Peristiwa Penting Usai Kemenangan Khaibar
Memahami apa yang dilakukan Nabi saw usai penaklukkan Khaibar akan memudahkan kita memetik hikmah dari yang terjadi. Ini penting mengingat Perang Khaibar bukan hanya akhir riwayat Yahudi di masa Nabi saw tapi juga menjadi awal bagi futuhaat (pembebasan) berikutnya. Kita mulai dari peristiwa kepulangan Nabi saw dari Khaibar menuju Madinah.
Setelah berhasil menaklukkan Khaibar, Fada, Wadil Qura dan Taima, Rasulullah saw kembali ke Madinah. Dalam kepulangan itu, beliau melakukan perjalanan pada malam hari. Di akhir malam, beliau beristirahat untuk tidur. Beliau berkata kepada Bilal, “Jagalah kami malam ini.”
Namun Bilal tidak dapat menahan kantuk. Ia pun tertidur sambil bersandar di kendaraannya. Tak seorang pun yang bangun sampai mereka terkena sengatan matahari. Yang pertama kali bangun adalah Rasulullah saw.
Setelah salam, Rasulullah menghadap kepada para sahabat dan bersabda, “Jika kalian lupa shalat, shalatlah jika kalian telah ingat karena Allah SWT berfirman, ‘Shalatlah karena ingat kepada-Ku.”
Ada yang mengatakan, kisah ini terjadi dalam perjalanan yang lain bukan dalam perjalanan kembali dari Khaibar.
Jika dirunut rincian peristiwa dalam perang Khaibar, dapat disimpulkan bahwa kepulangan Nabi saw ke Madinah terjadi pada akhir Shafar atau awal Rabiul Awwal tahun 7 H. Sedangkan beliau berangkat pada pertengahan Muharram. Jadi, keberangkatan beliau menuju Khaibar lebih dari sebulan, termasuk perjalanan dan ‘bermukimnya’ beliau dan kaum Muslimin di Khaibar.
Ekspedisi Aban bin Sa’id
Nabi saw memahami benar dari para panglima militernya bahwa mengosongkan Madinah setelah berakhirnya bulan-bulan suci tidaklah membuat hati tenang. Sebab, orang-orang Arab Badui selalu berkeliaran di sekitar Madinah mencari kelengahan kaum Muslimin, untuk melakukan pembajakan dan perampokan. Karena itu, beliau mengirimkan satu pasukan ke Najd untuk menakut-nakuti orang-orang Arab Badui. Pasukan ini di bawah pimpinan Aban bin Sa’id.
Aban tak mengalami kesulitan. Ketika beliau masih berada di Khaibar, Aban bin Sa’id sudah selesai melaksanakan tugasnya. Aban menemui beliau di Khaibar dan saat itu Khaibar sudah dapat ditaklukkan.
Menurut pendapat yang kuat bahwa ekspedisi ini terjadi pada Shafar tahun 7 H. Perihal ekspedisi ini disebutkan dalam riwayat Bukhari.[1] Namun terhadap ekspedisi ini, Ibnu Hajar berkomentar, “Aku tidak mengetahui keadaan ekspedisi ini.”[2]
Membekuk Musuh di Ekspedisi Dzatur Riqa
Setelah berhasil mematahkan dua sayap dari tiga sayap kekuatan musuh, Rasulullah saw mengalihkan perhatiannya kepada sayap ketiga, yaitu orang-orang Badui yang keras kepala dan berkeliaran di sekitar Najd serta masih selalu melakukan tindak perampokan dan perampasan.
Orang-orang Badui itu tak berhimpun dalam suatu wilayah atau kota dan tidak tinggal di dalam benteng-benteng, maka mengusai dan memadamkan api permusuhan mereka lebih sulit dibandingkan dengan penduduk Makkah dan Khaibar. Karena itu, langkah yang ditempuh untuk menghadapi mereka hanyalah memberikan pelajaran dan teror. Kaum Muslimin melakukan tindakan itu hingga beberapa kali.
Karena ada orang-orang Badui menghimpun pasukan untuk menyerang pinggiran Madinah, Rasulullah saw mengirim pasukan untuk memberi pelajaran kepada mereka. Pengiriman pasukan ini dikenal dengan perang Dzatur Riqa.
Mayoritas pakar sejarah peperangan menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada tahun 4 H. Namun dengan keikutsertaan Abu Musa al-Asy’ari dan Abu Hurairah dalam perang ini menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi pada Rabiul Awwal tahun 7 H. Sebab, kedua sahabat Nabi saw itu masuk Islam saat Perang Khaibar berlangsung. Keduanya datang menemui Nabi saw bersama Ja’far bin Abu Thalib yang baru kembali dari Habasyah.
Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri dalam ar-Rahiqul Makhtumnya, menjelaskan dengan detil peristiwa ini. Inilah ringkasan peristiwanya.
Nabi saw mendapat informasi tentang berhimpunnya Anmar atau bani Tsa’labah dengan Bani Murhab dari Ghathafan. Beliau segera berangkat bersama 400 atau 700 sahabat untuk menghadapi mereka.
Beliau menyerahkan urusan Madinah kepada Abu Dzar atau Utsman bin Affan. Beliau memasuki wilayah mereka hingga tiba di suatu tempat bernama Nakhl sejauh perjalanan dua hari dari Madinah. Beliau bertemu dengan sekelompok orang dari Ghathafan, lalu mereka mengadakan perdamaian dan tidak terjadi pertempuran. Namun Rasulullah saw sempat melakukan shalat Khauf saat itu.
Dalam riwayat Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah saw. Kami berjumlah enam orang dan ada seekor unta yang kami naiki secara bergiliran. Kaki kami pecah-pecah, demikian pula dengan kakiku yang terkelupas. Kami membalut kaki dengan sobekan-sobekan kain sehingga peperangan ini disebut dengan Dzatur Riqa’ (Yang memiliki tambalan).”[3]
Dalam riwayat Bukhari dari Jabir, dia berkata, “Kami bersama Nabi saw di Dzatir Riqa’. Ketika tiba di suatu pohon yang rindang, kami memberikan kesempatan kepada Nabi saw untuk berteduh. Beliau bertistirahat dan orang-orang berpencar mencari tempat berteduh. Beliau beristirahat di bawah satu pohon dan menggantungkan pedangnya di pohon itu.
Untuk beberapa saat kami tertidur. Tiba-tiba pada saat itu datang salah seorang dari kaum musyirikin lalu mengambil pedang Rasulullah saw seraya berkata, ‘Apakah engkau takut kepadaku?’
‘Tidak!’ jawab Nabi saw.
Orang itu bertanya lagi, ‘Siapa yang membelamu dari tindakanku?’
‘Allah!’ jawab beliau.”
Selanjutnya Jabir mengatakan, “Kemudian Rasulullah saw memanggil kami. Ketika kami datang di depan beliau sudah ada orang Badui uyang sedang duduk. Beliau kemudian menjelaskan peristiwa yang baru saja ia alami. Nabi saw sama sekali tidak mencaci laki-laki itu.
Di dalam riwayat Abu Awanah disebutkan, pedang Rasulullah saw jatuh dari tangan si musyirik itu, lalu beliau memungutnya seraya bertanya kepadanya, “Siapakah yang membelamu dari tindakanku?”
Laki-laki itu berkata, “Jadilah sebaik-baik orang yang menjatuhkan hukuman.”
Beliau berkata, “Apakah kamu mau bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan aku adalah Rasulullah?”
Orang Badui itu berkata, “Aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu dan tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu.“
Beliau kemudian melempaskan orang itu. Setelah tiba di tengah kaumnya, ia berkata kepada mereka, “Aku baru saja datang dari orang yang paling baik.”[4]
Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Musaddad berkata dari Abu Awannah dari Abu Bisyir, “Nama orang itu adalah Ghauruts bin al-Harits.”[5]
Namun ada pendapat lain dari Ibnu Hajar. Menurutnya, “Dalam riwayat al-Waqidi disebutkan tentang latar belakang kisah ini. Bahwa, nama orang Badui itu adalah Da’tsur dan dia masuk Islam. Namun secara lahiriyah, perkataannya menunjukkan keduanya kisah berbeda yang terjadi dalam dua peperangan. Wallahu A’allam.”[6]
Ada kisah menarik ketika Nabi saw dan para sahabatnya kembali dari peperang ini. Dalam perjalanan pulang, kaum Muslimin menawan seorang wanita dari kaum musyrikin. Suami wanita itu kemudian bernadzar untuk tidak kembali sebelum menumpahkan darah seorang sahabat. Dia datang pada malam hari (untuk menunaikan nadzarnya), sementara Rasulullah saw telah menunjuk dua orang untuk bertugas mengawasi kaum Muslimin dari serangan musuh. Kedua orang itu adalah Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir.
Suami wanita itu melepaskan anak panah, membidik Abbad yang saat itu sedang shalat sunnah. Abbad mencabut anak panah itu dan tidak membatalkan shalatnya. Abbad tertusuk tiga panah, namun tetap tidak menghentikan shalatnya hingga salam.
Abbad kemudian membangunkan Ammar.
“Subahanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan aku?” kata Ammar.
Abbad menjawab, “Tadi aku sedang membaca suatu surat, dan aku tidak ingin memotongnya.”[7]
Peperangan ini cukup efektif menanamkan rasa takut dalam hati orang-orang Badui yang dikenal keras itu. Apabila kita perhatikan secara cermat ekspedisi-ekspedisi setelah peperangan ini. Kita dapat melihat bahwa kabilah-kabilah itu yang berasal dari Ghathafan tidak berani lagi mengangkat kepalanya, setelah terjadinya peperangan ini. Bahkan sedikit demi sedikit, mereka tunduk dan menyerah, bahkan ada juga yang masuk Islam sehingga kita dapat melihat beberapa kabilah dari orang-orang Badui itu ikut bergabung dengan kaum Muslimin dalam penaklukkan Makkah, ikut dalam perang Hunain dan mendapatkan bagian dari ghanimah-nya. Setelah penaklukkan Makkah, ada petugas yang dikirm kepada mereka untuk mengambil zakat, mereka pun mau mengeluarkan zakat.
Dengan berakhirnya peperangan ini, maka ketiga sayap kekuatan musuh dapat dipatahkan secara sempurna, dan keamanan serta ketentraman pun tercipta di wilayah ini. Setelah itu kaum Muslimin dengan mudah dapat menutup setiap celah yang dikuak oleh sebagian kabilah di wilayah itu. Bahkan, setelah berakhirnya peperangan ini sudah mulai dilakukan persiapan-persiapan untuk menaklukkan berbagai negeri dan kerajaan-kerajaan besar. Sebab, kondisi dalam negeri telah menunjang dan berkembang untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
Serangkai Ekspedisi usai Perang Khaibar
Sepulang dari perang Khaibar, Rasulullah saw menetap di Madinah hingga Syawwal tahun 7 H. Pada masa itu, beliau mengirimkan beberapa ekspedisi. Berikut sebagian rinciannya.
- Ekspedisi Ghalib bin Abdullah al-Laitsi ke Bani al-Mulawwah di Qadid. Peristiwa ini terjadi pada Shafar atau Rabiul Awwal 7 H. Karena Bani al-Mulawwah membunuh para sahabat Basyir bin Suwaid, maka beliau mengirimkan ekspedisi ini untuk melakukan tindakan pembalasan. Penyerangan dilakukan pada malam hari dan kaum Muslimin berhasil membunuh musuh dan mengambil hewan ternak. Tetapi musuh yang telah menghimpun pasukan besar mengejar kaum Muslimin. Setelah dekat dengan kaum Muslimin, hujan turun dan terjadi banjir besar, sehingga kaum Muslimin berhasil lolos dari kejaran mereka.
- Ekspedisi Umar bin Khaththab ke Turbah pada Sya’ban 7 H. Umar berangkat bersama tiga puluh orang. Mereka melakukan perjalanan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Namun berita tentang keberangkatan pasukan ini didengar oleh kabilah Hawazih. Mereka melarikan diri ketika Umar tiba di tempat tinggal mereka. Karena tak menemukan seorang pun akhirnya Umar kembali lagi ke Madinah.
- Ekspedisi Basyir bin Sa’ad al-Anshari ke Bani Murrah di wilayah Fadak, pada Sya’ban 7 H. Turut dalam ekspedisi tiga puluh orang. Mereka berangkat mendatangi Bani Murrah dan berhasil mengambil kambing-kambing dan hewan-hewan ternak mereka, lalu kembali ke Madinah. Di tengah malam dalam perjalanan pulang, mereka berhasil dikejar musuh. Basyir dan kawan-kawan melakukan perlawanan dengan menghujani musuh dengan anak panah sampai anak panah Basyir dan kawan-kawan habis. Mereka semua terbunuh kecuali Basyir karena berhasil menyelinap ke Fadak dan tinggal bersama orang-orang Yahudi. Setelah luka-lukanya sembuh, dia kembali ke Madinah.
- Ekspedisi Ghalib bin Abdullah al-Latisi pada Ramadhan 7 H ke Bani Uwal dan Bani Abdullah bin Tsa’Iabah. Ada yang mengatakan dia diutus ke al-Harqat di wilayah Juhainah. Jumlah pasukan seratus tiga puluh orang. Mereka melancarkan serangan dan membunuh orang yang mendekati mereka. Mereka dapat membawa hewan-hewan ternak musuh. Dalam ekspedisi ini, Usamah bin Zaid membunuh Mardas bin Nuhaik. Padahal, ia telah mengucapkan La ilaha illallah. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi saw, beliau berkata, “Mengapa kamu tidak membelah hatinya, sehingga kamu dapat mengetahui apakah dia itu jujur ataukah dusta?” Ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh membunuh orang yang sudah mengucapkan syahadat meskipun kita ragu ia mengucapkannya karena ikhlas atau terpaksa.
- Ekspedisi Abdullah bin Rawahah ke Khaibar pada Syawwal 7 H bersama tiga puluh personil pasukan berkuda. Faktor penyebabnya adalah Usair atau Basyir bin Zaram telah menghimpun orang-orang Ghathafan untuk memerangi kaum Muslimin. Mereka dapat membujuk Usair bersama tiga puluh orang kawannya untuk keluar dengan mengatakan bahwa Rasulullah saw akan mengangkat dirinya sebagai wakil beliau di Khaibar. Setelah mereka tiba di Qarqarah Niyar (dalam perjalanan ke Madinah), terjadi salah paham antara kedua belah pihak, hingga Usair bersama tiga puluh kawannya dibunuh.
- Ekspedisi Basyir bin Sa’ad al-Anshari ke Yaman dan Jabar (suatu wilayah milik Ghatafan dan ada pula yang mengatakan milik Fazarah dan Adzrah) pada Syawwal 7 H, bersama tiga ratus orang dari kaum Muslimin. Mereka berangkat untuk menghadapi sekelompok pasukan besar yang hendak menyerang daerah perbatasan Madinah. Mereka melakukan perjalanan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Ketika musuh mendengar keberangkatan pasukan Basyir ini, mereka melarikan diri. Basyir mendapatkan banyak binatang ternak dan menawan dua lelaki. Kedua tawanan itu kemudian dibawa ke Madinah, dihadapkan kepada Rasulullah saw, lalu keduanya masuk Islam.
- Ekspedisi Abu Hadrad al-Aslami ke al-Ghabah. Ibnul Qayyim menyebutkan ekspedisi ini dalam jajaran ekspedisi tahun 7 H sebelum Umrah Qadha. Ringkas kisahnya, ada dua orang dari Jusyam bin Muawiyah bersama sejumlah besar orang datang ke Ghabah, hendak menghimpun orang-orang Qais untuk memerangi kaum Muslimin. Rasulullah saw mengirim Abu Hadrad bersama dua orang. Dalam menghadapi mereka, Abu Hadrad menggunakan strategi perang yang tepat, sehingga dia dapat mengalahkan musuh secara telak, dan dapat mengambil unta-unta dan kambing-kambing mereka.[8]
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Shahihul Bukhari, Bab Perang Khaibar II/608-609
[2] Fathul Bari VII/491
[3] Shahilul Bukhari Bab Perang Dzatir Riqa’ II/592, Shahihul Muslim Bab Perang Dzatir Riqa’ II/118
[4] Syaikh Abdullah an-Najdi, Mukhtashar Siratir Rasul, halaman 264, Fathul Bari VII/416
[5] Shahihul Bukhari II/593
[6] Fathul Bari VII/428
[7] Zaadul Maad II/112, Ibnu Hisyam II/203-209, Fathul Bari VII/417-428
[8] Dirangkum dari berbagai sumber: Zadul Maad II/148-150, Rahmatan Lil ‘Alamin II/229-231, Mukhtashar Siratir Rasul 322-324.