Jeli Menangkap Peluang
Perang Khaibar merupakan salah satu bentuk dari kepiawaian Nabi Muhammad saw menangkap peluang. Sejak awal, Nabi Muhammad saw begitu mengetahui watak orang-orang Yahudi. Bahkan, sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Madinah, beliau telah mengetahui karakter mereka. Karenanya, di antara hal yang beliau lakukan kala itu adalah menggagas Piagam Madinah untuk mengikat Yahudi dalam ikatan perjanjian. Dengan Piagam Madinah, mau atau tidak, Yahudi disertakan dalam pembelaan Madinah dari serbuan luar terutama dari kafir Quraisy yang sudah dipastikan akan segera berupaya mengeluarkan kaum Muslimin dari Madinah.
Nabi saw mengetahui bangsa Yahudi adalah para pengkhianat. Karenanya, saat satu demi satu kabilah Yahudi ini melanggar perjanjian, mereka langsung dieksekusi tanpa ampun. Yang pertama kali berkhianat adalah Bani Qainuaqa. Setelah dikepung selama 15 hari, Bani Qainuqa diusir dari Madinah.
Giliran berikutnya adalah Bani Nadhir. Mereka berencana membunuh Nabi saw. Maka, hukuman terhadap mereka pun dijatuhkan. Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah. Mereka pun melarikan diri ke Khaibar.
Terakhir, Yahudi Bani Quraizhah. Karena pengkhianatan mereka sangat fatal: bersekutu dengan pasukan Ahzab untuk menghabisi Madinah, maka Nabi saw menjatuhkan hukuman berat atas mereka. Lebih dari 700 orang dieksekusi. Mereka dipenggal kepalanya tanpa perlawan dan dimasukkan ke dalam parit yang sudah disiapkan.
Madinah bersih dari Yahudi. Sisa-sisanya terutama Bani Nadhir melarikan diri ke Khaibar. Nabi saw tahu mereka sedang merencanakan sesuatu yang amat membahayakan Madinah. Sebagian rencana busuk itu sudah mereka lakukan yakni menggagas pasukan sekutu dan direalisasikan dalam Perang Khandaq. Sangat bisa dipastikan, orang-orang Yahudi dalam waktu yang amat dekat akan melakukan tindakan yang sangat berbahaya.
Karena itu, usai Perang Khandaq sebenarnya Nabi saw ingin segera mengakhiri riwayat Yahudi ini. Namun karena ancaman dari Quraisy dan beberapa kabilah lainnya harus diprioritaskan, maka Nabi saw baru sempat mengutus beberapa orang untuk membungkam beberapa tokoh Yahudi di Khaibar usai Perang Khandaq. Hal itu sudah cukup untuk sedikit menghambat rencana buruk Yahudi itu.
Ketika Nabi saw berhasil menandatangani Perjanjain Hudaibiyah, dan itu berarti ancaman dari Quraisy dan beberapa kabilah yang bersekutu dengannya, aman sementara waktu, maka saatnya sasaran diarahkan ke Khaibar.
Di sisi lain, Nabi saw sedikit bisa percaya kepada orang-orang Quraisy bahwa mereka takkan mengkhianati perjanjian. Para tokoh Quraisy bukan seperti orang-orang Yahudi. Mereka orang-orang yang dikenal sangat kuat memegang janjinya. Begitu juga dengan kabilah-kabilah di sekitar Madinah dan Makkah. Secara tidak langsung mereka juga ‘dilibatkan’ dalam Perjanjian Hudaibiyah. Sebab, di antara poin perjanjian itu adalah siapa pun berhak bersekutu dengan pihak Quraisy maupun pihak umat Islam.
Di antara bukti bahwa orang-orang Quraisy ini berusaha memegang janji adalah apa yang terjadi selanjutnya usai Perjanjian Hudaibiyah. Di antara poin perjanjian adalah siapa pun berhak bersekutu dengan pihak Quraisy maupun pihak umat Islam. Maka, Bani Khuzaah bergabung dengan kaum Muslimin, dan Bani Bakar berpihak kepada kafir Quraisy. Sebelum, antara Bani Khuzaah dan Bakar ini terus menerus berlangsung peperangan.
Pada bulan Sya’ban 8 Hijriyah, Bani Bakar menyerang Bani Khuzaah dan membunuh beberapa orang dari mereka. Terjadilah pertempuran. Pada saat itu, kafir Quraisy memberikan bantuan senjata bahkan tentara kepada Bani Bakar. Khuzaah terdesak sampai ke Tanah Suci.
Berita itu sampai kepada Nabi saw. Sebuah pelanggaran terjadi. Kafir Quraisy telah membantu Bani Bakar untuk memerangi Bani Khuzaah yang berada di pihak kaum Muslimin. Memang, pengkhianatan itu tidak terjadi secara langsung. Namun Quraisy menyadari hal itu.
Mereka segera mengutus Abu Sufyan bin Harb ke Madinah untuk meminta maaf dan memperbarui perjanjian. Peristiwa inilah yang mengawali Fathu Makkah pada tahun berikutnya.
Jadi, masa perjanjian Hudaibiyah adalah peluang yang amat berharga. Sedikit saja terlewatkan maka peluang itu akan hilang. Dalam waktu dekat, bisa jadi Yahudi Khaibar berhasil memobilisasi pasukan dan menyerang Madinah. Atau, bisa jadi mereka berhasil melobi kabilah-kabilah di sekitar Madinah sebagaimana yang mereka lakukan pada Perang Ahzab. Atau, bisa jadi Perjanjian Hudaibiyah batal karena pelanggaran salah satu pihak.
Peluang emas ini dimanfaatkan oleh Nabi saw untuk dua hal. Pertama, berkirim surat kepada para raja. Kedua, menggelar aktivitas militer, di antaranya mengerahkan pasukan menuju Khaibar untuk ‘menyelesaikan’ urusan mereka dengan para pengkhianat itu.
Dalam konteks sekarang, kita sering menemukan peluang-peluang emas. Sayangnya, umat Islam sering tidak menyadari dan tidak memanfaatkannya. Di Indonesia, misalnya, runtuhnya Orde Baru di era kepemimpinan Soeharto, umat Islam memiliki peluang untuk berkuasa. Namun yang terjadi sebalik. Mereka justru berlomba membuat partai dan justru mencabik-cabik suara umat Islam sendiri.
Usai kepemimpinan Habibie, Indonesia dipimpin Abdurahman Wahid. Suatu kepemimpinan yang terjadi akibat kecelakaan sejarah, bukan atas dasar rencana matang dan target jelas. Akibatnya, kepemimpinannya tidak bertahan lama. Ia digantikan Megawati Soekarnoputri. Mayoritas muslim Indonesia dipimpin seorang wanita dari partai sekular. Sejarah pun bergulir dan peluang emas itu pun hilang.
Seleksi untuk Para Pejuang
Yahudi Khaibar menyiapkan pasukannya yang sangat besar. KH Moenawar Khalil mencoba mengumpulkan data pasukan Yahudi Khaibar ini. Dalam bukunya Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad[1], ia memaparkan, jumlah penduduk asli Yahudi di Khaibar sebanyak 3000 orang. Yahudi Bani Qainuqa’ sebanyak 1400 orang. Yahudi Bani Nadhir sebanyak 1500 orang. Yahudi Wadil Qura dan Taima’ sebanyak 1000 orang.
Di sisi lain, Rasulullah saw pun segera mengumumkan perang terhadap Yahudi Bani Nadhir. Seperti dipaparkan Ibnul Qayim al-Jauziyah dalam Zaadul Maad-nya, “Ketika ingin keluar menuju Khaibar, Rasulullah saw mengumumkan agar tidak keluar bersamanya kecuali orang yang ingin berjihad.” Maka, mereka yang pergi ke Khaibar hanyalah orang-orang yang pernah ikut Bai’atur Ridhwan (baiat menjelang perjanjian Hudaibiyah), sejumlah 1400 personil.
Pasukan inilah yang selanjutnya bergerak menuju Khaibar. Dengan semangat jihad yang tinggi, satu persatu benteng Khaibar ditaklukkan. Orang-orang Yahudi yang jumlahnya jauh lebih besar dan bersembunyi di delapan benteng, tak kuasa menahan serangan kaum Muslimin. Sejumlah 93 orang Yahudi terbunuh. Bumi Khaibar berhasil dibebaskan. Muhammad Sulaiman Salman al-Manshurfuri dalam bukunya Rahmatun lil ‘Alamin menyebutkan, ada 19 orang dari kaum Muslimin yang syahid dalam perang ini.
Hal menarik dari peristiwa ini adalah keberanian Rasulullah saw mengambil sikap: hanya mereka yang benar-benar ingin berjihadlah yang boleh ikut perang. Ini tentu saja berisiko karena jumlah musuh jauh lebih besar dan tentu membutuhkan personal yang banyak untuk melawannya. Dengan selektifitas ketat seperti ini, maka jumlah kaum Muslimin yang ikut perang menjadi terbatas.
Tapi, inilah pilihan Rasulullah saw. Dan, pilihannya ini berbuah kemenangan. Mereka yang ikut dalam perang ini adalah orang yang benar-benar ingin berjihad. Selektivitas yang dilakukan Rasulullah saw bukan hanya jelang pemberangkatan. Kesusahan, kemiskinan dan kelaparan yang dialami kaum Muslimin benar-benar mencapai puncaknya pada perang ini. Mereka terpaksa menyembelih keledai piaraan. Justru saat itulah ujian datang. Ketika kaum Muslimin sedang memasak daging tersebut dan segera akan menyantapnya, Rasulullah saw melarang mereka.
Kendati demikian, karena keimanan yang sudah mencapai puncaknya, mereka langsung membalikkan periuk dan menumpahkan isinya untuk menaati perintah Rasululullah. Ini merupakan pelajaran nyata, betapa teguhnya disiplin dan ketaatan mereka pada Allah dan Rasul-Nya.
Ternyata, ujian tak semata berhubungan dengan perut. Pada perang ini juga nikah mut’ah mulai diharamkan. Ujian ini tak kalah beratnya dibanding ujian sebelumnya. Perjalanan dua bulan lebih, merupakan waktu yang lumayan lama untuk menahan kebutuhan biologis. Namun, di saat inilah justru larangan itu datang. Bukan ketika mereka dalam kondisi bebas berhubungan dengan istri di Madinah.
Dalam perang ini juga Rasulullah saw melarang kaum Muslimin mengambil harta rampasan perang sebelum diserahkan pada beliau guna dibagi secara adil. Lagi, ini merupakan ujian yang tidak ringan. Mereka yang berhasil mengalahkan lawannya dan mendapatkan harta rampasan yang banyak, terpaksa menyerahkannya pada Rasulullah saw.
Tiga larangan ini merupakan ujian berat bagi kaum Muslimin. Sebab, larangan itu justru datang ketika mereka benar-benar membutuhkan. Mereka dilarang memakan daging keledai piaraan justru ketika makanan itu siap saji dan kondisi mereka yang sangat lapar. Larangan nikah mut’ah pun muncul ketika kondisi kebutuhan seksual mereka memuncak, jauh dari istri, dan di tengah medan peperangan. Larangan mengambil harta rampasan perang pun demikian. Ia datang ketika kaum Muslimin sangat membutuhkan dan harta itu ada di depan mereka.
Bagi kaum Muslimin saat ini, pelajaran dari perang Khaibar menarik untuk diteladani. Ketiga ujian itu pasti menghampiri umat Islam. Apalagi di tengah era keterbukaan, dimana sebagian umat Islam berkesempatan mengisi posisi-posisi menggiurkan. Ujian perut, kebutuhan biologis dan harta pasti datang. Mereka yang duduk di gedung parlemen atau memegang jabatan bergengsi, tentu berpeluang besar mendapatkan ujian ini. Hanya orang-orang yang memiliki keimanan kokohlah yang mampu melewati ujian ini. Hanya mereka yang punya niat ikhlas yang mampu lulus dalam seleksi ini.
Bisa Bertahan di Masa Sulit, Mampu Bertahan di Masa Lapang
Ibnu Ishaq berkata bahwa Abdullah bin Amr bin Dhamrah telah bercerita kepadanya, dari Abdullah bin Abi Salith, dari ayahnya, dia berkata, “Larangan Rasulullah saw untuk memakan daging keledai piaraan itu datang kepada kami di kala periuk-periuk telah mendidih berisi daging. Periuk-periuk itu langsung kami tengkurapkan.”
Sungguh, itu suatu ujian berat yang tiada tara. Saat kaum Muslimin tengah menahan lapar dengan menggigitkan erat-erat gigi-gigi geraham, tiba-tiba Nabi saw melarang mereka memakan makanan yang selama ini boleh. Sementara itu, tak ada makanan lain pun pada mereka, bahkan sebiji kurma pun tidak. Saat itu mereka harus tetap bertahan di tengah medan perang yang ganas melawan Yahudi.
Tak ada waktu untuk tidur atau istirahat sejenak dalam kemah. Karenanya, mereka menyembelih beberapa ekor keledai dan langsung memasaknya. Sejurus kemudian, mengalirlah air liur mereka, membayangkan betapa cita rasanya daging keledai, sementara periuk-periuk telah mendidih berisi daging yang segar siap disantap. Tiba-tiba datanglah larangan Nabi saw untuk memakan daging keledai peliharaan.
Walaupun demikian, sedikit pun mereka tidak ragu atau keberatan sehingga mencabut senjata, apalagi kemudian lari dari barisan meninggalkan medan perang, barulah berhenti sesudah itu, atau sekadar mencicipi agar hilang kelelahan mereka. Tidak, semua itu tidak mereka lakukan. Mereka bahkan langsung kembali membalikan periuk-periuk itu dengan seluruh isinya, lalu mereka memenuhi perintah Allah dan Rasulnya.
Semua itu pelajaran nyata, tentang betapa teguh dan disiplinnya mereka dalam mematuhi segala perintah, yang sulit maupun mudah, dalam keadaan suka ataupun duka. Prajurit Muslim itu senantiasa memelihara diri dari dominasi perut meskipun berada di puncak kelaparan dan harus berperang. Sungguh, itulah tingkat ketangguhan mental yang sangat tinggi. Apabila kita dapat meraihnya, pastilah kita dapat meraih kemenangan dari Allah.
Sebenarnya, Rasulullah saw bisa saja melarang memakan daging keledai piaraan itu sebelum disembelih atau langsung sesudahnya, sebelum mereka lelah memasaknya, dengan mengumpulkan kayu bakar dan meniup api dalam tungku. Namun, beliau ingin ujian itu mencapai tergetnya yang maksimal. Allah menghendaki agar larangan itu baru disampaikan saat periuk-periuk telah mendidih berisi daging-daging keledai.
Dengan demikian, menjadi jelaslah betapa tinggi ketangguhan mental mereka, sekalipun di kala keadaan yang paling sulit. Jadi, barangsiapa yang dalam kondisi seperti ini tetap konsisten, dia pasti mampu melakukan hal yang sama dalam kondisi yang lebih ringan dari itu. Sebab, memang sulit bersabar dalam kondisi susah. Tapi justru lebih sulit lagi bersyukur saat mendapat anugerah.
Inilah gambaran seorang Mukmin sebagaimana disebutkan Nabi saw, “Sungguh menganggumkan perkara seorang Mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya baik. Yang demikian itu tidak akan terjadi kecuali bagi seorang Mukmin. Jika diberikan kegembiraan, ia bersyukur. Yang demikian baik baginya. Jika diberikan musibah ia sabar. Maka, yang demikian itu baik baginya,” (HR Muslim).
Betapa banyak orang yang bisa bertahan sabar saat diuji dengan musibah. Tapi amat sedikit orang yang bisa bersyukur saat diberi nikmat. Namun, sungguh jauh lebih sedikit lagi orang yang bisa bersabar untuk tidak mengambil kenikmatan itu ketika anugerah itu di depan matanya.
Maka, ketika para sahabat Nabi saw berhasil sabar untuk tidak memakan daging keledai yang sudah siap saji, merupakan titik tertinggi dari kesabaran seseorang untuk menjauhi larangan. Bukan aneh, kalau mereka taat untuk tidak memakan daging keledai ketika makanan itu tidak ada. Tapi saat itu, makanan yang dilarang itu ada di depan mata. Siap saji. Dan, mereka bisa sabar.
[1] Jilid II halaman 437 (Gema Insani Press, Agustus 2001)