(Akhir Perlawanan Yahudi di masa Nabi)
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Dr Munir Muhammad Ghadhban dalam karyanya al-Manhaj al-Haraki, menyebut Perang Khandaq sebagai produk murni orang-orang Yahudi.[1] Merekalah yang menggagas, mempelopori dan membentuk pasukan Ahzab untuk melenyapkan umat Islam dari Madinah. Dari mana mereka bergerak? Bukankah dua kelompok Yahudi (Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir) sudah dienyahkan dari Madinah kala itu? Ya, mereka bergerak dari Khaibar. Sebuah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam dan memiliki benteng-benteng pertahanan yang kokoh. Dari tempat inilah mereka merencanakan dan melaksanakan ide besar untuk merebut kembali Madinah bersama dengan musuh-musuh Islam kala itu.
Nabi saw mengetahui bahwa otak segala perencanaan dan pembiayaan Perang Khandaq dikendalikan orang-orang Yahudi. Karena itu, begitu berhasil mengusir pasukan Ahzab dari pinggiran Madinah, Nabi saw segera menyerbu Yahudi Bani Quraizhah yang juga bersekutu dengan pasukan Ahzab. Saat itu, Yahudi Bani Quraizhah sebagai satu-satunya kabilah yang masih diizinkan tinggal di Madinah. Mereka berhasil dilumpuhkan. Lebih dari 600 orang dipenggal kepalanya lalu dimasukan ke dalam lubang yang sudah disediakan sebelumnya.[2] Itulah ganjaran bagi pengkhianat.
Lalu bagaimana dengan penggagas utama Perang Khandaq yakni Yahudi Bani Nadhir? Nabi saw ingin segera menyelesaikan urusan dengan mereka. Namun di depan mata, masih ada kelompok yang harus diprioritaskan. Yahudi Bani Nadhir di Khaibar memang sangat berbahaya. Bahkan sangat berbahaya. Tapi mereka tak mungkin bergerak sendiri. Mereka butuh sekutu. Dan, sekutu utama mereka adalah orang-orang Quraisy.
Karena itu, begitu berhasil menandatangani Perjanjian Hudaibiyah dengan kafir Quraisy, Nabi saw mengarahkan sasaran pada dua hal. Pertama, mendeklarasikan Islam ke seluruh dunia. Untuk itu, beliau mengirimkan surat kepada para raja. Kedua, menggerakan aktivitas militer untuk melumpuhkan para pihak yang membahayakan Islam. Sasaran utamanya adalah Yahudi di Khaibar. Inilah latar belakang berkecamuknya Perang Khaibar yang berujung pada kemenangan Islam dan bertekuk lututnya orang-orang Yahudi.
Sekilas Bumi Khaibar
Khaibar, sebuah kota besar berbenteng kokoh, dipenuhi kebun-kebun subur. Letaknya sejauh enam puluh atau delapan puluh mil dari Madinah ke arah utara atau sekitar 120 km arah menuju Syam.
Tempat ini hampir seratus persen dihuni Yahudi. Sebagian besar adalah Yahudi Bani Nadhir yang sebelumnya diusir oleh Nabi saw dari Madinah lantaran mereka berkhianat. Mereka tak hanya menjadikan Khaibar sebagai tempat menyelamatkan diri tapi juga sebagai markas militer. Dari kota inilah mereka merancang berbagai strategi untuk memusnahkan umat Islam di Madinah agar mereka bisa berkuasa kembali. Perang Khandaq merupakan salah satu ‘karya’ orang-orang Yahudi. Rapat-rapat militer untuk menggagas perang itu, dilaksanakan di Khaibar. Penggalangan dana pun diusung dari kota berbenteng ini.
Saat itu Khaibar menjadi tempat yang sangat strategis untuk menyusun kekuatan perang. Dilindungi oleh banyak benteng dengan tanah yang subur dan dipenuhi perkebunan. Namun kini kondisi Khaibar berbeda. Ia tak lagi cocok untuk tempat hunian. Gersang dan tandus.
Mengapa Perang Khaibar
Perjanjian Hudaibiyah telah mematahkan sayap musuh kaum Muslimin yang terkuat yakni pasukan Quraisy. Saatnya Rasulullah saw mulai memperhitungkan dua sayap lainnya, yaitu Yahudi dan kabilah-kabilah Najd. Beliau berharap keamanan dan kedamaian betul-betul terwujud di seluruh wilayah, lalu kaum Muslimin dapat memusatkan perhatiannya untuk menyebarkan risalah Allah ke seantero bumi.
Khaibar merupakan markas militer dan pusat permusuhan serta pemicu peperangan orang-orang Yahudi. Setelah diusir dari Madinah, Khaibar menjadi tempat bersembunyi sekaligus markas konspirasi mereka. Maka, selayaknya tempat ini menjadi perhatian utama kaum Muslimin setelah Perjanjian Hudaibiyah disepakati dengan kafir Quraisy.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa penduduk Khaibarlah yang menghimpun pasukan musuh untuk melawan kaum Muslimin dalam Perang Khandaq. Mereka juga yang mendorong Yahudi Bani Quraizhah untuk berkhianat dan bergabung dengan pasukan Ahzab. Orang-orang Yahudi di Khaibar juga yang melakukan kontak dengan orang-orang munafiq dan menjalin hubungan dengan orang-orang Ghathafan serta orang Arab Badui.
Di samping itu, mereka juga telah mempersiapkan diri untuk perang menumpas umat Islam. Tindakan mereka ini telah membuat kaum Muslimin terus menerus berada dalam kesulitan. Bahkan, orang-orang Yahudi ini juga pernah merencanakan pembunuhan terhadap Nabi saw. Menghadapi semua itu, kaum Muslimin terpaksa melakukan operasi militer dan membunuh otak persekongkolan tersebut, seperti Salam bin Abul Haqiq dan Usair bin Zaram.
Itulah yang mewajibkan kaum Muslimin untuk menuntaskan orang-orang Yahudi di Khaibar. Ibarat bara api dalam sekam, permusuhan Yahudi tak mungkin padam. Bahkan, lama kelamaan ia terus membara dan membakar. Jika umat Islam terus dihantui oleh bahaya seperti itu, bagaimana umat Islam bisa membentangkan sayap dakwahnya ke penjuru dunia. Sebelum bara itu membesar dan membakar, harus segera dipadamkan.
Namun untuk beberapa lama, umat Islam harus mengubur kewajiban itu. Umat Islam sedang berhadapan dengan kekuatan besar yaitu Quraisy. Meski usai Perang Khandaq, nyali pasukan Quraisy sudah mengkerut, tapi bara permusuhan mereka masih berkobar.
Setelah bara ini bisa diredam dengan Perjanjian Hudaibiyah, maka saatnya kaum Muslimin mulai membuat perhitungan untuk menyelesaikan perkara dengan para pengkhianat ini: Yahudi Khaibar.
Pasukan Besar Menuju ke Khaibar
Setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah saw berada di Madinah pada bulan Dzulhijah dan sebagian bulan Muharam. Kemudian pada sisa bulan Muharam itu, beliau berangkat ke Khaibar. Demikian sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq.
Sebagian ahli tafsir mengatakan, Khaibar adalah janji yang telah disampaikan Allah melalui firman-Nya, “Allah menjanjikan kepada kalian yang banyak yang dapat kalian ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan itu untuk kaum,” (QS al-Fath : 20).
Jumlah Pasukan Islam
Orang-orang munafiq dan orang-orang yang memiliki keimanan yang lemah tidak ikut dalam Perjanjian Hudaibiyyah. Allah menurunkan perintah kepada Nabi-Nya tentang mereka dengan firman-Nya, “Orang-orang yang tertinggal itu akan berkata apabila kalian berangkat untuk mengambil harta rampasan, ‘Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kalian.’ Mereka hendak mengubah janji Allah katakanlah, ‘Kalian sekali-sekali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya. ‘ Mereka akan mengatakan, ‘Sebenarnya kalian dengki kepaada kami. ‘Bahkan mereka tidak mengerti kecuali sedikit sekali,” (QS al-Fath : 15).
Ketika hendak berangkat ke Khaibar, Rasullullah saw mengumumkan bahwa yang boleh ikut hanyalah orang-orang yang suka berjihad. Ternyata yang ikut berangkat hanyalah orang-orang yang menyertai peristiwa Baiatur Ridhwan, sejumlah 1400 orang, disertai 200 orang penunggang kuda. Jadi jumlah pasukan Islam 1600 orang.
Beliau melimpahkan urusan Madinah kepada Siba’ bin Arfathah al-Ghifari, tapi menurut Ibnu Ishaq, beliau menyerahkan menyerahkan kepada Namilah bin Abdullah al-Laitsi. Menurut para peneliti, yang pertama lebih benar.
Saat itulah Abu Hurairah datang ke Madinah untuk masuk Islam. Dia bertemu dengan Siba’ bin Abdullah yang sedang menunaikan shalat Shubuh. Seusai shalat, Abu Hurairah menghampiri Siba, lalu Siba memberinya bekal perjalanan.
Abu Hurairah datang untuk menemui Rasullulah saw. Beliau memberitahukan perihal keislamannya kepada kaum Muslimin, lalu menyerahkan Abu Hurairah kepada para sahabatnya dalam pembagian harta yang mereka peroleh.
Yahudi Mendapat Informasi dari Kaum Munafik
Al-Kufru millatun wahidah (Kekafiran itu, satu agama). Begitulah watak orang-orang munafik. Meskipun zahirnya Mukmin, tapi hatinya kufur. Mereka sudah sangat sering membantu orang-orang Yahudi, termasuk menjelang Perang Khaibar.
Gembong munafiq, Abdullah bin Ubay berkirim surat kepada orang-orang Yahudi Khaibar yang isinya, “Muhammad hendak mendatangi kalian, maka waspadalah. Janganlah kalian takut kepadanya, sebab jumlah dan persenjataan kalian banyak, sedangkan pengikut Muhammad sedikit dan hanya membawa sedikit senjata.”
Setelah mengetahui hal itu, penduduk Khaibar mengutus Kinanah bin Abul Haqiq dan Haudzah bin Qais kepada Bani Ghathafan untuk meminta bantuan. Mereka adalah sekutu Yahudi Khaibar dalam menghadapi kaum Muslimin. Selain itu, pemukiman Bani Ghatafan berada cukup dekat dengan Khaibar. Ketika Perang Khandaq, Bani Ghathafan juga bergabung dengan pasukan Ahzab atas ajakan Yahudi Bani Nadhir. Dari suku ini kita mengenal seorang tokohnya yang sangat berjasa bagi kaum Muslimin. Tokoh itu bernama Nuaim bin Mas’ud. Dialah yang memecah pasukan Ahzab dan membuat pasukan mereka tercerai berai.
Untuk menarik minat Bani Ghathafan, Yahudi Khaibar tak ragu-ragu berkorban. Jika berhasil mengalahkan kaum Muslimin, mereka berjanji akan memberi imbalan berupa setengah dari hasil buah-buahan Khaibar untuk Bani Ghathafan. Bani Ghathafan setuju. Mereka menjanjikan bantuan 4000 personil.
Setiap hari, kaum Yahudi sudah terbiasa mengenakan perlengkapan perang untuk bertempur. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 10 ribu pasukan. Jadi, kekuatan Yahudi Khaibar mencapai 14 ribu orang, jauh di atas kekuatan umat Islam yang hanya 1600 orang.
Rute Menuju Khaibar
Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah melewati Gunung Ashr, lalu ash-Shahba. Setelah itu beristirahat di suatu lembah yang disebut ar-Raji. Lebih detil, al-Waqidi menjelaskan rute perjalanan pasukan Islam. Nabi saw keluar dari Madinah melewati bukit Wada – Raghabah – Naqmi – Mustanakh – Luthat – Gunung Ashr – Shahba – Kharshat – Syiqqi – Nuthat – Manzalat – dan Lembah Raji. Dari lembah Raji’ inilah Nabi saw bergerak untuk menaklukkan Khaibar.
Antara ar-Raji dan Ghathafan ditempuh dengan perjalanan selama sehari semalam. Lembah ini terletak di sebelah Timur Laut Khaibar. Jadi, Nabi saw memilih tempat ini bukan tanpa alasan. Ia ingin memisahkan Khaibar dari Syam dan Ghathafan.
Untuk menggentarkan musuh, pasukan Islam mengumandangkan kalimat-kalimat kebesaran Allah dengan suara keras. Orang-orang Ghathafan sudah melakukan persiapan untuk berangkat menuju Khaibar, memberikan bantuan kepada orang-orang Yahudi.
Namun di tengah perjalanan, mereka mendengar suara gaduh dari arah belakang. Mereka mengira kaum Muslimin telah menyerang keluarga dan harta mereka. Akhirnya, mereka kembali dan tidak ikut campur urusan Rasullullah saw dengan penduduk Khaibar.
Kemudian Rasulullah memanggil dua orang yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan Islam. Salah seorang bernama Husail, untuk menunjukkan jalan yang terbaik. Dengan demikian dapat menghadang kemungkinan orang-orang Yahudi yang melarikan diri ke Syam atau Ghathafan.
Salah seorang penunjuk jalan itu berkata, “Aku akan menunjukkan jalan kepada Anda, wahai Rasullullah saw.”
Beliau menerima petunjuk yang diberikannya. Setelah sampai pada persimpangan, penunjuk jalan itu mengatakan bahwa semua jalan ini bisa dilalui untuk mencapai tujuan. Beliau kemudian menanyakan nama salah satu jalan tersebut.
Penunjuk jalan itu berkata, “Ini namanya Huzn.”
Beliau tidak mau melalui jalan itu.
Dia berkata, “Yang ini namanya Syasy.”
Beliau juga tidak mau melewati jalan itu.
Dia berkata, “Jalan yang ini namanya Hathib.”
Beliau juga tidak mau melalui jalan itu.
Selanjutnya Husail berkata, “Tak ada pilihan lain kecuali yang satu ini.”
Umar bertanya, “Apa nama jalan itu?”
Husail menjawab, “Namanya Marhab.”
Maka, Nabi saw pun memilih melewati jalan itu.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Al-Manhaj al-Haraki, Dr Munir Muhammad Ghadhban, Darul Wafa’, Cetakan ke-XV, halaman 216
[2] Beberapa riwayat menyebutkan, jumlah mereka yang dieksekusi itu mencapai 900 orang.