Pada tulisan lalu kita membahas beberapa pelajaran berharga dari Perang Khaibar. Pada tulisan ini, kita akan melanjutkan telaah beberapa hikmah lainnya yang bisa kita petik. Selamat menyimak.
Berdakwah di Segala Masa
Di antara hal yang nyata dilakukan dalam Perang Khaibar, yang tak pernah ditinggalkan kapan pun, ialah berdakwah, menyeru manusia kepada Allah. Kita lihat, kapan saja, sewaktu akan terjadi pertempuran antara kedua belah pihak, pastilah arahan diberikan oleh Rasulullah saw: menekankan pentingnya mengajak manusia kepada Allah sebelum pertempuran terjadi.
Misalnya, begitu Rasulullah saw menyerahkan bendera kepada Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Ya Rasulullah, haruskah aku memerangi mereka sampai menjadi seperti kita (maksudnya menjadi Muslim)?”
Rasulullah saw menjawab, “Teruskan sikap lemah lembutmu sampai kamu masuk ke halaman mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam dan beritahukan kepada kewajiban apa yang wajib tunaikan kepada Allah dalam Islam. Demi Allah, sesungguhnya andaikan Allah menunjuki seseorang lantaran kamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu mempunyai unta yang bagus.” (HR Bukhari).
Jadi, berdakwah ke jalan Allah itu bukan di waktu damai saja atau hanya sebelum bertempur. Seorang Muslim yang telah berada dalam kecamuk pertempuran sekalipun, tetap sebagai dai, penyeru di jalan Allah, sebelum berperang sebagai tentara penyerang musuh. Nahnu duaatun qabla an nakuuna kulaa syain. Kita adalah dai sebelum menjadi apa pun!
Pahlawan agung semacam Ali, bertugas membawa bendera atas penugasan dari Rasulullah saw. Allah berkenan menaklukan musuh-musuh-Nya lewat tangannya. Namun demikian, berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah adalah prinsip. Bagaimanapun juga, memberi petunjuk lebih utama daripada perang. “Memberi petunjuk kepada satu orang lebih baik daripada mendapat unta yang bagus,” demikian sabda Rasul.[1]
Misi dakwah ke jalan Allah harus senantiasa mengiringi seorang Muslim di setiap saat dalam hidupnya, baik sebelum, sedang, maupun sesudah bertempur. Bila pemimpin dan gerakan Islam selalu membuat penilaian berdasarkan logika perang, dan melupakan prinsip yang menjadi dasar tegaknya jamaah, yaitu berdakwah, maka hal ini berarti menyimpang dari pemahaman Islam yang benar.
Sekalipun periode sesudah Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan periode kebangkitan politik dan dakwah, dimana Perang Khaibar merupakan fenomena khusus yang menjadi inti dari semua peristiwa yang terjadi sejak perdamaian tersebut, perang ini tetap membawa misi dakwah. Padahal, kaum Yahudi selalu memerangi dakwah ini sejak kemunculan tunasnya dan selalu memerangi pembawa dakwah ini, Nabi Muhammad saw sejak lahirnya.
Menghargai Peran Wanita
Peran kaum Muslimah dalam Perang Khaibar ini pun tak boleh dilupakan. Mereka bergabung dalam suatu rombongan besar kaum wanita. Jumlah mereka mencapai 20 orang. Antara lain Ummul Mukminin Ummu Salamah, Shafiyah binti Abdul Muththalib, Ummu Aiman, Salma istri Abu Rafi, bekas budak wanita Rasulullah saw, istri Ashim bin Adiy, Ummu Imarah, Ummu Mani’, Kuaibah binti Sa’ad, Ummu Mutha’ al-Aslamiyah, Ummu Sulaim binti Malhah, Ummu Dhahhak binti Mas’ud, Hindun binti Amr bin Haram, Ummu Amir al-Asyhaliyah, Ummu Athiyah al-Anshariyah, Ummu Salith, dan Umaiyah binti Qais al-Ghifariyah.
Rasulullah saw memberikan mereka hak tersendiri dari harta fa’i. Fakta ini masih tetap tercatat dalam memori sejarah. Sepatutnyalah kita tidak melupakan peran Muslimah dalam barisan Islam, di samping kaum lelaki. Mereka memiliki peran dalam pertempuran sebagaimana mereka juga berperan dalam dakwah.
Selama ini, wanita telah menjadi barang rebutan oleh para penyeru kejahatan di muka bumi ini. Para penyeru itu menginginkan agar para wanita rusak sehingga mengakibatkan rusaknya keluarga, yang pada gilirannya rusaklah seluruh sendi masyarakat.
Barangkali kalung yang telah dihadiahkan Nabi saw kepada seorang gadis dari Ghifar akan banyak meluruskan kita dalam menghargai perjuangan kaum wanita. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, dari seorang Bani Ghifar, dia berkata, “Saya datang kepada Rasulullah saw dalam serombongan kaum wanita dari Bani Ghifar. Kami berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya kami berangkat bersamamu menuju tujuanmu ini (saat itu beliau sedang berjalan menuju Khaibar). Biarlah kami mengobati orang-orang yang terluka dan membantu kaum Muslimin semampu kami.’
Rasul menjawab, ‘(Semoga kalian) senantiasa mendapat berkah Allah.’
Kami pun berangkat bersama beliau. Aku anak perempuan yang masih muda. Karena itu, Rasulullah saw memboncengkan aku di atas kopor kendaraannya.
Demi Allah, Rasulullah saw sendiri kemudian benar-benar turun (dari untanya) sampai pagi, lalu menderumkannya. Aku pun turun dari kopor kendaraannya itu dan ternyata pada kopor itu terdapat darahku. Itu adalah haidhku yang pertama aku alami.
Aku berpegangan pada unta dan merasa malu. Tatkala Rasulullah saw mengetahui apa yang terjadi pada diriku dan melihat darah itu, beliau bertanya, ‘Mengapa kamu? Barangkali kamu mengalami haidh?’
‘Benar,’ jawabku.
Beliau menyarankan, ‘Kalau begitu, lakukanlah hal-hal yang terbaik untuk dirimu. Sesudah itu, ambillah bejana berisi air dan berilah garam ke dalamnya. Kemudian cucilah dengan air itu darah yang mengenai kopor, lalu kembalilah ke kendaraanmu.’
Tatkala Rasulullah saw telah berhasil menaklukkan Khaibar, beliau memberi kami bagian tertentu dari harta fa’i , antara lain kalung yang kalian lihat pada leherku ini. Beliau telah memberikannya kepadaku dan mengalugkannya pada leherku dengan tangan beliau sendiri. Karena itu, demi Allah, kalung ini takkan berpisah dariku buat selama-lamanya.’
Dalam konteks kini, kita juga tak boleh melalaikan perang Muslimah. Adalah hikmah yang begitu agung, ketika mengutus hamba Muhammad sebagai Rasul, Allah juga menyiapkan Khadijah dengan segala kemampuan finansialnya. Sejarah sering melalaikan poin ini. Bahwa, selain Abu Bakar, Ali, Utsman dan para sahabat lainnya, Khadijah amat berperan dalam penyebaran Islam pertama kali.
Banyak orang berdalil bahwa dakwah tak butuh dana. Buktinya, ketika Nabi saw berdakwah pertama kali, ia bukan orang kaya. Ia tidak berdakwah dengan uang. Mereka lupa dengan Khadijah. Seorang pebisis luar biasa yang mendermakan segalanya untuk Islam.
Karena itu, selayaknya, umat Islam tidak melupakan hal ini. Berikan para Muslimah haknya untuk berperan dalam dakwah. Amat disayangkan kalau mereka telah sekolah tinggi, menamatkan kuliah bahkan program S2 atau Doktor, tapi saat menikah, mereka hanya berkutat di tiga tempat: sumur, dapur dan kasur. Ilmu dan kemampuan yang telah mereka asah selama ini menjadi mubazir dan sia-sia. Tentu saja, ketika mereka berkipriah, tugas utama mereka tak boleh dilalailkan. Sebab, bagaimana pun kondisi mereka, para Muslimah memiliki dua tugas yang tak bisa digantikan oleh siapa pun. Tugas itu adalah: sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya.
Ghanimah bagi yang Tidak Ikut Perang
Nabi saw memberikan ghanimah kepada Ja’far bin Abu Thalib dan kaum Muslimin yang baru datang dari Habasyah. Padahal, mereka tidak ikut Perang Khaibar. Memang, dalam riwayat Bukhari, tidak dicantumkan adanya izin dari peserta perang Khaibar yang lainnya. Namun dalam riwayat Baihaqi, ada tambahan bahwa sebelum memberikan harta rampasan perang kepada Ja’far dan kawan-kawan, Nabi saw membicarakannya lebih dulu dengan kaum Muslimin yang lain. Riwayat ini shahih sehingga bisa dijadikan sebagai dalil.
Namun dalam riwayat Baihaqi juga dijelaskan bahwa Nabi saw tidak memberikan bagian kepada Aban bin Said yang diutus oleh Nabi saw ke Najd. Ia menyusul ke Khaibar setelah berhasil menyelesaikan tugasnya. Aban sempat meminta bagian kepada Nabi saw tapi tidak diberikan.
Menurut Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus Sirah-nya yang dikutip dari Fathul Baari, kedua riwayat ini dapat dikompromikan dengan penjelasan bahwa Ja’far dan teman-temannya diberikan karena mendapatkan izin dari jamaah, sedangkan Aban bin Said tidak mendapatkan izin.[2]
Lalu bagaimana dengan hukum pembagian ghanimah di tengah perkembangan situasi peperangan dan kebijakan negara yang menggaji para tentara sesuai dengan pangkat mereka, apakah mereka ikut perang atau tidak?
Menurut Said Ramadhan al-Buthi, harta rampasan perang yang tidak dapat bergerak, tidak boleh dibagikan kepada para tentara yang ikut perang. Ini menurut pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan harta rampasan perang yang bisa bergerak dibagikan semuanya kepada peserta perang dengan tetap memperhatikan perkembangan sarana peperangan dan cara-cara peperangan yang ada.
Tak ada halangan untuk memberikan bagian mereka dengan memperhatikan perbedaan pangkat militer. Yang penting, negara tidak boleh memonopoli harta rampasan perang untuk kepentingan segelintir orang.[3]
Pengaruh Kemenangan Perang Terhadap Ekonomi Negara
Perang ibarat sebuah permainan. Siapa yang menang, akan menangguk untung. Bahkan di era Jahiliyah, perang ibarat judi. Siapa yang menang, ia akan berkuasa atas mereka yang kalah. Bukan semata kekuasaan secara fisik tapi segalanya: ekonomi, politik dan sosial.
Begitulah dengan Perang Khaibar. Kemenangan umat Islam dalam perang ini memberikan dampak luar biasa dari berbagai sisi. Dari sisi wibawa, pamor umat Islam meroket dan mendunia. Ketika mendengar kemenangan umat Islam di Khaibar, nyali kafir Quraisy langsung ciut. Tak pernah terpikirkan lagi oleh mereka untuk menyerang umat Islam. Ini sekaligus melengkapi kemenangan umat Islam pada dua peristiwa sebelumnya: Perang Khandaq dan Perjanjian Hudaibiyah.
Dari sisi ekonomi juga demikian. Setelah penaklukan Khaibar, umat Islam bisa memperoleh jatah makanan selama setahun. Aisyah mengatakan, “Sekarang kami kenyang karena bisa makan kurma terus menerus.” Ibnu Umar juga mengatakan hal yang sama, “Kami tidak pernah kenyang sampai kami berhasil menaklukkan Khaibar.”
Apa yang diungkapkan Aisyah dan Abdullah bin Umar itu sudah cukup menjelaskan tentang kondisi ekonomi yang dialami kaum Muslimin, baik sebelum maupun setelah Perang Khaibar.
Dalam konteks sekarang, hal ini patut direnungkan. Islam memang tidak menghendaki perang. Tapi kalau kondisi memaksa, kaum Muslimin tak boleh menghindar. Bahkan, lari dari peperangan termasuk dosa besar yang terlarang. Yang dimaksud kondisi memaksa bisa bermakna memang musuh menyerbu masuk ke wilayah umat Islam. Atau, bisa juga berarti kondisi dimana umat Islam harus menjaga keselamatannya di antaranya dengan cara melakukan penyerangan.
Dalam kasus Perang Khaibar, umat Islam memang yang menyerbu kaum Yahudi di markas mereka, Khaibar. Tapi tindakan ini bukan tanpa alasan. Ini tindakan preventif, pencegahan. Jika dibiarkan, umat Islam yang akan mendapat bahaya. Dalam sebuah ‘pertandingan’, penyerangan adalah metode bertahan yang paling baik.
Jika umat Islam sudah berada di medan perang, maka ia harus menargetkan kemenangan dengan mengatur strategi yang baik. Kemenangan bagi umat Islam akan menaikkan izzah Islam dan memberikan pengaruh kepada mereka dari berbagai sisi. Di antaranya dari sisi ekonomi.
Namun demikian, target finansial bukan segalanya. Ia harus menjadi hikmah sebuah peperangan, bukan tujuan utama. Tujuan utama perang adalah untuk memenangkan dakwah. Itulah pesan Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib sebelum menyerbu Khaibar.
Karena itu juga, ketika Abdullah bin Sahal terbunuh, Nabi saw mendoakan dan memujinya. Ia berperang bukan untuk mendapatkan harta rampasan perang, tapi untuk mendapatkan syahadah.
Ketika mendapatkan ghanimah dari Nabi saw, Abdullah bin Sahal berkata, “Ya Rasulullah, bukan untuk ini saya bergabung dengan Anda. Saya ikut supaya ada anak panah yang menancap di leherku, lalu saya berharap masuk surga.”
Abdullah bin Sahal mendapatkan cita-citanya. Ia syahid dalam Perang Khaibar. Melihat jenazahnya, Nabi saw berdoa, “Ya Allah, hamba-Mu ini keluar sebagai orang yang berhijrah di jalan-Mu. Lalu ia gugur sebagai syahid, dan aku menjadi saksinya.”[4]
Kekafiran Itu Satu Agama
Al-Kufru millatun wahidah. Kekafirun itu satu agama. Adagium ini menemukan kenyataannya pada Perang Khaibar. Ketika Nabi saw merencanakan untuk menyerang Khaibar, orang-orang munafik segera memberi kabar orang-orang Yahudi. Gembong munafiq, Abdullah bin Ubaylah yang berkirim surat kepada orang-orang Yahudi Khaibar. Di antara isinya ia menyatakan, “Muhammad hendak mendatangi kalian, maka waspadalah. Janganlah kalian takut kepadanya, sebab jumlah dan persenjataan kalian banyak, sedangkan pengikut Muhammad sedikit dan hanya membawa sedikit senjata.”
Selanjutnya, begitu mengetahui hal itu, penduduk Khaibar mengutus Kinanah bin Abul Haqiq dan Haudzah bin Qais kepada Bani Ghathafan untuk meminta bantuan. Mereka adalah sekutu Yahudi Khaibar dalam menghadapi kaum Muslimin saat Perang Khaibar. Selain itu, pemukiman Bani Ghatafan berada cukup dekat dengan Khaibar.
Untuk menarik minat Bani Ghathafan, Yahudi Khaibar tak ragu-ragu berkorban. Mereka berjanji akan memberi imbalan berupa setengah dari hasil buah-buahan Khaibar untuk Bani Ghathafan. Bani Ghathafan setuju. Mereka menjanjikan 4000 personil untuk membantu orang-orang Yahudi. Jadi, lengkaplah koalisi orang-orang kafir ini yang terdiri dari Yahudi Khaibar, orang-orang Munafik dan Bani Ghatafan. Mereka bersatu untuk menghadapi umat Islam. Mungkin kalau bisa, orang-orang Yahudi juga ingin minta bantuan dari kafir Quraisy. Tapi selain jauh, saat itu kafir Quraisy sedang dalam ikatan Perjanjian Hudaibiyah dengan umat Islam.
Dalam konteks sekarang, kita menemukan hal yang sama. Ketika berhadapan dengan umat Islam, musuh-musuh Islam bersatu. Hal ini terjadi dalam berbagai lingkup kehidupan, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
Catatan Kaki:
[1] HR Bukhari II/505
[2] Fathul Bari 7/340-349
[3] Fiqhus sirah Ramadhan al-Buthi (Robbani Press Jakarta) 324
[4] Abdurrazaq, Al-Mushannaf V/276