang Arab. Kini, mereka terlena dalam mimpi tentang kembalinya negeri yang dirampas itu dengan cara damai dan diadakanlah berbagai muktamar. Mereka ajukan proposal perdamaian dan sama sekali tidak menyinggung eksistensi Yahudi.
Abad kita ini telah menyaksikan tragedi tersebut, sebuah tragedi kebertekuklututan secara hina. Sebuah tragedi keyakinan yang ada dalam benak para pemimpin Arab berikut rakyatnya bahwa Israel tak terkalahkan dan bahwa Arab tak akan menang. Mereka memerankan tipe orang-orang Aus dan Khazraj sebelum Islam. Ketika itu, entitas Yahudi Madinah mengancam entitas Arab, “Zaman nabi yang kita ikuti segera memayungi kami dan bersamanya kami akan memerangi kalian sebagaimana ‘Ad dan Iram.”
Waktu itu, orang-orang Arab menerima undang-undang Yahudi dan mereka berlomba-lomba untuk menjalin persekutuan. Seperti itulah orang-orang Arab kini. Dulu, rasa takut menyergap bangsa Arab karena orang-orang Yahudi adalah orang-orang berilmu dan memiliki senjata. Senjata orang-orang Arab di Madinah bahkan merupakan hasil produksi Yahudi. Bagaimana mungkin memerangi mereka?
Kaum Muslimin hari ini nyaris tak beraqidah lagi. Mereka telah kerasukan rasa takut terhadap Yahudi karena merasa ilmu dan persenjataan mereka kalah, padahal ilmu Yahudi sekarang sebatas ilmu manusia. Senjata mereka buatan Barat atau buatan lokal. Ayat tidak pernah berubah sama sekali. Karakter tidak pernah bergeser dan jiwa pun tidak pernah berganti.
Mengapa Bangsa Bani Quraizhah Dihancurkan
Ketika membaca ulang apa yang dilakukan Nabi saw terhadap Yahudi Bani Quraizhah, sebagian dari kita mungkin bergidik, ngeri! Hampir sembilan ratus orang—dalam sebuah riwayat—Yahudi dipenggal kepalanya lalu dimasukkan ke dalam parit yang sebelumnya sudah disiapkan. Ada beberapa alasan mengapa Nabi saw melakukan hal itu.
Pertama, mereka telah mengkhianati perjanjian persahabatan dengan kaum Muslimin. Sebelum perang, mereka sudah diberi peringatan secara baik-baik oleh Nabi saw dengan perantaraan dua orang shahabatnya. Tetapi, mereka malah mengingkari perjanjian itu dengan menentang secara kasar dan sombong terhadap kedua orang utusan tersebut.
Kedua, mereka berkhianat ketika Nabi saw dan kaum Muslimin sedang berperang atau tengah menghadapi pihak musuh yang besar. Sehingga, saat berita pengkhianatan itu sampai kepada Nabi saw, beliau pun bersabda, “Al-Adhal dan al-Qaarah.” Artinya, Yahudi Bani Quraizhah sudah berkhianat seperti pengkhianatan orang Adhal dan al-Qaarah yang rnembawa korban beberapa shahabat pilihan di sumur Ma’unah.
Jika bala tentara Ahzab ketika itu tidak diserang angin topan dan badai yang amat dingin, sehingga memaksa mereka untuk menghentikan pengepungan terhadap Madinah; dan jika usaha Nu’aim bin Mas’ud untuk memecah belah kebulatan persekutuan mereka itu tidak berhasil, yang menyebabkan ketua-ketua mereka bingung hendak melanjutkan serangan mereka kepada kaum Muslimin, maka tidaklah dapat diragukan bahwa kaum Yahudi Bani Quraizhah akan turut menghancurkan kaum Muslimin.
Ketiga, hukuman yang dijatuhkan atas mereka adalah hasil putusan hakim yang ditunjuk dan diangkat oleh mereka sendiri, yaitu Sa’ad bin Mu’az. Karena sebelum ada putusan, mereka telah mengajukan permohonan kepada Nabi saw dengan perantaraan beberapa orang dari golongan Aus, yang pernah bershahabat dengan mereka pada masa jahiliah, supaya memberikan keringanan hukuman. Saat itu Nabi saw bersabda kepada mereka (yang menjadi perantara), “Sukakah kamu jika aku menunjuk seseorang dari kamu sendiri untuk menjadi hakim yang menyelesaikan perselisihan antara kami dan Bani Quraizhah?”
Mereka menjawab, “Ya”.
Nabi bersabda, “Katakanlah bahwa mereka boleh memilih siapa di antara kamu yang dikehendaki mereka untuk menjadi hakim.”
Mereka lalu memilih Sa’ad bin Mu’az, ketua kaum Aus. Padahal, Sa’ad pada waktu itu masih menderita sakit yang agak berat, karena luka-lukanya ketika terjadi Perang Khandaq.
Permohonan itu diterima Sa’ad bin Mu’az. Kemudian Sa’ad bertindak meminta tanda persetujuan dari kedua belah pihak bahwa mereka telah menyerahkan perkara kepadanya dan rela atas keputusan yang akan diambilnya. Kedua belah pihak menunjukkan persetujuan. Walaupun Nabi mengetahui bahwa perkataan Sa’ad itu dihadapkan kepada kaum Aus, tapi beliau dengan tegas mengatakan, “Ya”, untuk menunjukkan bahwa beliau sendiri menyetujui dan suka menerima putusan yang akan dijatuhkannya kepada kaum Yahudi Bani Quraizhah itu. Sesudah itu, Sa’ad menjatuhkan putusan: tentang Bani Quraizhah, aku putuskan bahwa orang laki-laki mereka dibunuh, kekayaan mereka dibagi-bagi, dan anak-anak serta wanita-wanita ditawan!
Yahudi, jangan dikasih hati!
Catatan Kaki:
[1] Al-Muqrizi, Imtaul Asma’ halaman 243
[2] Ibnu Hisyam, as-Sirah Nabawiyah III/246-247